web analytics

MENYOAL WADAS, TAMBANG, DAN BENDUNGAN: INVESTASI ATAU PEMBOROSAN?

11
Feb

Mempertanyakan Kembali Potensi Dampak Kebijakan Investasi Di Bidang Infrastruktur Fisik

Pembangunan bendungan bener tengah menjadi sorotan banyak pihak belakangan ini, proyek strategis nasional di Kabupaten Purworejo itu digadang-gadang mampu menampung air hingga 90.39 juta meter kubik dan menelan biaya 2.06 triliun yang bersumber dari APBN. Berdasarkan database pembangunan bendungan Kementerian PUPR dan Rencana Aksi Kementerian Bappenas, Kemenparekraf, dan BKPM bendungan bener diharapkan mampu mengaliri lahan seluas 15.519 ha, menghasilkan listrik (PLTA) 6 MWH/Tahun), mengurangi debit banjir 210 m3/detik, dan penyediaan pasokan air baku 1.500 ltr/detik untuk sejumlah kabupaten seperti Kulon Progo, Kebumen, dan Purworejo.

Pembangunan bendungan bener menjadi salah satu dari ambisi presiden Joko Widodo di dua periode kepemimpinannya. Sebagai gambaran, selama periode tahun 2015-2019, infrastruktur fisik bendungan dan embung yang dibangun sebanyak 65 bendungan (49 bendungan baru dan 16 lanjutan), serta pembangunan 1088 embung seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1. Bappenas dalam RPJMN 2020-2024 memproyeksikan bahwa pembangunan fisik bendungan, embung, dan jaringan irigasi akan mengairi seluas 1.4 juta hektar lahan pada tahun 2024.

Gambar1. Status pembangunan infrastruktur fisik bendungan dan embung per januari 2019

Pembangunan infrastruktur fisik seperti bendungan dan embung sebenarnya bukan program baru pemerintah, pada kenyataannya pada tahun 1990-an terjadi stagnasi produksi pertanian yang mendorong program infrastruktur fisik masif hingga saat ini. Sayangnya sedikit sekali yang menengok lebih jauh bagaimana kebermanfaatan investasi pemerintah tersebut untuk negara, masyarakat, dan untuk petani. Apakah program pembangunan yang selama ini pemerintah lakukan sudah tepat untuk mendorong kedaulatan bangsa, kedaulatan petani? Atau sebaliknya program pembangunan tersebut adalah bentuk pemborosan anggaran yang terselubung?

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) bekerjasama dengan International Trade and Analysis Policy Studies (ITAPS) IPB University dalam Kajian Investasi Publik Sektor Pangan dan Pertanian di Indonesia menemukan bahwa investasi publik yang sekedar difokuskan pada pembangunan infrastruktur fisik diprediksi akan meningkatkan GDP riil Indonesia dengan nilai yang relative kecil yaitu 0.00445%. Artinya, jika perekonomian Indonesia 2021 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp16970.8 triliun, maka sumbangsih peningkatan infrastruktur fisik hanya sebesar Rp. 0.755 triliun.

Disisi lain jika pemerintah lebih bijak dalam membelanjakan uang negara dan tidak tersentral pada pembangunan infrastruktur semata yaitu dengan diimbangi peningkatan riset dan pengembangan, belanja teknologi, peningkatan SDM, dan perbaikan mekanisme support pasar maka peningkatan GDP riil akan mencapai 3.9 kali lipatnya yaitu sebesar 0.017345% atau peningkatan GDP riil sebesar Rp. 2.943 triliun. Perubahan indikator makro ekonomi (%Δ) lainnya juga menunjukkan performa yang serupa, bahwa pembangunan yang terfokus pada infrastruktur fisik (sim 1) dan tidak diimbangi dengan investasi di sektor lain, maka tidak akan memberikan dampak yang lebih baik (Gambar 2).

Baca Juga: ‘Paket Lengkap’ Investasi Sektor Pangan dan Pertanian Ampuh Mendorong Produksi Pangan Dalam Negeri

Sumber: Hasil Olahan CGE
Gambar 2: Potensi Dampak Investasi Publik di Sektor Pertanian terhadap Indikator Ekonomi Makro

Dampak investasi publik sektor pangan dan pertanian terhadap indikator sektoral menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda, bahwa investasi yang tidak hanya terfokus pada infrastruktur fisik namun juga dikombinasikan dengan peningkatan riset dan pengembangan, teknologi, penyuluhan dan peningkatan skill petani, serta market support akan menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi pada produksi pangan, peningkatan kesejahteraan rumah tangga, peningkatan ekspor, dan penekanan terhadap impor pangan (resume potensi dampak investasi sektor pertanian).

Baca Juga: Lepas dari Ketergantungan Pangan di Desa Berlian Jaya

Kembali pada pertanyaan semula, lantas bagaimana kebijakan investasi publik secara umum pada saat ini jika berkaca dengan temuan kajian di atas? Berdasarkan dokumen informasi APBN tahun 2021 yang dirilis oleh Kementerian Keuangan, belanja pemerintah pusat menurut fungsi ekonomi yang termasuk di dalamnya kegiatan peningkatan ketahanan pangan (food estate) dan pembangunan infrastruktur mencapai Rp. 511.3 triliun atau 26.6% dari total belanja pemerintah pusat. Tidak jauh berbeda pada dokumen Advertorial RAPBN 2022 total belanja pemerintah pusat sebesar Rp. 1938.3 triliun dan alokasi anggaran pembangunan infrastruktur Rp. 384.8 triliun atau 19.85% dari total belanja,

belum termasuk didalamnya anggaran untuk infrastruktur pembangunan bendungan dan pengembangan kawasan food estate.

Pada akhirnya sebagai warga negara yang taat pajak kita patut mempertanyakan, apakah sebagian pendapatan negara yang berasal dari uang pajak kita sudah tepat dibelanjakan oleh pemerintah? jika melihat fokus anggaran untuk pembangunan infrastrukstur yang mana dari temuan kajian di atas diprediksi tidak memberikan dampak yang lebih baik? Apakah hal tersebut termasuk pada tindakan pemborosan? Jika besar anggaran yang diinvestasikan tidak memberikan nilai untung lebih kepada kita?  Dan apakah kita sebagai pembayar pajak berhak marah dan murka, ketika sebagian uang pajak kita digunakan untuk menindas dan menyingkirkan saudara kita di Desa Wadas yang bersikeras mempertahankan tanah subur mereka, mempertahankan nilai dan budaya luhurnya sebagai petani, dan mempertahankan kedaulatannya?(FSB)

Leave a Comment