web analytics

Lepas dari Ketergantungan Pangan di Desa Berlian Jaya

10
Feb

Dalam sejarah penggunaan lahan di desa Berlian Jaya, imigran awal bertahan hidup dengan melakukan budidaya
pertanian tanaman pangan. Pada tahun 1988 ketika program perkebunan karet rakyat (PPKR) masuk, petani
beralih menanam karet. Sejak saat itu aktivitas pertanian tanaman pangan berangsur menurun hingga tidak ada
sama sekali. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, saat ini warga mengandalkan pasokan dari luar desa, dari
toko kelontong, penjual sayur keliling, dan pasar yang buka setiap sekali dalam sepekan. Kondisi ini
mengkhawatirkan beberapa warga yang telah lama menetap di desa. Membayangkan untuk bisa memperoleh
bahan pangan di sekitar rumah seakan membangkitkan memori lama. Pangan dan pertanian desa perlu
diwujudkan kembali walau hanya seluas lahan pekarangan, begitu kira-kira yang menjadi imaji mereka.

Pada tahun 1982 ketika pertama kali imigran datang ke Berlian Jaya atau wilayah A2, lahan masih berupa hutan dengan sekian luas yang sudah dibuka oleh pemerintah untuk mereka bermukim dan untuk lahan diolah. Sebagian besar warga yang berasal dari Jawa memiliki budaya bercocok tanam. Meskipun mendapatkan bantuan sembako oleh pemerintah selama dua tahun dan satu tahu oleh Worl Bank, warga mencoba untuk bercocok tanam dan memelihara ternak. Pada awalnya gagal, tanaman tidak tumbuh dan ternak mati dan warga masih terus mencoba.

Tahun 1984 lahan mulai bisa ditanami palawija dan padi. Selain padi warga juga menanam tanaman kacang-kacangan, coklat, kopi, dan tanaman buah di pekarangan mereka. Hasil panen disimpan oleh warga untuk kebutuhan harian dan sisanya dijual ke luar desa. Pola budidaya tanaman pangan bergeser pada tahun 1988 ketika program perkebunan karet rakyat (PPKR) dari Dinas Perkebunan masuk Desa Berlian Jaya. “Awalnya ada warga yang tidak setuju tapi ketika sudah panen dan melihat hasilnya lebih tinggi, yang tadinya tidak setuju akhirnya ikut menanam karet juga” – Petani.

Harga karet yang terus meningkat membuat warga semakin gencar mengganti komoditas di lahannya. Seiring berjalannya tahun, Desa Berlian Jaya tidak lagi memiliki padi atau palawija di lahan tetapi tanaman karet untuk ditukar dengan beras dan laukpauknya.

Meskipun sempat terjadi krisis pangan pada tahun 1990 – 1991 karena tanaman karet belum menghasilkan dan tidak ada lagi sumber produksi lain untuk mendapatkan beras, pada saat itu warga bertahan dengan singkong yang diolah menjadi oyek. Kondisi ini berangsur membaik ketika karet mulai panen pada tahun 1992 – 1993. Dan hasil karet seolah mengubah perekonomian warga terutama pada tahun 1997 – 1998 karena pada tahun tersebut harga karet sedang berada di puncak, yaitu mencapai Rp. 20.000/kg basah.

Mirisnya, kondisi krisis pangan tersebut hanya menjadi cerita turun temurun. Apalagi semakin banyak pendatang dan generasi baru di desa yang sejak kedatangannya lebih mengenal dan merasakan hasil dari kebun karet dan sawit (baru ditanam tahun 2000-an), kesadaran warga untuk melakukan siaga pangan atau memiliki cadangan pangan desa semakin rendah. Hanya beberapa imigran generasi pertama yang masih memiliki kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan lagi dan perlunya pasokan pangan dari dalam desa.

Lumbung tanpa isi hingga sapi yang lahir berkali-kali

Upaya pemerintah desa bersama lembaga desa lainnya untuk memudahkan akses warga terhadap pangan sekaligus meningkatkan ekonomi warga salah satunya adalah pengajuan lumbung pangan yang kemudian diterima oleh Dinas Ketahanan Pangan (DKP) dan desa mendapat bangunan untuk lumbung pangan. Tahap berikutnya, lumbung pangan mendapat bantuan 5 ton beras dari (DKP) untuk cadangan jika terjadi bencana tetapi karena tidak terjadi bencana dan takut kualitas turun, pengurus lumbung menjualnya dengan harga yang lebih murah dari harga eceran biasa. Usaha lumbung pangan ini tidak berlanjut karena tidak adanya transparansi dalam pengelolaannya.


Selain lumbung pangan, desa pernah mendapatkan bantuan untuk budidaya ikan lele dari Dinas Perikanan tetapi tidak berlanjut karena beberapa faktor seperti sumber daya manusia yang belum mumpuni, pakan yang mahal, harga jual murah, dan sistem keamanan yang rendah.

Bantuan dari pemerintah yang masih bertahan sampai sekarang adalah ternak sapi. Bantuan ini berupa meminjamkan indukan sapi kepada warga untuk dirawat hingga beranak. Ketika anak sapi sudah cukup dewasa, warga wajib mengembalikan indukan ke pemerintah desa untuk dipinjamkan ke warga yang lain.


Dari beberapa kali pemberian bantuan dari pemerintah desa untuk warga, kegagalan program karena masih rendahnya kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola komoditas, rendahanya kesadaran warga untuk mengembangkan komoditas lain terutama pangan dan pertanian, kemampuan kelompok untuk membagi peran masih rendah, dan manajemen serta transparansi komunikasi antar anggota kelompok yang kurang.

Menyicil Perjuangan Pangan Desa

Kekhawatiran segelintir warga atas pangan sebenarnya dapat diatasi jika mau memanfaatkan lahan pekarangan atau lahan tidurnya untuk menanam tanaman pangan. Namun, kesadaran warga masih rendah akan pentingnya cadangan pangan desa. Perjuangan pangan desa pun mulai dicicil dari rumah-rumah segelintir warga untuk memanfaatkan pekarangannya. Desa Berlian Jaya memiliki tokoh perempuan yang aktif dalam pertanian pangan.

Motivasi bertanam sayur di pekarangan adalah untuk memberikan contoh kepada warga desa agar mandiri pangan. Semi, dalam usianya ayng 60 tahun masih cakap dalam berkebun. Dia adalah transmigran asal Jogja yang sebelumnya tinggal di Lampung sebagai buruh di perusahaan sawit dekat desa. Semi juga aktif dalam berbagai organisasi yang ada di desa seperti kelompok pengajian dan sejak bulan Desember 2019 menjadi ketua kelompok wanita tani Desa Berlian Jaya.

“Saya menanam terong itu biar tetangga pada ikutan nanam juga. Biar kalau butuh cabai atau kangkung tinggal
metik di pekarangan dan kalau lebih bisa dijual atau dibagi ke tetangga. Bukannya saya tidak mau ngasih atau bagaimana tapi saya nanam itu sebagai contoh ke tetangga. Tapi mereka malah minta.” Semi, Perempuan tani.

Semi, Perempuan Tani

Terselip nada penuh harapan dalam pernyataan itu. Selama 3 tahun aktif dalam budidaya sayur, tidak hanya satu dua kali Semi mengajak tetangganya untuk menanam sayur di pekarangan rumah. Dan yang terjadi hanya tetangga sekitar kembali ke rumah Bu Semi untuk memetik terong atau daun ubi untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka. Ketergantungan terhadap pedagang keliling untuk memenuhi kebutuhan sayuran menjadi alasan Semi begitu bersemangat mengajak tetangga untuk menanam di pekarangan rumah.

Anggota kelompok sangat antusias dengan kegiatan ini walaupun setiap sore harus bergantian untuk merawat dan menyiram tanaman tapi mereka tetap bersemangat, sebagaimana harapan Semi kepada warga lainnya. Tidak hanya terpusat di beberapa orang tetapi bisa berkembang ke seluruh rumah warga. Apabila kegiatan kelompok menanam sayur ini dapat terus berlanjut, Desa Berlian Jaya bisa mencapai pemenuhan pangan pokok terutama sayur untuk desa.