Bogor, 19 Juni 2020 – Membicarakan isu Hak Asasi Manusia (HAM), kerap lekat dengan isu-isu demokrasi, perburuhan, konflik sosial-politik dan lainnya. Sementara, pertanian kerap kali menjadi isu yang seolah berada dalam dimensi lain yang tak bersinggungan dengan hukum dan HAM.
Padahal, petani kerap menjadi subyek pelanggaran HAM, khususnya jika terkait konflik lahan dan juga perdagangan bahan pangan yang sering kali jauh dari kata adil. “Salah satu pilar dalam mewakili kedaulatan pangan adalah perdagangan yang adil. Nyatanya, dalam membangun jalan bisnis, petani seringkali terabaikan hak-hak asasinya,” kata Koordinator Program Koalisi Rakyat untu Kedaulatan Pangan (KRKP) Lily Batara, dalam diskusi online Obrolin Pangan #13, Jumat (19/6).
Dalam diskusi yang mengambil tema: “HAM Petani dalam Relasi Bisnis di Indonesia” itu, Lily mengatakan, hasil survei KRKP April lalu mengungkapkan, dari sisi harga, petani bahkan nyaris tak pernah mendapatkan harga yang berkeadilan. “Dari 32 kabupaten yang disurvei, ternyata harga panen petani masih jauh di bawah standar HPP (harga pembelian pemerintah-red),” papar Lily yang bertindak sebagai moderator, membuka diskusi.
Dari survei itu juga terungkap, keuntungan yang diterima petani sebagai produsen pangan, dalam rantai perdagangan pangan, ternyata jauh lebih kecil dibandingkan keuntungan yang diperoleh pengepul baik pengusaha penggilingan padi maupun distributor. Itu baru dari sisi harga. Belum lagi dari sisi lainnya, seperti penguasaan lahan misalnya.
Lily mengungkapkan, berdasarkan informasi dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang masa pandemi Covid-19, terjadi sembilan kasus konflik agraria yang melibatkan petani dengan perusahaan selama periode Maret hingga Mei 2020. “Artinya petani masih saja diabaikan hak-haknya dalam mengusahakan usaha pertaniannya atau dalam melakukan relasi bisnis,” tegasnya.
Memantik diskusi lebih jauh, Koordinator Nasional KRKP Said Abdullah mengatakan, masih diabaikanya HAM petani tampak dari masih “langgengnya” petani dalam strata kelompok marginal. Hal ini ditandai dengan masih tingginya tingkat kemiskinan petani di desa.
“Tingkat kemiskinan di pedesaan jauh lebih tinggi daripada perkotaan bisa jadi ada yang salah dengan sistem perdagangan yang kita miliki hari ini, ada peran dari private sector terhadap sektor pertanian,” papar pria yang akrab disapa Ayip itu.
Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian tahun 2012 di seluruh Indonesia tidak kurang dari 4.134 perusahaan yang melakukan operasi atau usaha dengan sektor pertanian dalam arti luas dan hortikultura. Sebagian besar perusahaan ini menumpuk di sektor perkebunan. Ini berubah angkanya dari tahun 2003 dimana sektor perkebunan belum terlalu dominan.
Apa implikasinya? Ayip menjelaskan, pada satu sisi sektor pertanian dengan keberadaan private sector menjadi lebih kuat dan ketersediaan pangan menjadi meningkat. Tetapi di sisi lain, semakin besarnya peran perusahaan di sektor ketahanan pangan berakibat semakin termarjinalkannya para petani jika perlindungan hak petani tidak dilaksanakan dengan kuat. “Sinyalemennya, situasinya akan berat bagi teman-teman petani kalau tidak ada upaya perlindungan,” tegasnya.
Karena itu, kata Ayip, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, seberapa mungkin kita mampu mendorong implementasi HAM pada sektor pertanian. “Kira-kira apa yang bisa kita siapkan? Prinsip apa yang perlu kita buat? Apakah strategi yang kami lakukan, mendorong forum stakeholder menjadi strategi yang sangat baik untuk mempercepat perlindungan dan pengawasan implementasi HAM di level praksis?” ujar Ayip.
Menjawab pertanyaan tersebut, Kasubdit Kerjasama HAM Ditjen HAM Kemenkumham Dr. Andi Taletting Langi mengatakan, secara formal, ketika berbicara HAM, perangkat aturan hukum yang ada sebenarnya sudah mencakup perlindungan bagi sektor pertanian dan perkebunan. Beberapa peraturan perundangan meski tak secara spesifik menyebutkan hak asasi petani, namun secara esensi menegaskan perlunya perlindungan HAM atas petani.
Misalnya, UU Nomor 39/1999 tentang HAM. “Tidak secara spesifik menyebutkan mengenai hak petani, namun melindungi hak manusia secara umum dan membagi ke dalam 10 hak dasar,” jelas Andi.
Kemudian, dalam UU Nomor 22 tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, UU Nomor 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang secara khusus mengatur perlindungan petani dalam pasal 12-pasal 29. Berikutnya adalah UU Nomor 18/2012 tentang Pangan dan UU 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
“Pertanyaannya, apakah seluruh perangkat instrumen tersebut sudah mampu sudah melindungi hak asasi petani? Implementasinya memang masih harus dipastikan,” ujarnya.
Dia mengatakan, menegakkan HAM petani merupakan hal yang wajib dilakukan. “Karena kalau kita bicara pangan, adalah kebutuhan mendasar, apakah kita bisa bertahan hidup tanpa pangan?” tegas Andi.
Implementasi perlindungan HAM petani, kata dia, semakin mendesak dilakukan di masa pandemi Covid-19 ini. “Dalam kondisi ini keterbatasan akses menjadikan petani sebagai kelompok yang paling terdampak. Karenanya negara memang harus memastikan berbagai sektor telah menerapkan sistem yang melindungi HAM petani,” tegas Andi.
Sementara itu, Penasehat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice Gunawan mengatakan, instrumen hukum dan mekanisme nasional yang ada sudah memadai yang ditandai dengan adanya beberapa UU yang menjamin perlindungan terhadap petani, termasuk UU Perlingungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Kemudian juga bentuk perlindungan dari pengesahan perjanjian internasional seperti perjanjian internasional sumber daya genetik tanaman pangan dan pertanian, kovenan internasional hak ekosob (ekonomi, sosial, budaya), dan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Melihat instrumen ini, seharusnya memang bisa menjamin perlindungan HAM petani.
“UU seharusnya mampu melindungi petani, hak kepemilikan lahan, redistribusi, dan inovasi dibidang pertanian termasuk inovasi benih pangan,” ujarnya.
Pertanyaannya, apakah semua instrumen tersebut secara nyata sudah mampu melindungi petani? Gunawan mengatakan, salah satu indikator bisa dilihat dari laporan Komite Ekosob yang berisi revisi atas hal-hal yang harus dilaporkan oleh negara-negara pihak berdasarkan Pasal 16 dan 17 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, di antaranya menyangkut petani yang tidak memiliki lahan, petani yang termarjinalkan, buruh di pedesaan dan pengangguran di pedesaan.
“Mengacu pada kovenan ekosob, salah satu indikator pemenuhan hak atas pangan adalah terkait pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat. Pemenuhan hak atas tanah merupakan pemenuhan hak atas pangan,” tegasnya.
Karena itu, reforma agraria menjadi elemen kunci apakah negara telah menjamin HAM petani, dalam hal ini memenuhi hak atas tanah sebagai pemenuhan hak atas pangan. “Reforma agraria merupakan elemen mendasar bagi pemenuhan HAM,” jelas Gunawan.
Dalam konteks ini, bisa dilihat jika kondisi ketimpangan akses atas lahan masih terjadi, konflik terkait lahan masih tinggi, maka belum bisa dikatakan pemerintah dengan segala perangkat hukumnya telah melindungi HAM petani. Dan itu bisa dilihat dari masih tingginya kasus-kasus terkait konflik lahan yang umumnya melibatkan aktor negara, swasta melawan petani.
Daniel, dari Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat mengatakan, secara aturan hukum, sebenarnya perangkat aturan untuk perlindungan HAM masyarakat sebenarnya sudah amat banyak dan berlapis. Nyatanya fakta di lapangan menunjukkan, kasus pelanggaran HAM justru seperti mengantre.
“Belum habis kasus yang satu, sudah muncul kasus yang lain. Jadi persoalannya bukan pada ada-tidaknya hukum, tetapi kepada bagaimana kontrol dan pengawasan sehingga pengawasan menjadi efektif sehingga pemerintah tidak kehilangan muka seakan tidak bisa menjaga anak negeri dalam pangkuan ibu pertiwi,” ujarnya.