“Ada daerah-daerah di mana posisi penduduk perdesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup untuk menenggelamkannya.”
-R.H Tawney dalam Land and Labour in China
Saat James C. Scott mengutip kalimat tersebut untuk kalimat pembuka karyanya yang berjudul Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Saya sudah membayangkan bagaimana buku tersebut akan membawa para pembacanya untuk mengetahui lebih dalam subjek yang dilukiskan oleh Tawney sebagai “orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher.” Kemudian, saya juga membayangkan bagaimana Scott memaparkan apa yang dilukiskan oleh Tawney sebagai ‘ombak kecil’ yang mampu langsung menenggelamkan subjek yang sebelumnya telah disebutkan.
James C. Scott, ialah seorang ilmuwan politik dan seorang antropolog asal Amerika. Bukunya yang berjudul Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Scott di daerah Asia Tenggara (Burma Hulu dan Hilir, Tonkin, Annam, dan Jawa bagian Tengah dan Jawa bagian Timur). Scott mengungkapkan bahwa daerah tersebut memiliki relung ekologis yang khas yang menjadikan komunitas di dalamnya sangat rawan terhadap risiko-risiko subsistensi. Alasan lain mengapa daerah-daerah tersebut menjadi lokasi penelitian Scott ialah kesamaan struktur sosial. Guncangan yang terjadi akibat ulah kolonialisme bangsa Utara, dan reaksi yang diberikan terhadap guncangan tersebut.
Karya studi Scott yang ditulis dengan gaya kepenulisan yang mudah dimengerti ditambah analisisnya yang mendalam ini, merupakan karya studi yang wajib dibaca oleh para aktivis dan pegiat gerakan agraria, intelektual, dan kaum progresif mana pun yang mendaku berdiri kokoh di sisi para Petani dengan segala problema hidup yang dialami oleh mereka. Tentunya, karya studi yang ditulis oleh Scott ini bukan karya sempurna yang tidak bisa diganggu gugat. Meskipun karya studi Scott ini akan tetap relevan hingga kapanpun; namun studi lanjutan tetap diperlukan untuk menyegarkan konteks yang ditulis oleh Scott dengan mempertimbangkan kondisi dunia, diskursus agraria, dan struktur sosial kaum Tani yang telah banyak berubah beberapa dekade belakangan.
Mereka Yang Selamanya Hidup Terendam Air Hingga ke Leher
Persoalan Petani adalah persoalan yang selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan di Indonesia. Sejak era kolonial, persoalan Petani sudah banyak diangkat dan digambarkan dalam banyak cara dan kesempatan. Sebutlah saja karya populer yang ditulis oleh Multatuli, Max Havelaar. Pada cara dan kesempatan lain, Ir. Sukarno juga ikut menggambarkan persoalan Petani yang serba rumit melalui pidato, karya tulis, hingga gagasannya yang dikenal dengan nama Marhaenisme. Pada era kini, perbincangan mengenai Petani kerap kali menjadi sangat panas pada waktu-waktu tertentu. Seperti pada saat harga beras seketika naik, atau pada saat berita mengenai impor beras santer diperbincangkan. Atau yang paling menyakitkan, hanya panas pada tahun-tahun politis—Tahun Vivere Pericoloso (tahun penuh mara bahaya), seperti sekarang ini—mengingat jumlah Kaum Tani yang begitu besar, yakni sekitar 40 Juta Jiwa (BPS, 2023).
Terdapat satu kesamaan yang dapat dilihat pada contoh-contoh yang telah diberikan di atas. Petani ialah simbol—yang dianggap mampu mewakili—kelas paling marjinal sekaligus paling melarat, setidaknya di negeri ini. Sehingga, persoalan hidup Petani, menjadi wacana yang menarik perhatian banyak orang. Namun, apakah benar seluruh Petani bisa dipukul rata untuk dijadikan simbol dari kelas paling marjinal dan paling melarat? Atau dengan kata lain, apakah semua petani benar-benar seperti yang digambarkan oleh Tawney, sebagai “orang yang selamanya hidup terendam air hingga sampai ke leher”?
BACA JUGA: Against The Grain: How Recultivating Jali-Jali Is Helping Dry Villages in East Nusa Tenggara Survive The Climate Crisis
Sayangnya tidak. Petani tidak pernah se-homogen itu. Para Leninis—yang sudah barang tentu berhaluan Marxis—menggunakan stratifikasi sosial untuk melacak perbedaan-perbedaan yang timbul antara usaha tani kecil dan besar, maupun keluarga miskin dan kaya. Penjelasan semacam ini didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat petani terdiri atas berbagai level strata sosial yang berbeda—strata sosial yang tengah terbelah, dan berkembang menjadi kelas-kelas sosial yang berlawanan (Ploeg, 2019). Pada pandangan lain mengenai diferensiasi kelas, Marx menguraikan bahwa:
“Petani yang berproduksi dengan alat produksi sendiri akan secara berangsur-angsur bertransformasi menjadi kapitalis kecil yang juga akan mengeksploitasi tenaga kerja orang lain, atau akan kehilangan alat produksinya … dan bertransformasi menjadi pekerja upahan. Inilah tendensi bentuk masyarakat di mana pola produksi kapitalis mendominasi.”
(Marx, 1951:193-194)
Pada titik tertentu, pandangan di atas hanya mencakup satu jenis dimensi, yakni dimensi ekonomi.
A V Chayanov, seorang yang terlibat polemik hebat dengan Vladimir Lenin, menyodorkan cara pandang lain untuk melihat diferensiasi Kaum Tani, yakni diferensiasi demografi. Chayanov berpendapat bahwa perbedaan luas usaha tani pada dasarnya bersifat sementara, karena dibentuk oleh perubahan rasio konsumen/pekerja dalam keluarga Petani. Sebagai gambarannya, keluarga muda memulai usaha tani kecil. Tetapi ketika rasio jumlah konsumen terhadap jumlah pekerja meningkat, maka luas usaha tani akan ditingkatkan—sampai pasangan itu menua dan anak-anak mereka merintis kehidupan mereka sendiri; kemudian luas usaha tani itu akan menyusut kembali (Ploeg, 2019). Pada kesempatan yang lain, Chayanov (1966) mengakui bahwa terdapat “dua arus kuat” di pedesaan Rusia kala itu: diferensiasi kelas dan diferensiasi demografis, yang mana keduanya terpilin secara kompleks dengan penekanan berupa waktu. Berbeda dengan diferensiasi kelas sebelumnya, Chayanov hanya sedikit mempertimbangkan dimensi ekonomi dalam menelisik diferensiasi kelas pada Petani. Chayanov cenderung menggunakan pertimbangan tenaga kerja pada keluarga Petani dan dimensi sosio-kulturalnya.
Baca Juga : Mustika Rasa dan Perhatian Khusus Sukarno pada Pangan
Kemudian, James Scott melalui Moral Ekonomi Petani secara gamblang menjelaskan, bahwa stratifikasi sosial Petani. Hal ini terdiri dari tuan tanah, Petani pemilik lahan kecil, Petani penyewa, dan buruh tani. Meskipun pada dasarnya menggunakan kerangka diferensiasi kelas yang diamini oleh para Leninis, Scott memberikan warna baru bagi penjelasan Marxis yang terlalu bertumpu pada dimensi ekonomi para kaum Tani. Bagi Scott, pembelahan tengah antara tuan tanah atau pemilik lahan dengan Petani penyewa, atau Petani pemilik lahan kecil dengan negara atau pemerintah kolonial, tidak berarti saling berlawanan. Garis tengah tersebut akan menjadi berlawanan ketika subsistensi dari kelas yang lebih rendah terancam. Dengan kata lain, sejauh proses eksploitasi, atau “penghisapan nilai lebih” tidak mengancam subsistensi para petani. Garis tengah tersebut tidak akan pernah menjadi sumbu dinamit yang tersulut.
Melalui Moral Ekonomi Petani, Scott menunjukkan bahwa Petani tetap subjek rasional, yang memiliki pandangan lain mengenai keadilan yang didasari pada etika subsistensi. Scott mengajak para pembacanya melihat “rasionalitas” Petani dari sudut pandang yang amat berbeda dari cara pandang Marxian biasanya yang bukan berdasarkan perhitungan untung-rugi a la homo economicus pada umumnya. Begitu pula dengan pemaknaan atas “penghisapan nilai lebih” atau “penindasan” bagi Petani, Scott menunjukkan sudut pandang lain, bahwa terkadang penghisapan atas nilai lebih kadang kala masih bisa ditoleransi selama batas minimal penghidupan masih terpenuhi.
Tiga cara pandang di atas menyodorkan pilihan kepada—meminjam istilah Chayanov—para pihak eksternal untuk melihat kompleksitas kehidupan Petani. Jika dilihat secara saksama, tiga cara pandang di atas memiliki kesamaan pada satu hal, yakni Petani bukanlah aktor sosial atau subjek tunggal yang homogen. Terdapat diferensiasi dan stratifikasi sosial pada kehidupan sosial Petani. Sehingga, membuatnya menjadi sangat sederhana, dengan menjadikannya subjek tunggal, akan menimbulkan kesalahpahaman yang berbahaya dalam rangka menentukan keberpihakan dan upaya pengorganisasian masyarakat Petani dalam agenda besar untuk membebaskan “mereka yang hidup terendam air hingga ke leher.”
Referensi:
BPS 2023
Chayanov A. 1991. The Theory of Peasant Economy. Manchester University Press.
James C Scott. 1976. The Moral Economy of The Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. Yale University Press, Ltd., New Haven and London.
Karl Marx. 1951. Theories of Surplus Value. Hal 193-194.
R.H Tawney. 1966. Land and Labor in China. Boston: Beacon Press.
Van der Ploeg. 2019. Maklumat Chayanovian. Insist Press.
Ditulis Oleh: Jagat Patria