web analytics

Pangan dari Masa ke Masa

02
Aug

“Pemuda-pemudi! Engkau sekarang hidup dalam satu zaman yang penuh dengan soal-soal, satu zaman yang penuh dengan problem. Salah satu dari pada problem-problem itu ialah problem makanan rakyat. Engkau telah mengalami sendiri; di waktu akhir-akhir ini surat kabar-surat kabar dan tuturan di kampung-kampung penuh dengan kata-kata; harga beras naik gila-gilaan, di sana-sini ada mengancam bahaya kelaparan, di desa ini dan di desa itu ada orang makan bonggol pisang, di daerah itu dan di daerah sana ada terdapat hongeroedeem (busung lapar), di dukuh anu ada orang bunuh diri karena tak mampu memberi makan kepada anak-isterinya, dan lain-lain tuturan sebagainya lagi.”

Potongan pidato Presiden Sukarno saat peresmian gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia ‒sekarang menjadi Institut Pertanian Bogor‒ di tahun 1952 itu dapat menjadi gambaran mengenai kondisi pangan di Indonesia pada masa itu.

Indonesia yang dikenal sebagai negeri agraris tentu mempunyai sejarah yang panjang mengenai pangan, dari masa ke masa. Disebutkan M. Yusnita dalam buku Pola Perilaku Konsumen dan Produsen (2020), agraris merupakan bidang kegiatan produksi dalam mengolah alam, baik berupa tumbuhan maupun hewan, menjadi barang baru. Contoh agraris dalam kegiatan produksi ialah pada bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan darat yang jamak ditemui di berbagai daerah di Indonesia.

Dalam kesempatan kali ini, penulis akan mencoba sedikit mengulas tentang seutas benang merah perjalanan pangan dari masa ke masa sepanjang kehidupan bangsa Indonesia, sejak zaman kerajaan yang menggunakan sistem feodal, zaman penjajahan dengan sistem monopoli perdagangan dan kolonialisme, hingga pada abad ke-21. Pada abad ini, perubahan terjadi lebih cepat daripada masa-masa sebelumnya akibat adanya globalisasi, hingga satu dasawarsa belakangan yang penuh dengan digitalisasi. Ditambah lagi dengan ancaman perubahan iklim yang menjadi kekhawatiran banyak orang di dunia saat ini.

Sebutan “negara agraris” seperti berkonotasi sebagai negeri yang terbelakang dalam hal lain, seperti teknologi dan informasi, industri, dan hal-hal yang lain yang berhubungan dengan eksak. Identitas yang melekat itu memberikan stereotip bahwa negeri ini hanya mengandalkan keunggulan agrarianya dan terlena oleh cerita lampau mengenai kesuburan tanah. Bahkan, penulis ingat, pada saat jenjang sekolah dasar dalam pembelajaran disebutkan bahwa menanam apa pun di negeri ini dapat tumbuh begitu saja tanpa harus melakukan perawatan ekstra.

Ditambah lagi, Indonesia hanya memiliki dua musim, yaitu kemarau dan hujan. Masyarakat menjadi terbiasa dengan rasa aman tanpa harus memikirkan stok bahan pangan saat musim dingin, seperti halnya negara-negara utara yang terbiasa memutar otak sekeras mungkin agar bisa bertahan hidup di saat musim dingin tiba.

Hal ini pun tidak lepas dari tingkat konsumsi pangan yang meningkat akibat pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, hama yang semakin resisten akibat penggunaan pestisida yang berlebihan yang dimulai sejak digencarkannya Revolusi Hijau demi tercapainya swasembada pangan, juga kesuburan tanah yang menurun akibat kualitas tanah yang memburuk dari waktu ke waktu akibat pemakaian pupuk kimia yang melewati batas. Hal-hal itu kemudian menjadi problem kompleks bagi sektor pertanian dan ketahanan pangan di Indonesia.

Selain dikenal dengan fitrah agrarisnya, sebagai bangsa yang besar, Indonesia pun dianugerahi warisan budaya yang tidak kalah menawan. Warisan budaya yang kharismatik itu berkat kokohnya kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di negara ini, yang memberikan peninggalan budaya berupa candi, arca, bahkan kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca yang menjadi acuan dasar dalam pendirian negara Indonesia.

Dari peninggalan itu, kita juga dapat menelisik bagaimana kondisi pangan di Indonesia pada zaman kerajaan di rentang tahun 800-an sampai 1800-an. Dari relief di candi-candi yang tersebar di berbagai daerah di Tanah Air, kita dapat melihat bagaimana peta konsumsi pangan lokal pada masa kerajaan.

Di Candi Borobudur yang dibangun dalam rentang waktu tahun 800-an sampai 900-an, ternyata terdapat bahan pangan selain padi yang sudah dikonsumsi pada masa itu, yaitu jewawut, pisang, sukun, dan talas. Namun, mengapa hanya padi yang sekarang dijadikan komoditas pangan pokok di Indonesia? Apakah dahulu padi juga sudah menjadi pangan pokok bangsa ini? Dan, seperti apa kondisi pangan baik dari segi konsumi maupun produksi dari masa ke masa? Untuk menemukan jawabannya, mari coba kita urai satu per satu.

Sebelum konsumsi pangan kita bergeser ke nasi, ternyata masyarakat Indonesia sudah mengenal bahan pangan substitusi padi yang tidak kalah bergizi. Salah satunya adalah jewawut, yang ditemukan di relief Candi Borobudur.

Menurut Eva Cahyanti dalam jurnalnya, “Budidaya dan Karakterisasi Hama Penyakit pada Tanaman Jewawut”, (2021), jewawut (setaria italica) merupakan tanaman yang berasal dari famili poaceae yang termasuk ke dalam jenis serealia berbiji kecil atau millet. Jewawut pernah menjadi makanan pokok masyarakat Asia Timur dan Asia Tenggara sebelum budidaya padi yang dikenal saat ini. Jewawut mulai dikenal luas di Indonesia, bahkan dijadikan makanan pokok di beberapa daerah. Daerah yang pernah tercatat menjadikan jewawut sebagai makanan pokok yaitu Enrekang, Pulau Rote, dan Pulau Sumba.

Jewawut merupakan sumber karbohidrat, mempunyai aktivitas antioksidan, kaya kandungan vitamin dan mineral, serta memiliki kandungan serat pangan yang tinggi sehingga mempunyai efek yang baik untuk kesehatan. Senyawa antioksidan yang terdapat pada jewawut antara lain flavonoid. Senyawa flavonoid terbukti mempunyai kemampuan menangkal radikal bebas dengan sangat baik. Selain jewawut, ada juga pisang, sukun, dan talas yang sudah dikenal secara luas di berbagai daerah di Indonesia, yang memang bisa menjadi pengganti padi sebagai bahan pangan pokok.

Berbagai sumber menyebutkan bahwa beras atau padi, tanaman yang masuk dalam genus oryza, sudah menjadi makanan pokok bangsa ini sebelum nama “Indonesia” terbentuk. Pada beberapa hasil penelitian para arkeolog bidang pangan, ditemukan dua peninggalan sejarah mengenai padi.

Pertama, padi pertama kali dibawa masuk dan diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui jalur perdagangan dari India dan China. Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa sebelum dibawa masuk oleh pedagang India dan China, padi sudah ada di Indonesia. Dalam naskah-naskah kuno, salah satunya Negarakertagama yang ditulis pada masa Majapahit, juga disebutkan bahwa padi sudah dibudidayakan secara luas oleh kaum petani pada masa itu.

Para pakar pangan berpendapat, pergeseran bahan pangan nonberas beralih ke beras disebabkan munculnya pemahaman masyarakat bahwa makan nasi dalam keseharian akan menunjukkan kelas sosial yang lebih baik. Selain itu, pengaruh pembangunan di masa lalu juga menyebabkan banyak wilayah atau komunitas yang mengalami proses perubahan sosial budaya yang sangat mendasar. Masyarakat yang sebelumnya terbiasa mengonsumsi bahan pokok seperti jagung, sagu, atau singkong, kini mengonsumsi beras.

Kebiasaan dan pemahaman yang salah itu menyebabkan terjadinya perubahan bahan pangan pokok pada waktu itu, dan tidak diduga ternyata berdampak pada saat ini. Ketersediaan pangan terancam karena tingkat pertumbuhan penduduk yang meningkat drastis diikuti juga oleh bertambahnya konsumsi beras.

Terkait ketidakberpihakan pada produsen pangan, petani yang berjasa dalam memproduksi bahan pangan agar kita tidak harus bersusah-payah memproduksi dan tinggal mengolahnya dengan mudah untuk menjadi bahan pangan yang siap dikonsumsi ternyata memang sudah tertindas dan diletakkan sebagai golongan bawah sejak zaman kerajaan. Di masa kerajaan yang menerapkan sistem feodal, banyak kerajaan yang menerapkan peraturan tentang kewajiban petani untuk menyerahkan setengah bahkan lebih hasil tani mereka untuk kepentingan kerajaan. Betul, menyerahkan dengan sukarela, tanpa ada upah atau imbalan kepada petani yang sudah bersusah payah mengolah lahan agar dapat menghasilkan hasil tani yang berkuantitas dan berkualitas baik.

Warisan yang satu ini tampaknya sudah mendarah daging dan menyatu di DNA di sebagian besar pejabat publik juga kaum elite di Indonesia sampai saat ini. Mereka mengharapkan petani bekerja keras untuk menghasilkan stok bahan pangan yang cukup bagi rakyat Indonesia, tapi masih menempatkan kaum tani di strata sosial ekonomi kalangan bawah.

Ditulis: Diego Narahito

Leave a Comment