Bogor (6/10)- Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) bersama Yayasan Bitra Indonesia menggelar diskusi publik bertajuk “Relevansi Investasi di Bidang Pertanian dan Pangan di Masa Pandemi: Makro atau Mikro?”. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari obrolin pangan bertema pembaruan sistem pangan di Indonesia.
Pandemi Covid-19 di Indonesia memberikan dampak yang signifikan terhadap sistem pangan di Indonesia, tak terkecuali petani. Pandemi membuat keadaan petani terutama petani skala kecil semakin terpuruk dengan dibarenginya momen kelangkaan pupuk bersubsidi.
Jumino, Petani Organik dari Sumatera Utara, menyatakan bahwa seharusnya keadaan yang demikian bisa menjadi kesempatan untuk mendorong petani agar bertani secara mandiri dengan memanfaatkan sumberdaya sekitar. Namun demikian Jumino mengatakan bahwa pemerintah justru tidak melihat kesempatan tersebut. Menurutnya pemerintah perlu menyebarluaskan praktik-praktik bertani mandiri yang mengoptimalkan lahan sempit dan pekarangan untuk mencukupi kebutuhan pangan petani. Selain itu pemerintah juga diharapkan dapat memfasilitasi petani dalam memperbesar jangkauan pasar produk petani.
“Di tengah keadaan petani kecil yang terpuruk, Pemerintah tidak ada perhatian dan upaya di pedesaan untuk mengatasi kebutuhan pangan saat pandemi. Pemerintah perlu menyosialisasikan inisiatif pemenuhan pangan di tingkat keluarga melalui kegiatan yang mandiri. Selain itu untuk keberlanjutan bisnis, perlu ada fasilitasi dari pemerintah untuk memperbesar jangkauan pasar.”, Ujar Jumino.
Sementara itu Risma, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara, mengatakan bahwa terjadi terjadi refocussing anggaran yang mana hanya difokuskan pada komoditas strategis yang memberikan kontribusi terhadap inflasi. Hal ini juga menyebabkan perubahan target kinerja.
“Pandemi ini merubah target kinerja, anggaran difokuskan untuk membantu petani ketika pandemic Covid-19. Komoditi menjadi fokus peningkatan produksi adalah padi sawah dan ladang, cabai, kedelai, buah-buahan, jahe, kunyit.”, Ungkap Risma.
Dalam kegiatan yang dihadiri oleh 56 orang ini, Dr. Ir. Tavi Supriana, MS, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, mengungkapkan bahwa kebijakan mikro dan makro harus bersinergi untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian. Tavi mencontohkan ketika kebijakan mikro yaitu peningkatan produksi digenjot namun kebijakan makro dalam menentukan harga tidak menguntungkan secara ekonomi, maka hal tersebut akan merugikan petani.
“Kebijakan mikro dan makro harus ada sinergi untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian. Jika tidak, tujuan akan mustahil tercapai. Misalnya kebijakan mikro didorong untuk meningkatkan produksi, namun kebijakan makro dalam menentukan harga tidak menguntungkan secara ekonomi. Hal ini bisa merugikan petani.”, Ujar Tavi.
Dalam kerangka investasi publik diharapkan meningkatkan wawasan dan keterampilan petani sebagai pusat perhatian. Petani ditumbuhkan kreatifitas dan kapasitasnya sehingga dapat lebih tangguh dalam masa pandemic, demikian yang disampaikan oleh Berliana, Manager ComDev Yayasan Bitra Indonesia.
“Investasi ini bagaimana dapat meningkatkan wawasan dan keterampilan petani sebagai pusat perhatian. Petani didukung kreatifitas dan kapasitasnya sehingga bisa lebih Tangguh terutama dalam masa pandemi. Ketika menjadikan petani sebagai pusat perhatiannya yang terjadi adalah produksi kualitas tanah, cadangan pangan, dan pendapatan meningkat dengan sendirinya.” Ungkap Berliana.
Dirinya juga mengusulkan bahwa permakultur juga bisa menjadi sebuah investasi mikro yang bisa didorong di tingkat petani di Sumatera Utara.
Said Abdullah, Kordinator Nasional KRKP, mengatakan bahwa pemerintah saat ini lebih fokus kepada investasi publik dalam bentuk infrastruktur. Ia mengatakan bahwa investasi publik infrastruktur fisik memang diprediksi akan meningkatkan pendapatan, namun tidak serta merta hal tersebut menurunkan kesenjangan pendapatan.
“Pemerintah terutama era Presiden Jokowi fokus pada investasi publik infrastruktur fisik. Namun apakah berdampak signifikan? Sebagai contoh kenaikan investasi publik pupuk bersubsidi naik hingga 1452% namun kenaikan produktivitas cenderung stagnan hanya 13%. Hal ini memang diprediksi dapat meningkatkan pendapatan tetapi tidak serta merta menurunkan kesenjangan pendapatan.” Ungkap Said.
Said juga mengatakan bahwa seharusnya investasi publik infrastruktur juga dibarengi dengan anggaran riset and development, teknologi, skill, penyuluhan, dan perbaikan mekanisme market support untuk peningkatan pendapatan petani. Hasil riset KRKP dan FEM IPB mengungkapkan bahwa skema investasi publik pada bidang-bidang di atas secara nyata dapat menaikkan PDRB di Indonesia termasuk Provinsi Sumatera Utara.
“Investasi publik infrastruktur memang penting, namun dampaknya tidak terlalu signifikan jika tidak dibarengi dengan investasi di bidang riset and development, teknologi, skill, penyuluhan, dan perbaikan mekanisme market support untuk peningkatan pendapatan petani. Riset kami menunjukan bahwa skema investasi publik pada bidang-bidang ini dapat menaikkan PDRB di Indonesia termasuk Provinsi Sumatera Utara.” Ungkap Said Sebagai penutup, Said mengatakan bahwa investasi publik sektor pertanian harusnya menjawab permasalahan holistik dan tidak terjebak hanya pada infrastruktur fisik. Selain itu, dalam mengembangkan kebijakan investasi publik perlu diperkuat akuntabilitas dan ruang partisipasi publik. Ia juga mengungkapkan bahwa penting untuk meningkatkan ruang kontrol masyarakat dan stakeholder lainnya untuk meningkatkan efektivitas dalam investasi publik. (WRN)