Bogor, 1 Juni 2020 – Sudah memasuki bulan Juni, pandemi Covid-19 belum juga berlalu, kasus-kasus penularan baru masih terjadi, kekhawatiran yang diungkapkan KRKP di bulan maret lalu, kini sudah terjadi. Kekhawatiran itu adalah pandemi ini menyebar ke desa-desa yang merupakan pusat produksi pangan. Ancaman krisis pangan di masa pandemi akan semakin mendalam. Melihat situasi yang makin mengkhawatirkan, wacana normal baru mulai bergulir di media. Baiklah, mari tetap tenang dan tetap waspada serta tidak ada salahnya kita melihat kembali hasil diskusi para pakar pangan dan pertanian yang pada 22 mei lalu diselenggarakan oleh KRKP dalam ruang Expert talk.
Seperti sudah disinggung di atas, peningkatan jumlah pasien positif di nasional masih terjadi, pemerintah justru mulai menggaungkan ‘New Normal’ untuk menggerakkan kembali roda perekonomian yang terganggu selama masa penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Beraktivitas seperti sediakala, dengan tetap menjalankan protokol Covid-19 untuk menjaga kesehatan, memang ditengarai akan menjadi keniscayaan di berbagai negara di dunia.
Namun banyak pakar memprediksi Indonesia–yang dinilai belum menempuh prosedur yang benar dalam menangani pandemi Covid-19 sesuai standar WHO– langkah penerapan ‘new normal’ ini menjadi akan sangat gegabah. Dalam konteks desa dan pertanian, di tengah pandemi yang belum benar-benar terkendali, melonggarkan PSBB dan membiarkan orang-orang dari kota–yang kehilangan pekerjaan–kembali ke desa, dinilai akan menambah beban bagi desa.
“Kembalinya migrasi orang-orang dulu dari desa, ke kota, dan kembali ke desa, memberikan beban besar. Tidak hanya konteks pangan, sosial, tapi konteks ekologi desa. Apa yang akan terjadi? bisa jadi temporer, bisa jadi permanen,” kata Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah, dalam webinar bertajuk ‘Terus, Desa dan Petani Kudu Piye: Pasca COVID-19?’, yang digelar beberapa waktu lalu.
Ayip–sapaan akrab Said Abdullah– mengkahwatirkan, dampak ‘new normal‘ yang terkesan ‘setengah matang’ ini akan membawa dampak berat ke desa. Pandemi Covid-19 akan terjadi seperti yang diprediksi yaitu kasusnya meningkat di daerah meningkat dibandingkan di ibu kota sendiri. “Karena itu soal new normal ini, dalam konteks petani, apa yang penting dan yang perlu kita siapkan untuk mendorong perubahan yang lebih positif di tingkat petani dan desa?” ujar Ayip.
Menanggapi pertanyaan ini, Khudori, pengamat isu-isu pertanian dan pangan menjelaskan, pandemi Covid-19 ini sebenarnya bisa menjadi peluang bagi pemerintah untuk menata ulang sistem pertaniannya. Pertama, sebagai negara yang sebenarnya menggantungkan kebutuhan pangannya dari impor, Indonesia saat ini harus berkaca pada situasi dimana dampak dari pandemi ini salah satunya adalah putusnya lalu lintas perhubungan dan perdagangan.
“Itu membuat impor tidak bisa lagi dilakukan, dan kalau kita tarik di Indonesia, situasi yang aktual salah satunya soal gula,” jelas Khudori.
Dalam konteks impor gula, meskipun sudah ada realisasi yang luar biasa dari pemerintah bahkan kementerian perdagangan melakukan pelonggaran yang melanggar aturan yang dia bikin sendiri, pengaturan pasar gula, sampai hari ini gula belum selesai. Penyebabnya, salah satunya adalah karena kebutuhan impor masih sangat besar. “Sebelumnya juga kita lihat, bawang bombay, bawang putih, harganya juga cukup tinggi. Jadi dalam situasi krisis, menggantungkan sepenuhnya pada pangan di pasar dunia tidak sepenuhnya bisa menjadi solusi,” papar Khudori.
Di tambah lagi, hampir semua negara juga menghadapi tantangan dalam penyediaan pangan. Khudori menjelaskan, sebetulnya dari prediksi produksi sampai hari ini, perkiraan FAO tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Kalaupun ada kekhawatiran, itu dari sisi rantai pasok. Goncangan di sisi rantai pasok karena lockdown baik di level negara bagian, maupun sampai di level negara. Atau ada kebijakan-kebijakan di negara yang bersangkutan yang sifatnya restriktif.
“Misalnya kita lihat dalam komoditas beras, Vietnam, Thailand, jauh lebih restriktif dengan ekspornya. Itu mengulangi kejadian krisis pangan yang sebelum-sebelumnya, yang ternyata saat dihadapkan pada situasi yang lebih pelik, masing-masing negara lebih mementingkan kebutuhan domestik dan itu sesuatu yang wajar-wajar saja,” ujarnya.
Namun di sisi lain, khususnya dari sisi konsumen, ada sesuatu yang menggembirakan buat petani dan warga desa. Pandemui Covid-19, ternyata membuat konsumen melakukan perubahan dari segi konsumsi. Konsumen melakukan penyesuaian. Ketika pendapatan semakin menurun kalau sebelumnya konsumen merasa oke saja untuk makan di luar, sekarang lebih banyak masak di rumah.
Khudori memaparkan, survei yang dilakukan lembaga pemeringkat AC Nielsen menyatakan, 49% konsumen disurvei mengaku lebih sering memasak dibanding sebelumnya. Konsumen lebih selektif lagi, bukan lagi mengikuti keinginan tapi didorong kebutuhan. “Betul-betul didedikasikan kebutuhan kesehatan tubuh. Belanja protein, lemak, buah, sayuran, dan produk segar naik drastis. Pertimbangan produk lokal, sesuatu yang baru, belanja rempah-rempah dan minuman herbal yang diyakini menaikkan imunitas tubuh drastis meningkat belanjanya,” papar Khudori.
Perubahan perilaku ini, kata Khudori, sebenarnya menjadi peluang bagi pangan lokal, terutama masyarakat desa untuk mengisinya. Hanya saja, kata Khudori, meski peluangnya besar, tantangannya juga tak kalah besarnya. Indonesia memang memiliki jumlah desa yang besar, yaitu mencapai 75 ribu desa lebih, dan dari jumlah itu, ada peningkatan besar pada status desa mandiri mencapai hampir dua kali lipat. Tetapi, masalahnya, desa tertinggal juga masih cukup besar,
“Punya potensi cukup luar biasa, tetapi tantangannya juga tidak mudah, desa-desa kita sama dengan kota-kota yang rentan bencana. Bencana ekologis ternyata menjadi problem yang serius, apakah banjir, tanah longsor, mengancam banyak desa. Di tambah lagi, penduduk pulang kampung yang semula mengais keuntungan di kota pulang ke desa memberikan tekanan pada masyarakat desa. Sampai sekarang, kemiskinan, masih cukup besar, hampir dua kali lipat dari kemiskinan di kota,” ujarnya.
Meski dalam kondisi saat ini di tengah merajalelanya impor pangan, sebenarnya produksi pangan nasional sebagian besar masih dilakukan di desa. Hampir 80 persen produksi domestik, masih dihasilkan di desa. Hanya saja, produsen pangan di desa, hingga detik ini juga masih menghadapi banyak keterbatasan. “Mayoritas petani, peternak berlahan sempit, tidak sekolah, usia senja, produktivitas rendah, pertanian bukan aktivitas utama,” papar Khudori.
Data mengungkapkan dalam tiga empat dekade terakhir terjadi penurunan desa-desa pangan. “Gejala delokalisasi, penurunan peran desa bagi warganya sendiri, de-petani-sasi, de-agrariani-sasi, merosotnya penguasaan lahan bagi masyarakat desa, menjadikan desa berdaulat tidak mudah,” tegas anggota Pokja Ahli di Dewan Ketahanan Pangan itu.
Karena itu, pemerintah perlu memberikan jaminan agar produksi pangan di desa tetap berjalan dan produksi bisa diserap pasar dengan harga yang pantas dan layak secara ekonomi bagi petani untuk terus berproduksi. Harus ada kepastian bahwa produksi petani terserap pasar supaya kontinuitas produksi terjamin. “Kalau ngikutin permintaan terakhir, terjadi gejala penurunan harga di pasar dan beberapa produk tidak terserap apakah itu telur ayam, unggas, tangkapan ikan, dan tempo hari cabai,” jelas Khudori.
Karena itu untuk menjamin hal serupa tidak terjadi lagi, program di banyak kementerian yang menyasar ke masyarakat desa harus didesain agar bisa disatukan untuk memastikan ada proses yang menghubungkan antara petani dan pasar. “Misalnya, ada beberapa pemda yang menginisiasi membuat pasar yang menampung produk petani dan menghubungkan dengan konsumen,” ujarnya.
Kemudian, kata Khudori, tidak ada salahnya pemerintah dan kita semua, perlu didorong membuat langkah-langkah tidak biasa. Seperti, pengembangan pangan lokal berbasis rumah tangga, urban farming, memanfaatkan setiap jengkal lahan. “Kalau bisa dimanfaatkan dalam waktu dekat, akan membantu mengurangi tekanan. Kalau kita cek, pola konsumsi masyarakat kota dan desa tidak jauh beda, menggantungkan pada pasar. Masyarakat desa tidak punya kesabaran untuk menunggu dan menanam. Potensi pekarangan lokal luar biasa, pekarangan 10,3 juta hektare, jauh lebih luas dari lahan sawah yang hanya 7,4 juta hektare. Kalau semua dimanfaatkan akan sangat bagus,” tegas Khudori.
Dia menilai, krisis ini menyadarkan kita bahwa stok cadangan sangat penting. “Kalau ditanya apakah pemerintah punya cadangan, ada, tapi ekuivalen untuk cadangan tiga hari. Krisis akan selalu berulang, perlu ada perubahan cara pandang, perubahan paradigma supaya kita punya resiliensi yang baik saat krisis terjadi,” kata Khudori.
Desa, petani, harus berdaulat. Mereka harus diberikan akses terhadap sumberdaya produksi, tata produksi dengan beriringan dengan lingkungan, tata niaga. “Harus ada proses tata niaga yang adil yang memberikan jaminan keuntungan dengan petani, yang terakhir harus ada perubahan tata konsumsi, kalau daerah mengusahkan pangan lokalnya akan terjadi perubahan tata konsumsi,” pungkasnya.
Sementara itu, peneliti dari Kementerian Pertanian Sayuti mengatakan, untuk mendorong pertanian menjadi usaha yang ekonomis, pemerintah telah mendorong terbentukna korporasi petani. “Konsepnya, bagaimana nilai-nilai tambah on farm di hulu dan hilir, bagaimana nilai tambah produksi tani, produksi pupuk semua masuk ke petani. Kita sedang usulkan perpres-nya,” jelasnya.
Korporasi petani, kata dia, bisa menjadi pola baru dalam pemberdayaan petani dan kelompok tani yang tadinya hanya ada di level dusun dan desa, menjadi ke level kecamatan. “Sehingga bisa menggerakkan bisnis, bagaimana petani menyelesaikan dirinya untuk menata diri melalui mekanisme bisnis,” ujarnya.
Sayuti mengatakan, saat ini di Karawang, dia juga telah mengembangkan korporasi tani. Ada lima koperasi masing-masing mengelola bisnis, dimana satu kecamatan mengelola satu unit bisnis. “Koperasinya ada lima, satu petani bisa jadi anggota koperasi di lima-limanya. Kelompok petani dan gapoktan menjadi bagian dari korporasi petani. Kita hitung-hitungan kasar, dari 5 ribu hektare, dua kali tanam, ada 10 usaha yang kalau korporasi itu jalankan itu potensi pendapatan kotornya setahun Rp66,7 miliar. Kalau nilai sebesar itu balik ke petani karena dikelola korporasi petani, milik petani, yang menjalankan mungkin bisa jadi profesional,” tegasnya.
Kemudian, tak kalah penting adalah pemanfaatan teknologi informasi untuk membantu memperluas pemasaran produk pertanian. “IT online menjadi andalan. Petani kita perlu mapping, kalau petaninya nggak punya wifi apalagi nggak punya gadget, yang perlu kita seriuskan, jaringan wifi, paket optik, untuk pedagang bapak-ibu petani,” pungkasnya. (Agung/Hp)