Bogor, 30 Juni 2020 – Merangsang minat anak-anak muda untuk terjun ke pertanian memang tidak mudah. Tak heran jika sampai hari ini, jumlah petani di Indonesia masih saja didominasi oleh kaum tua. Riset yang dilakukan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) tahun 2015 mengungkapkan, mayoritas petani (61,8%) adalah petani berusia di atas 45 tahun. Sementara, sejumlah 26% lainnya berusia antara 34-44 tahun.
Hanya 12% petani yang disurvei yang usianya di bawah 35 tahun. Hal inilah yang kemudian menggerakkan KRKP untuk kembali menggelar ajang Duta Petani Muda di tahun 2016 dan kemudian di 2018 untuk menggerakkan kembali gairah anak muda untuk terjun ke dunia pertanian. Sebelumnya ajang yang sama sudah digelar di tahun 2014.
“Tetapi anak muda masih berpikir bertani itu tidak keren, karenanya kampanye duta petani muda diluncurkan supaya membawa minat anak muda bekerja di pertanian” kata peneliti KRKP Muhammad Ulil Ahsan, dalam acara Obrolin Pangan #14 yang bertajuk: ‘We Are Youngster and A Farmer‘ yang digelar secara daring, Selasa (30/6).
Ulil menegaskan, keberadaan petani muda sendiri sangat penting bagi masa depan pertanian Indonesia. “Tanpa regenerasi pertanian akan menjadi sangat problematik bagi pencapaian kedaulatan pangan, karenanya sangat penting menciptakan image bahwa pertanian itu keren di mata anak muda untuk mendorong pemuda ke pertanian,” tegas Ulil.
Champion Duta Petani Muda 2014 M Tanfidzul Khoiri, yang sukses dengan usaha peternakan terpadu ‘Kandank Oewang’, mengakui minat pemuda untuk terjun di pertanian memang masih rendah. Terlebih di masa dia mulai terjun ke bidang tersebut di tahun 2012 lalu.
Khoiri mengatakan, salah satu yang membuat minat pemuda terjun ke pertanian sangat kurang adalah karena image pertanian tidak modern. “Jarang anak muda terjun di pertanian karena alat-alatnya nggak terlalu modern,” ujarnya.
Karena itu, di Kandank Oewang, Khoiri mencoba melakukan modernisasi sistem peternakan terpadunya. Selain untuk memudahkan kerja, juga untuk membuat image pertanian menjadi keren di mata anak-anak milenial. Salah satunya, melalui tim IT yang dimilikinya, Khoiri mencoba mengembangkan aplikasi yang mencatat riwayat hewan ternak atau recording.
“Kita coba memudahkan, saya kan sering bawa ponsel, jadi lewat peranri itu bisa memantau kondisi kambing, rumusan pakan selalu update setiap saat, dengan aplikasi berbasis android dan kalkulator pakan,” ujarnya.
Recording hewan sendiri di negara maju seperti di Jepang merupakan sesuatu yang biasa. Peternakan sapi misalnya, bisa melakukan penelusuran (tracing) seekor sapi mulai dari siapa ‘bapak’ dan ‘ibu’-nya, lahir tanggal berapa, bobot lahir, sampai obat-obatan yang pernah masuk ke dalam tubuh ternak.
Khoiri sendiri mengetahui hal itu dari pengalamannya magang di sebuah peternakan terpadu di Prefektur Nara, di Jepang selama 10 bulan tahun 2016-2017 lalu. “Di Indonesia, sapi ataupun domba tidak tahu berapa umurnya, berat lahirnya, karenanya kami mulai me-record, sekarang masih manual, di papan tulis atau di tanggalan, tetapi kita coba sederhanakan bersama tim IT dengan menggunakan aplikasi recording,” ujarnya.
Selain itu, Khoiri juga mencoba menarik minat anak muda terjun ke pertanian dengan membuat video tutorial, sharing dan lain-lain di kanal Youtube Kandank Oewang. Kemudian dia juga membangun platform digital kandankoewang.com.
Sementara itu, Champion Duta Petani Muda 2016 Maya Stolastika, juga punya formulasi sendiri untuk menarik minat anak muda untuk terjun ke dunia pertanian. Pasca mengikuti ajang Duta Petani muda, Maya bersama rekannya Herwita yang membangun usaha pertanian organik ‘Twelve Organic‘, membuka kelas sharing seputar pertanian organik kepada kaum perempuan.
“Tahun 2017 kita membentuk kelompok petani yang lebih banyak petani perempuannya, yaitu 25 petani perempuan dan hanya 2 petani laki-laki,” ujarnya.
Tujuan mengajak lebih banyak perempuan, kata Maya, adalah karena perempuan sebagai ibu merupakan sosok yang sangat berperan dalam membentuk mindset atau pola pikir anak. Kalau mindset si ibu tentang pertanian keren, sebagai dunia yang punya masa depan, nanti akan mampu mengarahkan kepada anaknya untuk menjadi petani,” jelas Maya.
Lewat kelas sharing tersebut, Maya dan Wita memberikan berbagai materi seputar pertanian organik, pelatihan budidaya organik, pelatihan pembuatan pupuk organik, dan juga manajemen. Para peserta diajarkan menghitung cost produksi, dan menetapkan harga jual sehingga bisa menjadi usaha yang menguntungkan. Maya berharap, pola pelatihan seperti ini bisa diterapkan di seluruh Indonesia.
Kurangnya minat pemuda untuk terjun ke pertanian memang bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Di Australia, yang notabene pertaniannya sangat maju, ternyata juga mengalami hal serupa. Itu diungkapkan oleh Tayla Allison, seorang mahasiswa asal Western Sydney University, yang hadir menjadi pembicara tamu.
Tayla memaparkan, pertanian di Australia merupakan usaha yang menjanjikan. Sebanyak 58% lahan di sana, digunakan untuk pertanian demikian pula dengan 59% penggunaan sumber daya air. Usaha pertanian juag menyerap 2,6% tenaga kerja sepanjang tahun 2018-2019. Selama 20 tahun ini, pertanian di Australia mampu meningkatkan hasil produksi melalui perkembangan teknologi. Produksi, khususnya ternak juga meningkat karena dorongan harga yang tinggi.
Tetapi situasi yang gebyar-gebyar itu toh, tak juga menarik perhatian kaum muda di sana. “Saat ini usia rata-rata petani Australia adalah 60 tahun. Hanya 7 persen pertani yang berusia di bawah 30 tahun,” paparnya.
Tak hanya itu, sampai buruh tani pun kebanyakan dikuasai pekerja asing. Bahkan saking tak menariknya, pertanian menjadi subyek studi yang semakin tak populer di Universitas bagi para mahasiswa. “Kebanyakan anak muda yang belajar pada dunia pertanian berfokus pada pertanian organik,” jelasnya.
Kini, pasca pandemi Covid-19, Australia memang masih cukup berjaya sebagai negara dengan ketahanan pangan terbaik di dunia. Australia hanya mengimpor 11% dari kebutuhan pangan domestiknya meski pandemi Covid-19 mengakibatkan penurunan ekspor tertutama pada komoditi seafood dan protein hidup.
Meski demikian, masa depan pertanian Australia tak juga bakal otomatis cerah. Selain isu regenerasi, berbagai isu lain juga menjadi ancaman bagi masa depan pertanian Australia, seperti degradasi lingkungan, dan perubahan iklim.
“Perubahan iklim menyebabkan terjadinya perkembangan hama dan gulma. Kasus kebakaran belum lama ini juga berdampak pada produksi pangan. Suhu rata-rata harian mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hingga 2020 perubahan iklim membawa dampak yang cukup serius bagi pertanian di Australia,” pungkas Tayla.