web analytics

Pilar Kedaulatan Pangan

Pembaruan Agraria, Pilar Pertama Kedaulatan Pangan

Piagam Petani yang dihasilkan dari World Conference on Agrarian Reform & Rural Development yang dilaksanakan FAO pada tahun 1979, mengartikan Pembaruan Agraria sebagai : “Perubahan prikehidupan dan kegiatan pedesaan dalam semua segi, ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan, lingkungan dan kemanusiaan”  Usaha ini dicapai melalui jalan sebagai berikut: (i) pembatasan maksimal atas kepemilikan tanah perseorangan, (ii) peneguhan kekuatan dasar-ekonomi petani kecil, (ii) pengorganisasian perkumpulan petani, dan (iv) inovasi dan teknologi.

Lebih lanjut, Gunawan Wiradi menjelaskan inti pengertian pembaruan agraria sebagai “suatu penataan kembali, atau penataan ulang, struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah (sumber agraria) agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera”. Pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa pokok permasalahan kemiskinan dan kelaparan terletak pada bagaimana alat produksi atau sumber agraria dikelola secara adil untuk kepentingan sebanyak-banyaknya rakyat. Pelaksanaan pembaruan agraria mencakup: sistem penguasaan sumber agraria, metode penggarapan dan organisasi pengusahaannya, skala operasi usahanya, sistem sewa menyewa, kelembagaan kredit desa, pemasaran serta pendidikan dan pelatihan untuk menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan keadilan sosial dan produktivitas.

KRKP - Hubungan Agraria

Pertanian Berkelanjutan, Pilar Kedua Kedaulatan Pangan

Modernisasi pertanian yang selama ini dikembangkan meskipun dalam jangka pendek  dapat meningkatkan produksi pangan namun juga berdampak negatif terhadap kemandirian petani, lingkungan dan sosial-budaya di pedesaan. Modernisasi pertanian menyebabkan para petani yang sebelumnya mengembangkan berbagai teknologi lokal dalam pembibitan, budidaya hingga pemanenan dengan tiba-tiba digantikan dengan teknologi baru yang datang dari luar. Berbagai kebutuhan yang sebelumnya dapat dipenuhi sendiri kemudian harus mereka datangkan dan beli berbagai luar desa seperti benih, pupuk, pestisida, kredit atau modal. Tidak semua petani dapat memanfaatkan teknologi modern itu, sebaliknya banyak petani miskin yang kesulitan untuk mendapatkan input pertanian sesuai jumlah, kualitas, harga dan waktu. Sering petani kesulitan mendapatkan pupuk ketika tanaman membutuhkan pempupukan.

Berbagai persoalan lingkungan dan sosial berkembang sebagai akibat penggunaan teknologi pertanian modern. Tanah, air dan udara bahkan makanan tercemar karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Tanah menjadi semakin tidak subur, aneka benih tanaman lokal semakin hilang dan budidaya tanaman pangan rentan terhadap serangan hama dan penyakit.  Revolusi Hijau juge menyebabkan kesenjangan penguasaan tanah, pengangguran serta meminggirkan peran dan pekerjaan perempuan di sektor pertanian desa. Kebijakan nasional terhadap pemerintah desa juga menghilangkan otonomi masyarakat desa untuk menentukan sendiri kebijakan pertanian-pangan mereka sendiri. Desa dikooptasi pemerintah pusat untu kepenting di luar masyarakat desa itu sendiri.

Kebijakan yang mengutamakan peningkatan produktivitas pangan dengan mengandalkan benih unggul, pupuk dan pestisida kimiawi pabrikan sebagai faktor penentu telah melupakan akar persoalan kelaparan. Kelaparan bukan semata masalah rendahnya produksi pangan, tetapi juga soal manajemen institusi menyangkut distribusi, pengairan, inovasi teknologi lain dan sebagainya.  Amartya Sen, ekonom India penerima nobel, dalam satu stusi kasusnya di tahun 1980-an menemukan satu daerah di India mengalami kelaparan hebat, tetapi di daerah lain berkelimpahan pangan. Terbukti kelaparan, menurutnya, bukan  sekadar persoalan kelangkaan pangan (karena teknologi rendah), tetapi juga soal kepemilikan dan akses terhadapnya.

Melihat kenyataan tersebut, kedaulatan pangan mendorong pengembangan pertanian pertanian berkelanjutan atau pertanian ekologis berbasis keanekaragaman hayati. Penggunaan berbagi benih tanaman pangan lokal yang telah beradaptasi secara lokal yang tahan terhadap iklim setempat, penggunaan pupuk kandang dan kompos, mengurangi penggunaan air irigasi dan pemanfaatan input lain yang lebih hemat menjadi hal penting. Pertanian berbasis keanekaragaman hayati juga dapat menjamin ketersediaan makanan yang tidak dibudidayakan, tanaman obat, bahan bakar dan makanan ternak, merupakan kunci bagi keberlanjutan sistem pangan masyarakat serta kehidupan pedesaan yang sehat.[1]

Teknologi Pertanian Berkelanjutan (PB) yang dikembangkan dikembangkan perlu disesuaikan dengan situasi agroekologi spesifik lokasi dan kebutuhan keluarga petani. Beberapa ciri PB antara lain: 1) berupaya mengintegrasikan pengelolaan kesuburan tanah, kesesuaian lahan dan peternakan; 2) penggunaan secara efisien unsur hara, air dan energi, serta sedapat mungkin mendaur-ulangnya melalui upaya pencegahan terjadinya deplesi dan polusi; 3) penggunaan input luar hanya untuk menkompensasi defisiensi lokal; 4) mendaya-gunakan pengetahuan dan teknologi pribumi, pengalaman dan pengetahuan universal secara serasi; dan 4) menekankan upaya mempertahankan tingkat produksi agar  konsisten.

Oleh karenanya, tujuan pertanian berkelanjutan dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan adalah untuk keberlanjutan produksi aneka pangan lokal dan untuk pemenuhan kebutuhan pangan komunitas lokal. Pertanian akan dapat berkelanjutan jika berorientasi jangka panjang: menguntungkan bagi petani dan usaha taninya, memperbaiki kesejahteraan dan kualitas kehidupan keluarga petani; memberdayakan komunitas pedesaan, desa dan kota-kota kecil; serta perlindungan dan konservasi sumberdaya alam khususnya tanah, air dan udara. Juga jika memperhatikan masa sepan tetapi tetap berbasis pada kaarifan generasi sebelumnya; dampak transportasi pangan dan dampak lingkungan pengolahan pangan serta kesehatan pendudk yang berada di sekitar lahan pertanian serta kualitas tanaman yang dibudidayakan.

[1] http://www.interpares.ca/, Community-based Food Security Systems: Local Solutions For Ending Chronic Hunger And Promoting Rural Development

Perdagangan yang Adil, Pilar Ketiga Kedaulatan Pangan

Jika produksi petani dihargai maka kebutuhan pangan, sandang, kesehatan keluarga dan pendidikan anak-anaknya dapat terpenuhi.

(KRKP, Kampanye Perdagangan Yang Adil untuk Petani, 2005)

Liberalisasi perdagangan menuntut setiap negara membuka pintu seluas-luasnya terhadap masuknya berbagai bentuk barang, jasa, informasi, dan pengetahuan. Pangan sebagai kebutuhan amat penting semua manusia juga menjadi bagian liberalisasi perdagangan. Sebagai akibatnya terjadi peningkatan arus perdagangan pangan antar negara. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya pangan dari berbagai negeri lain yang masuk ke kota-kota hingga ke pelosok desa-desa Indonesia. Liberalisasi perdagangan menjadi persoalan yang penting karena pangan diakui sebagai hak asasi manusia. Memperdagangkan pangan dapat diartikan memperdagangkan hak asasi manusia dan kehidupan rakyat.

Liberalisasi perdagangan pangan juga dapat merugikan petani terutama petani kecil. Pada umumnya petani Indonesia adalah petani subsisten dengan penguasaan lahan kecil, kurang dari 0,5 hektar setiap keluarga. Kenyataan menunjukkan bahwa selama ini pemerintah negara kaya memberi subsidi yang besar kepada petani mereka yang kaya. Pare petani kaya di negara maju memiliki jauh lebih banyak keunggulan dibanding petani miskin di negara berkembang seperti Indonesia. Mereka memiliki akses informasi, infra-struktur, teknologi, permodalan dan sumber daya manusia yang tinggi. Sementara itu pemerintah Indonesia membuat kebijakan liberalisasi dengan menghapus atau memperkecil berbagai subsidi kepada para petani. Oleh karenanya liberalisasi akan memberi lebih banyak keuntungan kepada petani kaya di negara-negara maju dibanding petani negara berkembang. Liberalisasi pasar bebas menyebabkan meningkatkan impor pangan, mengurangi insentif dan pendapatan petani dan mendorong terjadinya urbanisasi di kalangan petani kecil, terutama kaum perempuan petani.

Ketidakadilan dalam perdagangan ini mendorong prakarsa masyarakat di berbagai belahan dunia untuk memunculkan inisiatif perdagangan alternatif yang lebih adil. Perdagangan yang dikelola dengan memperhatikan kepentingan masing–masing negara yang berbeda kekuatan maka perdagangan internasional berpotensi mengangkat jutaan petani miskin dari banyak negara kearah yang lebih baik. Perdagangan yang adil (Fair Trade) merupakan bagian penting dalam perjuangan bagi  terwujudnya kedaulatan pangan. Proses negosiasi perdagangan internasional mestinya didasarkan pada dialog, transparasi dan penghargaan. Perdagangan yang adil merupakan gerakan internasional yang berusaha mewujudkan pendekatan alternatif bagi tata kelola perdagangan internasional. Gerakan ini mencoba mengupayakan jaminan  terutama bagi petani dan pengusaha kecil dan menengah dari negara miskin atau berkembang agar mendapat harga yang adil.

Gagasan utama Perdagangan yang Adil adalah memperjuangkan keadilan sosial dan praktik produksi yang ramah lingkungan. Gagasan dalam prakteknya ini diwujudkan dalam bentuk pemberian kesempatan yang setara sesuai kemampuan masing–masing pihak dalam melakukan transaksi dagang. Pada tataran internasional jelas nampak bahwa melalui aturan–aturan yang dibuat WTO – sebagai organ perdagangan dunia yang paling kuat saat ini- justru makin menenggelamkan kemampuan negara yang miskin. Secara umum fair trade ini bertujuan untuk:

  1. Meningkatkan kesejahteraan hidup para produsen kecil dan menengah dengan cara meningktkan akses Pasar bagi produk mereka, memperkuat organisasi produsen, memberikan pembayaran yang lebih baik, dan menyediakan kontrak kerja jangka panjang  dalam hubungan perdagangan
  2. Mempromosikan manfaat pembangunan bagi produsen yang kurang beruntung  terutama kaum perempuan dan masyarakat adat. Juga memberikan perlindungan bagi anak –anak dari eksploitasi dalam produksi.
  3. Meningkatkan kesadaran konsumen tentang efek negatif dari tata perdagangan internasional
  4. Membangun model kemitraan dalam perdagangan melalui prinsip prinsip dialog transparansi dan penghargaan
  5. Mengkampanyekan perubahan dalam tata aturan dan praktek perdagangan international yang konvensional
  6. Melindungi hak asasi manusia dengan mempromosikan kedilan sosial dan praktek yang ramah lingkungan.

Sistem Pangan Lokal, Pilar Keempat Kedaulatan Pangan

Agar bisa hidup sehat, setiap orang membutuhkan pangan yang cukup baik dari sisi kualitas ataupun jumlahnya. Kualitas pangan meliputi aspek fisik, mutu, keamanan, dan kandungan gizi. Di dalam makanan terdapat zat-zat gizi yang juga disebut nutrisi. Zat gizi yang terkandung dalam makanan meliputi karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air. Kualitas gizi menekankan keanekaragaman pangan. Setiap manusia tidak hanya membutuhkan makanan pokok, tetapi juga bahan pangan lainnya. Semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi maka semakin baik kualitas gizinya. Sedangkan kuantitas pangan adalah jumlah atau volume pangan yang dikonsumsi dan zat gizi yang dikandung bahan pangan.

Pangan yang beragam amat penting bagi kita karena tidak ada satu jenis pangan pun yang dapat menyediakan gizi secara lengkap. Dengan konsumsi yang beragam, maka kekurangan zat gizi dari satu jenis pangan akan dilengkapi gizi dari pangan lainnya. Pada sisi lain, kesadaran akan pentingnya konsumsi pangan beragam menghindari ketergantungan terhadap satu jenis pangan (beras) dan pangan impor.

Ribuan masyarakat desa yang ada di Indonesia sejak lama telah mengembangkan pola makan tradisional atau lokal yang menyediakan aneka makanan. Makanan tradisional Indonesia mencakup segala jenis makanan olahan asli Indonesia termasuk makanan utama, kudapan, dan minuman. Sumberdaya alam Indonesia memiliki potensi ketersediaan pangan yang beragam dari satu wilayah ke wilayah lainnya, baik sebagai sumber karbohidrat maupun protein, vitamin dan mineral. Pola makan lokal ini kaya akan zat gizi untuk kesehatan dan pertumbuhan karena terdiri dari berbagai variasi seperti aneka makanan pokok, sayur–sayuran, lauk pauk, kacang-kacangan, dan berbagai macam bumbu yang mengandung lemak dan gula. Pangan pokok masyarakat juga beragam seperti beras, jagung, singkong, ubi jalar, sagu, talas dan kentang.

Pola pangan masyarakat mengalami perubahan seiring dengan perkembangan teknologi dan industri pertanian-pangan, sarana transportasi dan komunikasi serta perluasan pasar. Produk pangan olahan dipasarkan melalui pasar modern dan mini market bahkan berbagai rumah makan cepat saji. Kebutuhan pangan rakyat Indonesia yang berjumlah lebih dari 215 juta orang dan terus bertambah menjadi daya tarik yang luar biasa bagi industri pangan global dan nasional. Liberalisasi perdagangan pangan telah memungkinkan berbagai jenis pangan baik mentah maupun olahan masuk ke kota-kota bahkan pelosok desa di Indonesia.

Kecenderungan ini dapat disebut sebagai proses globalisasi pangan. Sistem pangan global mendorong kompetisi antar perusahaan, antar wilayah dan antar negara untuk memproduksi pangan secara besar-besaran dengan menggunakan teknologi modern. Budidaya tanaman atau ternak secara monokultur (tunggal) serta penggunaan input modern baik benih, pupuk dan pestisida kimia secara besar-besaran. Selain merusak lingkungan, cara itu juga membahayakan konsumen karena kandungan racun dalam makanan yang diproduksi tetap terbawa.

Pilar ini berfokus di tingkat konsumen. Bagaimanapun kedaulatan pangan oleh petani harus didorong oleh ekosistem kompleks termasuk kebiasaan para konsumen dalam mengonsumsi suatu pangan. Bila ada produsen, maka sudah pasti ada konsumen. Antara keduanya ada relasi yang saling bergantung. Relasi yang dibangun harus bersifat mutualisme, bukan saling menyingkirkan antara satu dan lainnya. Dipandang sebagai sistem, sistem pangan lokal meliputi dari produksi smapai pada konsumsi. Sisi produksi secara komprehensif dalam indeks ini diletakkan pada pilar Pertanian Berkelanjutan. Sedangkan sisi konsumsi secara khusus diletakkan pada pilar ini yaitu sistem pangan lokal.

Bila merujuk pada UU Nomor 18 tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampa perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Relasi mutualisme yang harus didorong adalah bagaimana pangan yang dikonsumsi adalah beranekaragam dan berasal dari sumber daya lokal. Pembelajaran terdahulu telah membuktikan gagal, pembelajaran terdahulu yang dimaksud adalah penganekaragaman sumber pangan melalui diversivikasi beras dengan gandum membuahkan masalah baru. Gandung merupakan pangan yang tidak tumbuh di bumi pertiwi indonesia. Ketergantungan terhadap gandum mengakibatkan pemborosan terhadap devisa dan sekaligus mematikan kehidupan petani penghasil pangan di dalam negeri.