“Nenek moyangku seorang pelaut
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa”
Potongan lirik lagu yang ditulis untuk membuka tulisan ini merupakan lirik lagu yang populer dan cukup familiar di telinga orang-orang Indonesia. Lagu berjudul Nenek Moyangku yang diciptakan oleh Ibu Sud pada tahun 1940 itu. Sering kali diasosiasikan sebagai manifestasi kejayaan pengetahuan dan tradisi sebagian masyarakat Indonesia yang erat kaitannya dengan laut. Hal itu tentu saja tidak berlebihan dan tidak pula dilebih-lebihkan. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang mencakup ribuan pulau di dalamnya yang dihubungkan hanya dengan laut antar pulaunya. Sehingga, tidak ada pilihan lain yang bisa dilakukan oleh para pendahulu kita selain berdamai dan menghadap ke laut.
Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Total luas wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke sekitar 7.81 juta km persegi, dengan total luas wilayah laut sebesar 3.25 juta km persegi, ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebesar 2.55 juta km persegi. Secara sederhana, lebih dari setengah wilayah Republik Indonesia adalah lautan. Mengetahui kenyataan tersebut, bukan hal yang mengagetkan rasanya jika Indonesia sering kali dikaitkan dengan mitos negeri Atlantis.
Baca Juga: Ramadhan, Kenaikan Harga Pangan, dan Kesejahteraan Petani
Laut bukanlah kubangan air maha luas yang kosong, terkandung sumber daya di dalamnya. Sumber daya perikanan merupakan satu contoh dari banyaknya sumber daya dan potensi yang terkandung di dalam lautan. Kekayaan sumber daya perikanan di Indonesia juga pernah digambarkan dalam sebuah lagu
“Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu”
Lagi-lagi, lagu yang dinyanyikan oleh Koes Ploes tidak berlebihan sama sekali. Pasalnya, laut Indonesia merupakan rumah bagi setidaknya 8.500 spesies ikan atau 45% dari jumlah spesies ikan yang ada di dunia. Dengan jumlah spesies sebanyak itu, kail dan jala seharusnya benar-benar cukup untuk membuat kelompok manusia yang tinggal di pesisir hidup tanpa kelaparan dengan bermodalkan “memori genetika” dari nenek moyang yang seorang pelaut dan keahlian menggunakan kail dan jala.
Sebagai bangsa yang hidup di wilayah kepulauan, sudah sepatutnya para pembaca mengetahui bahwa bangsa Indonesia bukan hanya bangsa maritim (red: menurut KBBI, maritim adalah yang berkenaan dengan laut yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan), lebih jauh lagi, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki relasi kuat dengan laut merupakan bangsa bahari (red: segala hal yang berkaitan dengan laut, termasuk kandungan di dalam laut dan budaya yang berkenaan dengan laut). Kurangnya pengetahuan mengenai dua hal tersebut menjadikan pembangunan di sektor perikanan berlayar ke arah yang salah, hal itu dapat tercermin dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Presiden Joko Widodo dalam rangka mengembalikan poros maritim dunia. Pengambil kebijakan hanya ingin mengembalikan Indonesia sebagai poros pelayaran-perdagangan ke Indonesia, bukan memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam lautan Indonesia secara optimal dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sektor Perikanan dan Kebermanfaatan Yang Timpang
Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya, laut Indonesia mengandung sumber daya ikan yang terlampau beragam. Selain disebabkan oleh luasnya wilayah laut Indonesia, melimpahnya sumber daya ikan di wilayah Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor fisik, kimia, dan biologi yang sesuai dengan habitat perkembangan ikan. Sehingga ikan mampu untuk melakukan reproduksi dan ‘betah’ menetap di perairan Indonesia. Menetapnya ikan di sekitar wilayah Indonesia membuat sumber daya tersebut mampu dimanfaatkan oleh manusia, salah satu kelompok yang memanfaatkan Post navigation