“Multi stakeholder forum lintas kabupaten merupakan ruang lingkup inisiatif yang mampu mendukung pertanian rendah karbon yang berkelanjutan.”
Said Abdullah, Koordinator Nasional KRKP
Pulau Jawa merupakan sentra produksi pangan pokok Indonesia, yaitu beras. Dua provinsi di pulau ini yang menduduki peringkat tiga besar sebagai lumbung padi nasional adalah Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan jumlah produksi beras mencapai lebih dari 5 juta ton per tahun. Adanya produksi yang tinggi tentu didorong oleh tingkat konsumsi yang tinggi pula. Pada tahun 2021, Kementan menyebutkan partisipasi konsumsi beras sebagai sumber karbohidrat masyarakat Indonesia berada di angka 97,66%. Tidak dapat dipungkiri lagi, kondisi geografis yang secara umum mendukung serta adanya jejak historis di masa lalu telah memunculkan pola kebiasaan masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok utama. Sektor perberasan pada akhirnya menjadi sesuatu yang krusial untuk dibahas lebih lanjut karena memegang peranan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Berbagai macam faktor mempengaruhi dinamika perberasan dalam sistem pangan di Indonesia, mulai dari segi ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, bahkan hingga politik.
Fluktuasi produksi beras di Indonesia nyatanya terus terjadi dari tahun ke tahun. Hal ini salah satunya disebabkan adanya penurunan daya dukung lingkungan atas implikasi dari perubahan iklim secara global, juga praktik pertanian yang tidak memperhitungkan aspek berkelanjutan. Kegiatan pertanian menjadi salah satu penyumbang Gas Rumah Kaca (GRK), khususnya pada aktivitas budidaya, seperti pemakaian pupuk kimia dan penggunaan air yang kurang efisien. Beras berkelanjutan atau beras rendah karbon (low carbon rice) kemudian diusung sebagai gagasan yang mampu mengatasi dampak negatif berkepanjangan yang dihasilkan dari proses produksi beras. Konsep berkelanjutan di sini tentu tidak hanya ditinjau dari aspek lingkungan saja, tetapi sampai dengan cara untuk meningkatkan kesejahteraan petani sebagai pelaku atau produsen utama melalui praktik pertanian yang berkelanjutan.
Inisiatif mendorong beras berkelanjutan rendah karbon masih terus dilakukan melalui proyek Low Carbon Rice (LCR) atas dukungan Switch Asia-EU bersama dengan Preferred by Nature (PbN), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dan Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (PERPADI) di lima lokasi proyek, di antaranya Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sragen, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Ngawi sejak tahun 2022 silam. Lead Manager LCR, Angga Maulana Yusuf, memaparkan tujuan utama dilaksanakannya proyek ini adalah untuk mengurangi dampak iklim terhadap produksi beras di Indonesia. Proyek ini mendorong adanya multi stakeholder forum sebagai kekuatan penting dalam mengintervensi kebijakan pertanian, akses pasar, serta akses terkait keuangan dan bisnis yang berkelanjutan.
Dalam proses mewujudkan beras berkelanjutan rendah karbon, masih banyak ditemukan kondisi dan situasi perberasan yang kurang optimal. Misalnya saja, berdasarkan laporan dari Kementan pada tahun 2021, selama periode 2016 sampai 2020, kenaikan harga gabah terjadi sebesar 1,16%, sedangkan kenaikan harga beras mencapai 2,90%. Sementara itu, berdasarkan data dari BPS tahun 2024, harga jual gabah mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2023, dengan kenaikan sebesar 4,86% pada gabah kering panen dan 33,48% pada gabah kering giling. Meski demikian, indeks harga yang diterima petani cenderung berfluktuatif selama periode 2021 sampai 2023. Pola musiman terlihat dengan jelas, di mana subsektor tanaman padi dipengaruhi secara langsung oleh periode panen padi yang penurunan puncaknya terjadi saat panen raya ketika harga mengalami penurunan karena produksi meningkat. Namun, secara keseluruhan, walau harga jual gabah mengalami peningkatan, nyatanya tidak sebanding dengan ongkos produksi yang dikeluarkan oleh petani. Artinya, harga yang diterima oleh rantai pasok beras jauh lebih tinggi dibandingkan harga yang diterima di tingkat petani.
Berkaca dari lemahnya sistem perberasan di Indonesia, maka memunculkan urgensi pentingnya kehadiran forum beras di level daerah yang berperan dalam mewujudkan sektor beras berkelanjutan dan berdaulat. Pembangunan forum beras di level daerah dikenal dengan sebutan multi stakeholder forum (MSF) beras berkelanjutan yang telah berhasil terbentuk di lima kabupaten dengan disertai penandatanganan nota kesepahaman dan komitmen untuk memperkuat forum multipihak beras berkelanjutan.
Dalam proses mewujudkan dan mendukung lahirnya model tata kelola sektor perberasan berkelanjutan yang lebih inklusif, multi stakeholder forum di lima kabupaten telah berperan besar dalam merumuskan regulasi rancangan peraturan bupati tentang perlindungan dan pemberdayaan petani dalam kemitraan beras berkelanjutan. Namun, untuk memaksimalkan dan menyelaraskan kerja forum multipihak di level kabupaten dengan rencana kerja pemerintah di level nasional, maka penting diadakannya multi stakeholder forum lintas kabupaten. Terlebih lagi, pemerintah nasional saat ini sedang mengupayakan pembangunan pertanian rendah karbon. Multi stakeholder forum (MSF) beras rendah karbon berkelanjutan lintas kabupaten untuk pertama kalinya dilaksanakan pada 16-17 Desember 2024 di Surakarta, Jawa Tengah. Forum ini dihadiri oleh beberapa perwakilan dari Kementerian RI yang berkenaan langsung dengan kebijakan yang menyangkut keberlanjutan beras rendah karbon di Indonesia, di antaranya Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Berbagai organisasi perangkat daerah yang tergabung di dalam MSF tingkat kabupaten, perwakilan petani dan kelompok tani, serta sejumlah organisasi masyarakat dan jejaring yang berhubungan turut tergabung di dalam forum ini.
Dalam pertemuan tersebut, Noor Avianto, selaku koordinator fungsional direktorat pangan dan pertanian, Bappenas, menyampaikan bahwa saat ini visi dan misi pemerintahan pusat di bidang pangan mengarah pada “mencetak dan meningkatkan produktivitas dengan lumbung pangan desa” melalui intensifikasi dan cetak sawah untuk mencapai swasembada pangan. Struktur program prioritas pengembangan budi daya pertanian yang berkelanjutan mulai diperhatikan dan sedang dalam masa pengajuan, di antaranya peningkatan produksi yang tetap sejalan dengan praktik berkelanjutan serta penjagaan terhadap sumber daya genetik.
Ketua PERPADI, Sutarto Alimoeso, turut menyatakan dukungan atas rencana swasembada pangan yang akan kembali digencarkan di Indonesia, dengan catatan tetap memperhatikan aspek ramah lingkungan. Ia menilai, sudah banyak program terkait pertanian berkelanjutan dan inovasi yang tampak sangat prospektif di Indonesia, yang sayangnya sering terkendala dalam hal keberlanjutannya. Seringkali, meskipun tidak selalu, salah satu kendala yang dimaksud adalah perihal pembiayaan atau insentif dalam menjalankan program. Mengenai hal tersebut, Damayanti Ratunanda, Direktur Penyaluran Dana BPDLH Kementerian Keuangan RI, menyampaikan adanya peluang insentif berupa pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim di sektor pertanian, dalam hal ini proyek beras rendah karbon berkelanjutan, yang berpotensi dikabulkan jika usulan tersebut disatukan dari berbagai daerah. Oleh karena itu, MSF lintas kabupaten diharapkan mampu membentuk kolaborasi yang memperkuat dan mengawal inisiasi beras rendah karbon yang berkelanjutan ini, mulai dari kebijakan hingga implementasinya di lapang. Mewujudkan sektor perberasan yang berdaulat memang harus diupayakan bersama. Kolaborasi diperlukan antara pelaku kegiatan produksi, pengolahan, distribusi, retail, konsumsi, dan pengolahan limbah dengan pemerintah dalam upaya transformasi menuju sustainability, healthy resilient, inklusif, regeneratif, sirkular, dan rendah karbon. Secara lebih sederhana, rantai pasok perberasan yang terkait adalah petani sebagai pelaku utama, penggilingan padi sebagai pelaku usaha, dan konsumen sebagai pembelinya. David Ardhian, CTTS IPB University, menegaskan bahwa adanya MSF tidak hanya mengupayakan kebijakan, tetapi juga lebih memberi perhatian pada permasalahan secara detail di lapang. Selain itu, penguatan kapasitas, insentif, dan advokasi memerlukan adanya kerjasama lintas kabupaten. Jika hanya satu-dua kabupaten saja yang bergerak, maka tidak akan bisa dikatakan sebagai suatu model pilot project jika memang program low carbon rice ini akan diajukan lebih tinggi ke tingkat nasional.
Ditulis oleh: ‘Athif Yumna H.