web analytics

Safari Pangan Jujur di Malang

15
Apr

Malang—Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) bekerja sama dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) komisariat Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UMM. Menggelar serangkaian kegiatan dalam rangka memulai Gerakan Pangan Jujur. Acara yang berisikan talk show dan pelatihan ini diselenggarakan selama 2 hari di gedung aula Universitas Muhammadiyah Malang pada tanggal 8 dan 9 April 2022.

Dr. Nur Subeki, ST,. MT selaku Wakil Rektor 3 bidang Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Malang membuka kegiatan ini. Beliau menyampaikan pentingnya memahami pangan dari sisi produksi juga regulasi. Dr. Nur Subeki juga menerangkan bagaimana di dalam Universitas Muhammadiyah Malang terdapat jurusan-jurusan yang berkenaan dengan pangan. “Oleh karena itu, di UMM ini pangan tidak hanya bagaimana produksi beras, di situ termasuk ikan, peternakan, ada juga kehutanan sebagai sumber pangan umbi-umbian. Jadi, kalo gambar di depan ini isinya hanya jagung saja, sebenarnya kurang ini. Karena pangan itu sangat kompleks.”

Acara berlanjut pada sesi talk show. Pada sesi ini terdapat 3 narasumber. Narasumber pertama Korneles Materay selaku peneliti Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA). Menjelaskan ragam korupsi yang sering kali terjadi, khususnya pada sektor pengelolaan sumber daya alam (SDA). Korneles menerangkan bagaimana korupsi bisa berjalan secara sistematis menggunakan instrumen pemerintahan seperti peraturan dan pengawasan. Pada akhir pemaparannya, Korneles menyampaikan bahwa korupsi pada sektor SDA tidak hanya merugikan negara pada sisi finansial, namun juga membuat bencana alam yang jelas menimbulkan korban.

Baca Juga : Bangsa Maritim Sekaligus Bangsa Bahari

Narasumber selanjutnya, Hariadi Propantoko selaku Peneliti di  KRKP mengawali penyampaiannya dengan menjelaskan penyelenggaraan pangan nasional berdasarkan UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan, di mana pangan di negeri ini dipenuhi dari 2 sumber, yakni dari produksi dalam negeri dan dari impor pangan. Dari 2 penyediaan, ini erat hubungannya dengan kemampuan produksi di dalam negeri. Jika pangan dapat disediakan di dalam, maka harus dioptimalkan dari dalam negeri, namun jika kapasitas produksi di dalam negeri masih rendah, bisa dilakukan melalui impor. Sayangnya data yang berkaitan dengan kapasitas ini sering kali tidak terbuka dan sering kali data berbeda antar kementerian dan Lembaga pemerintah. Sampai hari ini data neraca pangan kita masih galau. Mana yang benar tidak jelas.

Selanjutnya, Hariadi menyajikan data-data harga pangan pokok yang bersifat fluktuatif dari tahun ke tahun. Fluktuasi harga ini bukan sekedar oleh persoalan supply-demand. Tapi oleh karena tata kelola yang tidak transparan dan syarat dengan praktik pemburuan rente. Pemburuan rente pada proses impor pangan menimbulkan tingginya biaya yang dikeluarkan oleh pelaku impor pangan. Tingginya biaya ini tentu menjadi komponen struktur biaya impor bahan pangan. Tentunya hal ini berpengaruh pada harga jual bahan pangan di dalam negeri. Semisal bawang putih, berdasarkan penelitian KRKP 2019, harga bawang putih impor rata-rata di tahun 2018 sampai di pelabuhan adalah sekitar Rp. 12.000. Tapi oleh pengaruh biaya transaksi yang timbul saat pengurusan impor, harga rata-rata di pasaran di tahun 2018 menjadi sekitar Rp. 26.000.

Baca Juga: Ramadhan, Kenaikan Harga Pangan, dan Kesejahteraan Petani

Selisih harga yang ditimbulkan oleh biaya transaksi dalam pemburuan rente ini ditanggung oleh masyarakat Indonesia. Singkat cerita, praktik tata kelola yang buruk ini memaksa masyarakat menanggung beban harga pangan yang lebih mahal. Di akhir kesempatannya, Hariadi mengatakan bahwa dari buruknya tata kelola pangan sangat berdampak pada nasib bangsa Indonesia. “Tata kelola pangan yang buruk akan berdampak pada menurunnya akses pangan, di mana pada akhirnya rakyatlah yang dirugikan dan dekat dengan krisis pangan dan gizi.”

Yeka Hendra Fatika selaku anggota Ombudsman Republik Indonesia sekaligus narasumber terakhir pada sesi talk show menyampaikan tidak adanya perencanaan pangan di Indonesia. Menurut Yeka, ketiadaan atas perencanaan pangan berdampak pada carut marutnya kebijakan pangan di Indonesia. Pada kesempatan tersebut, Yeka juga menerangkan kegagalan pemerintah dalam menjamin ketersediaan, menjalankan fungsi stabilisasi dan pengawasan pangan di negeri ini. Melihat hal itu, Yeka mengajak para mahasiswa untuk bisa mengonsolidasikan petani dan melaporkan indikasi-indikasi terjadinya maladministrasi kepada pihak yang berwenang, salah satunya Ombudsman. “Inilah momentum untuk membangun kemandirian pangan kita, dan ini dimulai dengan gerakan pangan jujur,” imbuh Yeka. Setelah penyampaian dari narasumber ketiga, sesi talk show berakhir.

Sesi talk show diakhiri dengan buka puasa bersama narasumber, panitia pelaksana, dan juga peserta. Bahana Bela Nusantoro selaku komisaris GMNI Komisariat UMM juga menyampaikan pentingnya kegiatan ini dilakukan dalam rangka mendorong publik, khususnya mahasiswa, meningkatkan sensitivitas pada hal yang terjadi di sekitarnya dan melihatnya lebih mendalam. “Agar gerakan yang dibangun tidak sporadis dan berangkat dari keresahan masyarakat,” tambah Santo. (JP)