web analytics

Geliat Petani Dalam Peningkatan Akses Pasar

14
Aug

Bogor, 13 Agustus 2020 – Dalam rantai pangan, petani sebagai produsen pangan merupakan aktor yang terpenting sekaligus menjadi pihak yang paling banyak mencurahkan waktunya untuk memastikan berjalannya “mesin” produksi pangan nasional. Petani juga menjadi aktor yang paling banyak dan rentan menghadapi risiko gagal berproduksi akibat bencana, dan berbagai faktor alam serta iklim dan lainnya.

“Ironinya, petani juga menjadi aktor yang mendapatkan keuntungan paling kecil dibanding aktor lainnya dari keseluruhan proses produksi pangan,” kata Peneliti Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dalam diskusi virtual #ObrolinPangan15 bertajuk: ‘Geliat Petani Dalam Peningkatan Akses Pasar’, Kamis (13/8) malam.

Petani kerap menerima harga yang tidak sepadan dengan usahanya. Dalam konteks produksi padi kajian KRKP periode Februari-Mei 2018 menunjukkan, harga gabah petani saat panen raya ternyata jauh dari harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan yaitu sebesar Rp3.700/kilogram. Harga yang diterima petani ketika anjlok hanya sebesar Rp3.000/kg.

Fenomena ini kemudian terulang kembali pada periode yang sama di tahun 2020 ini. “Selain penyerapan rendah di pemerintah, ada distribusi yang terganggu karena pertokoan, rumah makan tutup akibat pandemi, juga tidak ada yang berbelanja di pasar karena pasar tutup, sehingga produksi menumpuk di petani di daerah,” ujar Ropan.

Dari berbagai kasus ini, ternyata ada satu faktor krusial yang membuat petani selaku aktor terpenting produksi pangan nasional, selalu berada dalam posisi yang terjepit di antara aktor pangan lainnya. Faktor itu adalah akses terhadap pasar.

Karenanya kemudian menjadi penting bagi berbagai stakeholder pangan nasional untuk ikut membantu membangun jalan berkeadilan bagi petani agar mendapatkan akses terhadap pasar untuk memastikan, keringat petani di ladang, sawah dan kebun-kebun mendapat ganjaran yang layak berupa harga produk yang berkeadilan dan menyejahterakan.

Dalam konteks ini, berbagai inisiatif untuk mendekatkan petani dengan pasar melalui platform yang kolaboratif mulai banyak dibangun di berbagai wilayah petanian. Salah satunya adalah di Ngawi, Jawa Timur.

Model Kemitraan di Ngawi

Eko Budhi dari Jaringan Kerja Petani Organik (Jaker PO) memaparkan, Ngawi adalah wilayah pertanian yang merupakan salah satu penyangga produksi pangan bagi wilayah di sekitarnya. Ngawi memiliki lahan sawah seluas 50 ribu-an hektar dengan hasil panen mencapai 780 ribu ton gabah per tahun. Sementara, kebutuhan konsumsi masyarakat Ngawi hanya sebesar 92 ribu-an ton per tahun, sehingga terdapat surplus yang besar dan “di-ekspor” keluar daerah. 

“Dengan kondisi demikian pertanian mampu berkonstribusi pendapatan daerah hingga 38%,” jelas Eko.

Tetapi apakah angka-angka yang luar biasa itu juga menggambarkan kesejahteraan petani? Ternyata jawabannya adalah tidak. Eko memaparkan, rantai produksi pangan, khususnya beras di Ngawi, ternyata lebih dinikmati pihak distributor.

Dia menjelaskan, saat ini ada tiga model budidaya padi yang berlaku di Ngawi. Pertama, pertanian konvensional yang masih memanfaatkan imput kimia sintetis. Kedua, semi organik, yaitu mengurangi input (pupuk dan pestisida) kimia sintetis. Ketiga, pertanian organik baik yang belum tersertifikasi dan sudah tersertifikasi.

Untuk beras organik, ada dua kecamatan yang melaksanakan pertanian organik yang sudah tersertifikasi yaitu di Geneng yang dilaksanakan oleh KNOC dan di Kelompok Tani Rukun Jaya. Kedua kelompok tani tersebut juga mengolah dan mengemas menjadi beras kemasan, kemudian penyaluran ada yang melalui PT, toko, dan dijual langsung kepada konsumen.

“Rantai nilai yang didapatkan dari sistem rantai pasar tersebut, adalah sebagai berikut: Pihak yang mendapatkan margin tertinggi dalam rantai nilai adalah toko. Ada penundaan pembayaran kepada petani, hal tersebut tidak diatur dalam perjanjian,” jelas Eko.

Dalam konteks beras organik saja, dimana petani sudah meningkatkan kapasitas dan pengetahuan dalam mengelola pertanian yang lebih berkelanjutan dengan produk beras yang bernilai tinggi, petani tetap belum menjadi aktor yang menikmati hasil yang paling menguntungkan dalam rantai produksi pangan. Toko atau off taker, tetap menjadi pihak yang menikmati keuntungan terbanyak tanpa perlu terlalu bersusah payah. Apalagi pada rantai produksi beras non organik.

Melihat situasi tersebut Jaker PO lantas menginisiasi penguatan CSO, papar Eko. Kegiatan tersebut meliputi: Pertama, penguatan kelompok tani dalam rangka mengenalkan dan adopsi Bussiness on Human Right (BHR) dengan bersama menggandeng Pemda dan swasta. Kedua, membangun kemitraan yang saat ini sedang dibangun bersama antara PT Agri Boga Mas yang melibatkan 3 aktor penting yaitu petani, pendamping, dan perusahaan.

“Skema kerjasama berjalan secara bertahap dari mengajukan kerjasama dan mengirimkan sampel beras dilanjutkan ke dalam kontrak farming, dan pada akhirnya komitmen perusahaan untuk sharing modal dan invest sarana dan prasarana pertanian,” kata Eko.

Dari sisi pemerintah, untuk menjamin keseluruhan proses ini berjalan dengan berkeadilan, di Kabupaten Ngawi pada tahun 2019 lahir Peraturan Daerah No. 13/2019 tentang Pertanian Berkelanjutan yang kemudian akan disusulkan dalam proses penyusunan Peraturan Bupati. “Diharapkan jika Perbub lahir maka akan tercipta kondisi kemitraan petani dengan swasta berlangsung adil,” tegas Eko.

Saat ini, kata Eko, dari skema tersebut telah lahir beberapa produk beras organik yang menjadi andalah. “Beberapa produk beras organik yang sudah diusahakan adalah beras cap Ratu Agung dari KNOC, beras Lawu Ngawi (beras bumbu nasi liwet), dan beras aromatik dari poktan Rukun Jaya,” ujarnya.

Pendekatan Model Start Up 

Selain pendekatan model pemberdayaan para pihak seperti di Ngawi, di era industri 4.0 ini, banyak juga model-model bisnis start up yang berupaya membangun sistem pangan yang berkeadilan bagi petani. Salah satunya adalah seperti yang dilakukan oleh TaniHub.

Head of Bussines Development TaniHub Bill Afriyanto mengatakan, berdirinya TaniHub sendiri tidak terlepas dari adanya masalah klasik dalam pertanian di Indonesia, khususnya pada sisi petani. Pertama adalah akses terhadap modal (access to capital). Kedua, adalah akses terhadap pasar (access to market). Karenanya TaniHub berdiri untuk menjembatani gap tersebut.

“Access to capital kita kita punya tanifarm, kita siapin B2B lending (model pinjaman bisnis ke bisnis). Di situ ada crowdfunding, itu membiayai pertanian dengan skema bagi hasil,” kata Bill.

Kemudian untuk akses terhadap pasar, TaniHUb memanfaatkan sistem online dan offline. “Harapannya dari hasil ini off taker-nya TaniHub, baik bisnis ke bisnis (B2B) atau bisnis ke konsumen (B2C), kita cari marketnya ke arah sana,” paparnya.

“Harapannya dengan apa yang kita lakukan, semua masyarakat Indonesia memahami bahwa kita hidup di sini ada andil besar dari pertanian. Prinsip kita agriculture for everyone. Jangankan hasil pertanian, dengan kasih jempol aja anda jadi bagian dari pertanian Indonesia,” tambah Bill.

Dalam proses distribusi, TaniHub menggunakan TaniSupply. “TaniSupply ini awalnya ada tim trade procurement. Itu memastikan hasil panen kita ambil, kita engage disitu, kita pastikan barangnya qualify untuk dikonsumsi masyarakat. Disimpan di warehouse, ada QC (kontrol kualitas-red), kita grading, kita maintain perlakukan produk di suhu tertentu sampai kita packaging. Lalu kita distribusikan ke customer online dan offline. B2B kita distribusikan ke customer lain, B2C kita kirim ke rumah,” papar Bill.

Secara umum, alur yang dilaksanakan TaniHub adalah, setelah panen, kemudian kelompok tani, atau gapoktan (gabungan kelompok tani), hasil produksiya akan didisplay di TaniHub. “Di situ bisa pilih berdasarkan kotanya masing-masing. Di situ ada beberapa klasifikasi dari produk kita, ada ikan, seafood, beras dan lain-lain,” ujarnya.

Kemudian untuk jalur offline, hasil panen petani setelah mengalami berbagai proses seperti pengeceka kualitas, grading dan lain-lain, akan dipasarkan melalui jaringan supermarket. “Sudah ada lebih dari 500 produk kita juga melayani pembelian ke B2B dan B2C,” jelasnya.

Terkait pendanaan, melalui TaniHub, petai bisa mengajukan permintaan pendanaan melalui TaniFund. TaniFund akan melakukan verifikasi apakah proposal yang diajukan layak untuk didanai. “Kemudian sama-sama bikin RAB (rancangan anggaran biaya). Yang menentukan layak, bukan hanya TaniFund, kita diskusi dengan petaninya kira-kira yang ditanam punya nilai jual tidak saat panen?” ujar Bill.

Kemudian setelah dinilai layak yang disetujui, TaniFund akan melakukan penggalangan dana atau fundrising. Kemudian semua lender memberikan invest dana, kemudian mulai project pertanian. “Setelah panen, langsung dibeli oleh TaniHub, lalu produk dijual, setelah dijual bagi hasil, antara para lender dan petani,” papar Bill.

Persentase pembagiannya, kurang lebih TaniFund 30%, petani 70%, dan lander (pemberi modal) 15%. “Termasuk biaya hidup petani selama 3 bulan juga dipertimbangkan,” kata Bill.

Semua proses tadi, ujar dia, dilakukan untuk memastikan keberlanjutan ekosistem bisnis. “Kalau terjadi ini akan terus berputar. Kenapa sih masalah utama para petani ini di modal? Karena kebanyakan petani itu unbankable, karena biasanya syarat bank ada collateral atau jaminan.. ketika bisnis dan beberapa petani, katanya kalau ditanya, NPWP ada nggak? jangankan NPWP, KTP aja nggak punya. Tapi petani ini skill-nya hebat, jadi skill bertani inilah yang menjadi jaminan bagi TaniHub,” ujar Bill.

Bagaimana jika setelah didanai, petani mengalami kegagalan panen? Bill mengatakan, untuk risiko seperti demikian, akan ditanggung bersama antara petani, TaniHub dan lender. Selain itu, proses permodalan ini juga diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. “Jadi aman,” tegasnya.

Pendekatan Kesejahteraan Petani

Koordinator KRKP Said Abdullah menegaskan, KRKP sendiri mendukung berbagai inisiatif untuk membuat rantai pangan yang lebih berkeadilan bagi petani dan meyejahterakan petani. Di KRKP sendiri berkembang pemikiran bahwa dalam konteks pembelaan terhadap petani padi, tidak bisa lagi dengan pendekatan lama.

“Yang kalau dulu membayangkan kalau anda petani padi, diorganisir menjadi satu kelompok kemudian meningkat produksinya secara teknis,” ujar pria yang akrab disapa Ayip itu.

Ternyata peningkatan produksi saja tidak cukup. Lalu persoalan berikut adalah bagaimana mengorganisir pemasaran bersama supaya mereka punya nilai lebih. “Petani itu nggak bisa juga. Karena orientasi mereka produksi dipaksa masuk wilayah yang secara nature bukan merka,” jelasnya.

Karena itu diperlukan adanya kelembagaan baru. “Teman-teman bikin unit pemasaran. Teman-teman memperpendek rantai pasar sehingga langsung ke konsumen,” ujar Ayip.

Dia menegaskan, saat ini pendekatan pembangunan pertanian memang harus diarahkan pada memperkuat taraf hidup petani. Proses usaha tani diakui masih membutuhkan pendampingan. Karena itu, harus ada proses kemitraan yang kuat, seperti yang sudah dilakukan Jaker PO di Ngawi dan start up pertanian seperti di TaniHub.

Di Indonesia, upaya-upaya ini memang sudah mulai dibangun. “Hanya saja, saat ini model kemitraannya masih transaksional. Harusnya kemitraan yang didorong adalah basis kepemilikan,” tegas Ayip.

Dia menandaskan, seringkali model transaksional menepatkan petani masih dalam di posisi bawah perusahaan. “Jika kepemilikan, petani sama-sama equal dengan perusahaan. Bisa jadi model yang dikembangkan Tani Hub bisa dikembangkan bersama Jaker PO bagaimana sisem kemitraan yang inovatif,” ujarnya.

Perlu ada hubungan di level baru pada kemitraan. “Saat ini belum ada ruang pengaduan, mediasi, bahkan bisa jadi peraturan untuk melindungi petani maupun private sector. Saat ini masih diabaikan, maka perlu ada terobosan dengan basis kepemilikan dan ada payung hukum di Pemda,” paparnya.

Ayip menegaskan, kemitraan yang muncul mestinya berpaku pada 6 prinsip dasar Partisipatif. Pertama, ada proses diskusi atas kebutuhan petani maupun private sector sendiri. Kedua, kepatutan, yaitu secara sosial, ekonomi, lingkungan, harus patut. Ketiga, prinsip akuntabilitas. Keempat, tranparansi. Kelima, efisiensi dan keenam memadukan profit dan benefit.

“Saya pikir teman-teman TaniHub dan Jaker PO bisa mengurangi disparitas itu. Bukan berarti selama ini yang dilakukan tidak punya makna, bisa saja bermakna, tapi perlu terobosan baru dan yang dilakukan teman-teman menjadi menarik,” tegas Ayip.