web analytics

Platform Beras Berkelanjutan: Saatnya Mengutamakan Prinsip Keberlanjutan

05
Sep

Bogor, 3 September 2020 – Dewan Pakar Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) David Ardhian mengatakan, sektor petanian, khususnya pangan beras menjadi sektor yang sangat penting. “Sektor pangan beras menjadi penyangga ketika bangsa ini dilanda krisis termasuk krisis akibat pandemi,” ujarnya dalam dalam diskusi penyusunan kertas kebijakan bertajuk: ‘Kemitraan Multipihak Perberasan Nasional’ yang digelar secara daring oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Kamis (3/9).

Karenanya, menjadi penting untuk berupaya memperkuat dan memperkokoh sektor perberasan nasional secara terus menerus, salah satunya dengan mencari cara untuk memperkuat sistem pangan yang berkelanjutan. “Upaya memperkuat sektor pangan khususnya perberasan menjadi bagian yang tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri, memerlukan upaya kolaborasi bersama,” tegas David.

Kolaborasi ini tentu akan sulit terjadi apabila hanya terbatas pada aktor tertentu. Perlu melibatkan semua aktor dalam perberasan yaitu petani, pengepul, perusahaan processing, distributor, dan pengecer sebelum sampai ke konsumen. Selain itu, pemerintah menjadi aktor penting dalam kolaborasi ini karena selain sebagai jembatan antar aktor, pemerintah seharusnya juga berperan sebagai lead dalam kolaborasi ini. 

Selama ini upaya memperkuat sektor perberasan sudah diupayakan oleh banyak pihak, terutama pemerintah. David memaparkan, selama ini fokusnya masih pada kebijakan, tata kelola, untuk meningkatkan produksinya. Ke depan, ujar David, penting juga diperkuat dalam konteks keberlanjutan produksi, isu keseimbangan produksi dan aspek daya dukung baik sosial dan lingkungan atau isu ekologi. Hal ini tentu bisa terwujud apabila antar aktor memiliki pandangan dan tujuan yang sama dalam sektor perberasan, baik secara peraturan maupun prakteknya.

“KRKP memandang keberlanjutan sektor perberasan sangat penting karena ini menjadi penentu hajat hidup orang banyak, terutama dihadapkan pada tantangan yang terjadi,” jelas David.

Tantangan saat ini tidak hanya ledakan jumah penduduk yang membuat produksi pangan perlu terus ditingkatkan, di sisi lain menghadapi tantangan iklim dimana berbagai bencana iklim, serangan hama penyakit, kekeringan justru membuat produksi pangan menurun. “Indonesia, sebagaimana negara lain menghadapi situasi dimana semakin lama daya dukung lingkungan semakin menurun karena berbagai konsekuensi logis dari upaya peningkatan produksi at all cost,” tegas David.

Namun juga pandemi Covid-19 yang membuat kebutuhan akan pangan sehat menjadi meningkat. “Dengan isu pandemi, artinya kebutuhan pangan tidak sekadar cukup, tetapi juga sehat. Kalau beras yang kita makan sehat betul, berkualitas baik, ini menjadi bagian penting bagi upaya memperkuat ketahanan kesehatan masyarakat,” ujar David.

Saat ini beberapa inisiatif global telah menekankan pentingnya isu keberlanjutan. FAO mengedepankan agroekologi sebagai pendekatan untuk ketahanan pangan dan perubahan iklim. UNEP memiliki Sustainable Rice Platform, sebuah pendekatan multipihak untuk mempromosikan pengelolaan sumberdaya yang efisien, perdagangan berkelanjutan, produksi dan konsumsi serta rantai pasok sektor perberasan global.

Konferensi PBB untuk Sistem Pangan juga mendorong kesadaran, komitmen dan aksi untuk transformasi sistem pangan global yang tidak hanya untuk mengatasi kelaparan namun mengatasi risiko penyakit akibat diet dan menyembuhkan bumi.

David mengatakan, dalam memperkuat sektor perberasan agar menjadi sektor yang berkelanjutan ini perlu ada semacam platform bersama yang mampu menyediakan ruang dialog, kemitraan dan kolaborasi antar aktor perberasan di Indonesia. Platform bersama ini juga harus mampu membuka peluang perbaikan kebijakan dan tata kelola yang sesuai dengan tantangan terkini sebagai tahap menuju sistem pangan yang adil dan resilien di Indonesia.

Menurut David, banyak platform lain yang bisa dijadikan acuan untuk membangun platform beras berkelanjutan ini. “Di komoditas sawit ada RSPO, untuk komoditas kakao dan karet juga sudah dirintis,” ujarnya.

Menanggapi gagasan ini, dan melihat apa yang sudah dilakukan pemerintah, pakar perberasan Husein Sawit mengatakan, keberlanjutan memang menjadi isu yang masih belum diseriusi banyak pihak. “Sektor pertanian umumnya masih didominasi soal produksi, konsumsi dan diversifikasi, masih kurang dalam hal sustainability, itu kelemahannya selama ini,” ujar Husein.

Selain itu, berbagai inisiatif yang ada, termasuk program pemerintah, kata Husein, juga belum memberikan rincian atau detail target yang ingin dicapai. “Apa yang dirancang Bappenas misalnya, belum terlihat target yang clear, misalnya harus clear terkait petani untuk sejahtera melalui korporasi petani apakah sekadar meningkatkan produktivitas, kemudian menjual beras lebih baik? Itu belum jelas,” ujarnya.

Berbagai kebijakan dan inisiatif yang ada saat ini belum bisa mencapai kata sepakat untuk memikirkan sebuah rencana jangka panjang terkait isu lingkungan dan keberlanjutan. “Semua harus ke sana arahnya, kita selama ini dari lima tahun ke lima tahun sustainability tetap terabaikan,” tegas Husein.

Terkait platform beras berkelanjutan, Husein menyarankan agar ada lembaga yang menjadi leader atau memimpin berbagai pihak yang terlibat. “Harus ada lembaga yang kuat yang me-lead, yang mengkoordinasi seperti Bappenas, yang bukan departemen teknis, yang mampu merangkum, membawa sumber daya yang ada itu yang harus dipikirkan,” ujarnya.

Muhammad Nuruddin dari Aliansi Petani Indonesia (API) menilai, membangun platform beras berkelanjutan bisa dimulai dengan melihat berbagai praktik baik yang sudah ada saat ini yang dilakukan petani di lapangan. Berbagai inisiatif yang ada ini bisa diperkuat dengan kemitraan multipihak baik dari masyarakat dan pemerintah yang dirangkai menjadi kemitraan people, public, private partnership, yang merupakan gejala yang saat ini banyak dilakukan di berbagai sektor.

“Beberapa anggota kami sudah mengembangkan kawasan berkelanjutan, agroekologi atau pertanian ramah lingkungan, tinggal bagaimana dukungan dari pemerintah misalnya, atau jasa keuangan seperti dari BUMN Himbara, juga NGO lokal dan internasional agar mereka bisa mengakses pasar di luar jalur pemasaran yang ada saat ini,” papar Nuruddin.

Jika ini terjadi, maka bisa dikatakan kemitraan multipihak sudah berjalan untuk membangun platform beras berkelanjutan. Banyak inisiatif lokal yang bisa diadopsi dalam membangun platform beras berkelanjutan termasuk berbagai inisiatif pengembangan pangan sehat.

Pakar penyakit tanaman IPB, Suryo Wiyono menegaskan, dalam membangun platform beras berkelanjutan juga jangan sekadar berfokus pada beras dari padi sawah karena ada juga petani yang mengembangkan padi gogoh atau padi ladang yang dikelola secara berkelanjutan. “Ada bias pangan yaitu beras berarti sawah, padi berarti sawah, dan padi sawah terkait input, padi gogo belum diperhatikan, padahal itu juga masa depan pertanian, jika bicara isu keberlanjutan,” ujarnya.

Kemudian, perlu juga membangun kompetensi petani, karena ujung dari produksi pangan adalah petani. Karenanya sangat penting untuk menghidupkan kembali sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) dimana petani dapat meningkatkan kompetensi mereka dalam mengeloa tanaman mereka secara berkelanjutan.

“Petani kompeten, petani merdeka, yang saat ini banyak melakukan inovasi, dan kreatif itu banyak yang merupakan petani warisan jaman dulu, dari sekolah lapang dimana mereka belajar berpikir kritis, merdeka dan inovatif. Sekolah lapang kalau mau menuju produksi pangan berkelanjutan harus dihidupkan kembali,” tegas Suryo.

Sariyo dari TaniHub Group menjelaskan, penting pula dalam membangun platform ini untuk melakukan beberapa hal. Misalnya, membangun standarisasi terkait apa itu good agriculute practice. Kemudian mendidik pasar untuk siap menerima beras produksi petani yang dikelola secara berkelanjutan.

Petani saat ini, seperti yang dibina BI, mampu memproduksi padi organik. “Tapi di satu sisi ketika pasar belum siap bisa menjadi bumerang, petani akan mengeluh, saya sudah tanam tetapi tidak ada yang menyerap, hal sama juga terjadi pada beras merah dan beras hitam,” jelasnya.

“Saya berharap forum juga nantinya mengkampanyekan beras sehat, juga misalnya regulasi yang mendidik dimana petani yang menggunakan pupuk secara berlebihan misalnya, tidak bisa menjual hasil panennya supaya ada efek jera, agar mereka terdorong melakukan pratik pertanian yang tidak merusak lingkungan, sumber daya air, dan sebagainya,” tegas Sariyo.