Bogor, 19 Juni 2020 – Salah satu penyebab rentannya petani mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah adanya posisi yang tidak setara dalam relasi bisnis pangan antara petani, korporasi dan negara. Korporasi dan negara, kerap berada pada posisi yang lebih superior dibandingkan petani.
Kondisi inilah yang membuat petani rentan mengalami pelanggaran HAM, mulai dari persoalan ketidakadilan harga, akses pasar, sampai urusan lahan. Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, untuk membuat petani berdaya, maka perlu ada safe guard atau upaya untuk penguatan yang dibangun pada level bukan hanya petani, kelompok tani tetapi juga pemerintah dari pusat hingga daerah.
“Safe guard ini di ranah perdagangan yang adil atau fair trade adalah bagaimana mendorong implementasi hak asasi manusia dalam praktik bisnis di sektor pertanian pangan. Saat ini yang terjadi, ruang kendali korporasi yang sangat besar melawan kekuasaan yang dimiliki petani,” jelas pria yang akrab disapa Ayip itu dalam dalam diskusi online Obrolin Pangan #13 bertajuk: ‘HAM Petani dalam Relasi Bisnis di Indonesia’, Jumat (19/6).
Ayip memaparkan, sampai hari ini, model kerjasama yang dibangun perusahaan dan petani masih belum berangkat dari basis transaksi, ada pernak pernik, ada kontrak. Jika modal basis transaksi yang dipilih, mestinya perlindungannya menjadi lebih kuat, karena pada praktik contract farming, jika terjadi pelanggaran kontrak, maka ada jaminan hukum atas hal itu.
“Pelanggaran tidak hanya selalu oleh perusahaan, tapi pada beberapa kasus dilakukan wanprestasi oleh oknum dari petani itu sendiri,” jelas Ayip.
Karena itu, berangkat dari pola pikir ini, KRKP pada tahun 2018 membangun pemodelan kerjasama berbasis transaksi ini, di dua Kabupaten yaitu Magelang dan Sragen. Dalam kerangka tersebut, KRKP mendorong di level pemerintah daerah untuk membangun satu standar safeguard yang memungkinkan ketika terjadi kerjasama antara petani dan pihak swasta, aspek HAM terlindungi dengan baik.
“Bagaimana capacity building pada pemerintah daerah, mendorong pemerintah daerah melakukan regulasi agar pemda Magelang dan Sragen mengeluarkan tata aturan khusus terkait perlindungan HAM pada praktik kerja petani dan perusahaan, bagaimana mekanisme perlindungannya dalam ruang mediasi dan seterusnya,” papar Ayip. Selama ini, ketika perusahaan masuk berbisnis dengan petani, peran Pemda hanya mengantarkan perusahaan setelah itu tidak ada proses pengawasan dan perlindungan.
“Inisiatif tadi kami lanjutkan pada tahun ini di Ngawi, sebenarnya sama bagaimana supaya teman-teman petani memiliki kapasitas yang kuat, mendapatkan manfaat dari proses produksi tata niaga, dan akhirnya ada perlindungan dalam level pemerintah daerah,” tambanya.
Salah satu inisiatifnya adalah dengan membangun forum pada level pemerintah di Ngawi dengan stakeholder termasuk petani. “Inisiatif lain adalah mendorong gagasan di forum dikuatkan dalam suatu regulasi,” jelas Ayip.
“Setidaknya saya pribadi belum menemukan misalnya di sektor tanaman pangan ada regulasi khusus yang model kerjasamanya menunjukkan dengan sangat kuat penegakan HAM dalam praktik bisnis,” tegasnya.
Terkait hal ini, Kasubdit Kerjasama HAM Ditjen HAM Kemenkumham Dr. Andi Taletting Langi mengatakan, relasi bisnis dan HAM terkait pertanian digambarkan dalam kurva relasi yang melibatkan tiga pilar yaitu negara, perusahaan dan petani, sebagaimana tertuang dalam Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs).
Prinsip-Prinsip Panduan ini memberikan standar global pertama untuk mencegah dan menangani risiko dampak buruk terhadap hak asasi manusia yang terkait dengan aktivitas bisnis, dan terus menyediakan kerangka kerja yang diterima secara internasional untuk meningkatkan standar dan praktik mengenai bisnis dan hak asasi manusia
Dalam relasi ini, tugas negara adalah memastikan pertanggungjawaban perusahaan dan bertanggung jawab melindungi HAM masyarakat, dalam konteks ini petani. Sementara perusahaan harus memastikan kepatuhan melaksanakan tanggung jawab kepada negara dan bertanggung jawab menghormati HAM petani.
Dalam tiga pilar itu ditegaskan, tugas negara adalah melindungi. Dua prinsip utama bagi negara adalah: pertama, negara harus melindungi warganya dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak ketiga, termasuk korporasi yang terjadi di wilayah atau yurisdiksinya melalui kebijakan, peraturan perundangan, regulasi dan ajudikasi yang efektif. Kedua, negara harus memastikan agar korporasi yang berdomisili di dalam wilayah atau yirisdiksinya menghormati hak asasi manusia dalam operasi bisnisnya.
Pilar kedua, tanggung jawab perusahaan adalah menghormati hak asasi masyarakat. “Perusahaan menghormati HAM masyarakat dengan melakukan uji tuntas HAM untuk menghindari pelanggaran HAM dan mengatasi dampak buruk pelanggaran HAM,” papar Andi.
Terkait hal ini, kata Andi, bicara bisnis dan hak asasi manusia, jaminan perlindungan memang tidak hanya oleh negara, tetapi ada faktor lain, terkait misalnya, aset perusahaan. “Apakah aset perusahaan lebih dari aset negara, sehingga bisnis jangan sampai menjadi mengontrol policy negara. Jangan sampai itu terjadi, kalau terjadi, kacau negara ini,” jelasnya.
Pilar ketiga adalah akses terhadap kompensasi jika terjadi pelanggaran. “Untuk korban pelanggaran HAM korporasi bisa melalui jalur judisial dan jalur non judisial,” jelasnya. Petani dalam pilar ini juga akan menjadi pihak yang dinilai, misalnya apakah dalam produksi pangan misalnya, patuh pada prinsip HAM, misalnya tidak melibatkan pekerja anak.
Melihat 3 pilar di atas, menjadi perlu bagi para pihak untuk mendorong suatu instrument baik di daerah maupun secara lebih spesifik di pusat yang dapat melindungi hak asasi petani. Selain hak berkaitan dengan perlindungan akses terhadap tanah, tak kalah penting bagaimana negara melindungi petani dari transaksi antara petani dengan perusahaan berjalan secara transparan dan berkeadilan. “Pemerintah sebenarnya sedang menyiapkan suatu instrument yang diperuntukkan kepada swasta juga, bagaimana mendorong perusahaan yang berbisnis dengan petani dapat melakukan assessmen pada pendistribusian produk hasil petani tidak terjadi pelanggaran HAM” ujar Kasubdit Kerjasama HAM, Kemenkumham. Petani adalah profesi tunggal yang bisa menyediakan pangan negeri ini, sehingga sudah semestinya ada instrumen-instrumen perlindungan kepada aktor ini sangat penting.