Beralih ke masa penjajahan. Masa ini ternyata juga tidak membawa angin segar pada kondisi pangan dan petani di Indonesia. Harga komoditas rempah yang sedang naik daun di pasar Eropa ternyata malah berdampak negatif kepada kaum tani yang harus merasakan sistem tanam paksa yang diterapkan penjajah untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Banyak hasil pertanian yang favorit dan legendaris asal Indonesia di pasaran internasional, seperti rempah-rempah, tembakau, kopi, dan tebu.
Di masa penjajahan Jepang dengan metode kerja rodi, Jepang memaksa para petani menanam berbagai hasil pertanian untuk kepentingan mereka, seperti beras, jagung, dan pohon jarak sebagai bahan bakar. Sebenarnya di masa penjajahan, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tidak mengubah sistem yang telah diterapkan kerajaan terhadap petani. Namun, mereka lebih memberikan kuasanya kepada bupati setempat atau raja untuk memeras petani dan tetap menaruh petani di garis bawah dalam strata sosial ekonomi, juga diskriminasi dalam hal pendidikan, untuk membatasi tingkat intelektualitas kaum tani.
Di masa kolonialisme, pemerasan terhadap petani semakin menjadi-jadi. Petani wajib mengakomodasi bukan hanya kemauan raja atau bupati, tapi ditambah dengan harus menuruti kebutuhan penjajah.
Perbedaan mendasar antara masa feodalisme dan kolonialisme adalah tentang sistem kepemilikan alat produksi. Pada masa feodalisme, sistem produksi dimiliki kerajaan, sementara masa kolonialisme yang membawa paham kapitalis, sistem alat produksi dimiliki penjajah atau pemilik modal dengan segenap peralatan yang tentunya lebih modern dibandingkan alat produksi yang ada di masa kerajaan saat itu. Revolusi Industri yang terjadi di akhir abad ke-18 di Inggris juga berpengaruh besar terhadap tata cara produksi pertanian, dari yang sebelumnya menggunakan alat-alat tradisional seperti lesung dan kerbau menjadi penggilingan dan traktor.
Sentralisasi lahan pertanian yang terlalu berpusat di Jawa juga menjadi satu problem pangan dari masa lampau hingga saat ini. Walaupun saat ini pemerintah berusaha melakukan desentralisasi lahan pertanian dengan membangun lumbung pangan (food estate), hadir juga segala permasalahan di belakangnya, seperti deforestasi lahan hutan secara besar-besaran yang dikritik oleh negara-negara lain serta Greenpeace, banjir, erosi, terancamnya flora-fauna endemik, hingga gangguan kesehatan bagi masyarakat sekitar lumbung pangan akibat pembakaran hutan secara masif. Food estate nampaknya belum menjadi suatu kebijakan yang tepat dalam mengatasi permasalahan pangan di Indonesia.
Di dalam bukunya, Involusi Pertanian, Clifford Geertz menyebutkan bahwa pada waktu itu hampir 70 persen lahan di Pulau Jawa ditanami setiap tahun. Di Jawa, hampir separuh dari tanah pertanian (yang dimiliki pemilik tanah kecil) tidak mendapat irigasi, boleh dikatakan tidak ada sama sekali.
Banyak daerah yang mendapatkan irigasi, tanah pertaniannya berupa sawah, kira-kira setengahnya diusahakan dua kali dalam setahun untuk berproduksi, atau ditanami padi lagi, atau bisa juga digilir dengan salah satu atau beberapa jenis tanaman palawija. Di daerah yang tidak ada irigasi, tanah ditanami palawija (jagung, ubi kayu [singkong], ubi jalar, kacang, padi, gaga, sayuran, dan sebagainya), juga diusahakan untuk ditanam bergiliran (crop and fallow regime).
Statistik produksi pangan pada saat itu juga memberikan gambaran yang semakin menguatkan anggapan Geertz tentang sentralisasi pangan yang terlalu berpusat di Jawa. Kira-kira 63 persen dari hasil beras, 74 persen jagung, 70 persen ubi kayu, 60 persen ubi manis, 86 persen kacang, dan 90 persen kedelai berasal dari Jawa.
Dalam masa penjajahan Jepang, Pemerintah Jepang juga mewajibkan petani di pedesaan Jawa untuk menyerahkan padi dengan ketentuan-ketentuan yang sangat memberatkan. Antara lain, produksi dan distribusi padi berada di bawah pengawasan negara, juga harga gabah dan beras ditetapkan oleh Pemerintah Jepang, yang tentu terlampau rendah, sangat tidak sebanding dengan apa yang telah diberikan oleh petani.
Sistem tersebut membuat hanya PemerintahJepang yang dapat memungut dan menyalurkan padi. Para petani harus menjual padi kepada pemerintah sesuai dengan jumlah yang ditentukan, juga dengan harga jual yang ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah.
Yang terakhir tapi tidak kalah penting untuk disebut adalah kerja rodi atau kerja secara paksa tanpa diberi upah setimpal. Kerja rodi yang fenomenal dan membekas bagi bangsa Indonesia hingga saat ini memang begitu nyata kejinya. Upah yang diterima para pekerja hanyalah berupa makanan seadanya yang diberikan supaya para pekerja tidak mati kelaparan dan dapat terus dipaksa bekerja demi memenuhi kebutuhan Pemerintah Jepang layaknya seekor kerbau. Beruntunglah, pendudukan Jepang di Indonesia tidak berlangsung lama.
Selesai dengan masa penjajahan, kondisi pangan Indonesia di awal kemerdekaan cukup memprihatinkan. Rakyat yang dikomando untuk mendukung dan menyukseskan perjuangan kemerdekaan Indonesia membuat kaum petani rela absen dari kegiatan bertani yang sehari-hari mereka jalani. Implikasinya, produksi pangan, terutama beras, pun menurun.
Akan tetapi, ketahanan pangan Indonesia masih cukup kuat di masa itu karena beras belum menjadi bahan pangan yang terlalu pokok. Diversifikasi pangan yang masih variatif membuat ketahanan pangan pada awal masa kemerdekaan cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang tentu saja sangat membutuhkan pangan yang cukup dalam usaha mereka untuk membantu perjuangan kemerdekaan.
Seperti yang telah disebutkan, pidato Presiden Sukarno saat peresmian Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang telah dikutip di atas pun menjadi gambaran nyata kondisi pangan Indonesia di masa Orde Lama. Di saat itu, beras sudah naik kelas dan menguat posisinya dalam struktur bahan pangan pokok yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Diversifikasi pangan sudah tidak terlalu atraktif di mata pemerintah dan rakyat, yang merasa bahwa dengan mengonsumsi nasi membuat mereka seperti berada di kondisi sosial ekonomi kalangan atas.
Berakhirnya Perang Dunia II serta kemerdekaan Indonesia juga berimplikasi pada tatanan kehidupan masyarakat yang lebih damai serta kondisi ekonomi yang membaik, terutama di wilayah perkotaan yang menjadi pusat perputaran ekonomi. Hal ini kemudian mengakibatkan pergeseran pola konsumsi dan berdampak pada harga beras yang melonjak, juga kelaparan di daerah-daerah serta ketidakcukupan gizi (stunting) pada masyarakat, khususnya penduduk pedesaan yang tidak dapat mengejar naiknya inflasi di Indonesia pada saat itu.
Masyarakat yang sebelumnya pada awal kemerdekaan dan prakemerdekaan biasa mengonsumsi bahan pangan yang variatif menjadi bergantung pada beras. Permintaan beras di masyarakat meningkat pesat. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk juga semakin meningkat. Menurut Westri Kekalih Susilowati (2022), permasalahan pangan itu mencakup aspek produksi, distribusi, dan konsumsi masyarakat. Masalah pangan, kata Westri, sangat dipengaruhi fungsi lahan dan degradasi lahan di sisi produksi, pertumbuhan penduduk, dan meningkatnya status ekonomi yang memengaruhi pola konsumsi dan pada akhirnya berpengaruh pada ketersediaan pangan yang semakin menipis dari waktu ke waktu.
Menurut artikel SPADA Indonesia (2020) yang dirilis Kemendikbud, pada masa Orde Baru revolusi hijau digerakkan, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian digalakkan. Jargon “Pancausaha Tani” menggema di desa-desa, program-progam ketahanan pangan nasional kala itu sangat pesat. Kebijakan pemerintah kala itu antara lain subsidi pupuk dan benih bagi petani, pembangunan bendungan di berbagai wilayah, serta pembentukan lembaga pemerintah seperti Bulog, Pertani, dan Shang Hyang Sri.
Dalam artikel itu juga disebutkan bahwa Revolusi hijau pada masa itu memberi hasil yang memuaskan. Pemerintah sering mendapat penghargaan dari lembaga internasional atas suksesnya program ketahanan pangan.
Di sisi lain, tantangan baru muncul dengan suksesnya program revolusi hijau. Salah satunya, ketergantungan masyarakat pada beras. Beras menjadi makanan pokok yang harus dimakan oleh masyarakat. Ada obrolan dari sebagian masyarakat, kalau belum makan nasi, belum disebut makan.
Selain masalah ketergantungan masyarakat pada beras, ternyata ada dampak kuat lainnya yang menjadi problem pangan bangsa ini di masa setelah Revolusi Hijau berlangsung. Menurut Jagat Patria, Program Manager Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), di dalam Sustainable Rice Platform (2021), disebutkan bahwa Program Revolusi Hijau dengan praktik budidaya padi yang kaya akan input kimia telah menunjukkan kegagalan mutlak dalam membangun sektor perberasan nasional.
Kegagalan Orde Baru membangun sektor perberasan nasional tidak bisa hanya dilihat dari dampak ekologis yang terjadi setelah program Revolusi Hijau berjalan di lahan persawahan Indonesia. Kegagalan lain yang bisa dijadikan pelajaran berharga ialah bagaimana kebijakan pada masa itu bersifat sangat otoriter (top-down), pelibatan perangkat keamanan negara dalam mengawasi pelaksanaan praktik budidaya yang dianggap modern ini menegaskan bahwa tidak ada upaya lain yang bisa dilakukan oleh para petani selain mengikuti arahan pemerintah.
Pemakaian pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan demi memenangkan ego penguasa otoriter pada masa Orde Baru, yang menghendaki Indonesia mencapai swasembada pangan, memang berhasil membuat Indonesia dipuji dan dianugerahi berbagai awards oleh negara-negara dunia utara. Kebijakan itu diambil barangkali tanpa riset lebih jauh tentang bahaya dan ancaman apa yang hendak terjadi di masa yang akan datang. Sebab, kebijakan itu tak pelak meninggalkan kesengsaraan bagi generasi penerus bangsa yang seharusnya mendapatkan penghidupan yang lebih baik.
Kesuburan tanah yang semakin menurun serta hama penyakit tanaman yang semakin resisten menjadi bukti nyata kemenangan sesaat Revolusi Hijau yang berlangsung pada tahun 1970-an hingga 1980-an. Revolusi Hijau sekarang hanya nampak seperti strategi jamak kapitalis rente untuk mengeruk dan memeras pelanggan yang dikondisikan sedemikian rupa agar terjerat candu akan input kimia yang kadung dimahkotai sebagai “food savior”. Namun, bukan berarti dunia berhenti hanya karena kesalahan pengambilan kebijakan pemerintah di masa Orde Baru. Tetap masih banyak mulut yang harus diberi makan, tetap masih banyak perut kosong yang harus diisi, bahkan semakin bertambah.
Ditulis oleh: Nara Hito