Bogor, 7 Oktober 2020 – Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Prof. Dr. Damayanti Buchori mengatakan, untuk membangun sistem pangan yang sehat dan sekaligus berkeadilan, Indonesia tidak perlu jauh-jauh melihat keluar. Prof. Dami–demikian panggilan akrabnya– mengatakan, di masa lalu Indonesia sebenarnya sudah memiliki sistem pangan yang ramah lingkungan.
“Sebenarnya sistem pertanian tradisional Indonesia justru sudah menganut sistem pertanian yang berkelanjutan,” kata Prof. Dami, dalam seri webinar ‘Obrolin Pangan Goes to Campus’ yang menyapa civitas akademika IPB University, Rabu 7 Oktober, malam kemarin.
Sistem pertanian tradisional Indonesia menganut prinsip pertanian berkelanjutan yang ditandai dengan adanya keragaman tanaman, sistem bera (sistem dimana budidaya tanaman, bergantian dengan bera atau tanaman penjeda), dan adanya penghormatan pada alam.
“Petani misalnya, melakukan penghormatan pada Dewi Sri, kemudian ada acara seperti Seren Taon pada masyarakat di daerah Gunung Halimun,” ujar Prof. Dami.
Ciri berikutnya adalah adanya penguatan lokal, seperti penggunaan benih lokal, dan adanya pemahaman akan saling ketergantungan antara anggota ekosistem di lahan pertanian. “Kemudian juga adanya jasa ekosistem yang disediakan oleh agrobiodiversity, misalnya penyerbukan oleh lebah, penekanan hama oleh musuh alami, ini sudah lama ada dan ini adalah sistem yang bisa dikembangkan, ini harus kita kembalikan,” tegasnya.
Sistem ini, menghilang semenjak pemerintah menerapkan revolusi hijau, yang ujungnya justru banyak menghasilkan masalah baik pada soal penyediaan pangan itu sendiri, maupun pada petani sebagai produsen pangan. Revolusi hijau, menyederhanakan proses bertani yang kompleks menjadi sistem buatan manusia. “Ini mengakibatkan alam akan merespons balik,” kata Prof. Dami.
Manusia berusaha mengontrol unsur alam dengan menggunakan pupuk, pestisida kimia sintetis, bibit yang tidak ramah lingkungan, yang justru menghasilkan masalah baru. “Yang timbul adalah erosi, lahan berubah menjadi gurun, kerusakan tanah, polusi pestisida pada air, ledakan hama dan juga gangguan kesehatan pada petani,” ujarnya.
Kemudian terkait kesejahteraan petani, pemerintah juga tidak menjalankan kebijakan yang berpihak. Misalnya kebijakan perubahan tata ruang yang tidak terkontrol. “Katanya kita membutuhkan lahan sawah, tetapi lahan pertanian, sawah yang ter-irigasi malah diubah menjadi perumahan, pabrik dan sebagainya, kemudian dulu kita menanam tanaman yang beragam kini monokultur seperti sawit,” papar Prof. Dami.
Pengetahuan petani akan pertanian yang ramah lingkungan juga berkurang. “Dahulu ada SL-PHT (sekolah lapang pengendalian hama terpadu-red), kini sudah berapa llama SL-PHT tidak dijalankan? Perlu dilaksanakan kembali bagi petani-petani muda,” ujarnya. Untuk bisa mengembalikan sistem pangan ke arah yang berkelanjutan seperti di masa lalu, menurut Prof. Dami, salah satu kuncinya adalah penguatan kelembagaan petani. “Kelembagaan penting karena dengan bersatu, petani dapat memperluas akses pada pengetahuan, lahan, dan bahkan melakukan advokasi kebijakan yang menguntungkan petani,” tegasnya.