web analytics

Suparjiyem: Inspirasi dari Seorang Perempuan Petani

10
Dec

“Women make significant contributions to agricultural and food production.”

(Journal of Environmental Challenge)

Kalimat di atas dikutip dari sebuah jurnal terbitan Elsevier, yang artinya “Perempuan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap produksi pertanian dan pangan”. Secara implisit, kalimat tersebut menegaskan bahwa perempuan dengan mata pencaharian sebagai petani di desa memanggul dua peran besar di pundaknya, yaitu sebagai pemegang  “produksi pertanian” dan “produksi pangan”.  Produksi pertanian mencakup kegiatan menggarap lahan, di mana perempuan petani memiliki peran dalam aktivitas mulai dari penyemaian, penanaman, persiapan perbekalan selama di lahan, hingga pemanenan. Sedangkan, produksi pangan mencakup kegiatan mengolah bahan baku hasil pertanian menjadi pangan untuk konsumsi keluarga, pemenuhan kebutuhan gizi, dan terkadang sampai pada urusan penyimpanan untuk jangka panjang. Produksi pangan yang dilakukan oleh perempuan petani juga dapat diartikan sebagai upaya pengolahan hasil pertanian menjadi produk baru yang mampu meningkatkan nilai jual di pasar. Dari gambaran tersebut, kontribusi perempuan terhadap sektor pertanian dan pangan sangatlah penting. 

Kemampuan seorang perempuan dengan peran ganda, yaitu sebagai petani dan ibu rumah tangga, banyak dijumpai di sejumlah desa yang ada di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya di Desa Wareng, Ibu Suparjiyem merupakan perempuan petani yang inspiratif dengan inisiasinya dalam melestarikan pertanian yang berkelanjutan dan pangan lokal di tengah masyarakat desa. Bu Par atau Bu Parjiyem, begitu sapaan akrab untuk perempuan asal Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ini. Lahir dan besar di Desa Wareng menjadikannya untuk bertekad kuat memberi kebermanfaatan kepada warga sekitar–dan harapannya dapat meluas ke daerah lainnya. 

Di awal menjalani pekerjaan sebagai petani, yaitu lebih dari 30 tahun silam, Bu Parjiyem dianggap sebagai “petani gila” karena cara bertaninya yang berbeda dibandingkan petani lainnya pada masa itu. Misalnya, dalam hal cara menanam benih padi dan konsep organik yang ia terapkan. Bu Parjiyem menjadi petani yang menginisiasi penerapan pola tanam padi jarwo atau jajar legowo di desanya. Pola tanam jarwo merupakan pola berselang-seling antara dua atau lebih baris tanaman padi yang diselingi dengan satu baris kosong. Bu Parjiyem juga menggunakan alat tugal dalam menanam benih padinya. Dari segi varietas yang ditanam, ia menanami satu blok lahannya dengan lebih dari satu jenis varietas padi. Hal-hal ini ia pelajari secara otodidak dan terbukti lebih efektif dibandingkan cara yang sudah ada sebelumnya. 

Dalam perjalanannya kemudian, Bu Parjiyem tergerak untuk mendirikan suatu komunitas untuk bertukar pikiran dan meningkatkan produktivitas para perempuan petani di Gunungkidul, khususnya di Desa Wareng tempat ia tinggal. Lahirlah Kelompok Wanita Tani (KWT) yang diberi nama KWT Menur. Awalnya, Bu Parjiyem hanya sendiri saat menginisiasi berdirinya Menur pada tahun 1989. Kesulitan yang dihadapi di awal masa pembentukan KWT adalah perkumpulan wanita masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak umum. Berdasarkan penuturannya, mulai tahun 1985, perkumpulan perempuan mengalami pembatasan, bahkan sampai di tingkat rumah tangga. Pada saat itu, sulit sekali menggaet para perempuan di Desa Wareng yang menjadi petani untuk bergabung dengan KWT karena tidak diizinkan oleh suaminya. Alasannya, perkumpulan perempuan dianggap berpotensi menyebabkan perempuan menjadi lebih berani dalam mengkritisi sesuatu, sehingga dikhawatirkan melakukan protes atau tindakan tidak patuh kepada suami maupun keluarga.

Pada saat yang bersamaan, Bu Parjiyem dipilih menjadi penyuluh HIV-AIDS bersama BKKBN di Dusun Wareng, di mana target sasarannya adalah pasangan suami-istri. Momen berkumpulnya suami-istri dalam satu forum ini kemudian dimanfaatkan oleh Bu Parjiyem untuk melakukan pendekatan kepada setiap keluarga petani, khususnya mereka yang masih memiliki stigma negatif terhadap perkumpulan wanita tani. Usaha pendekatan person to person yang diterapkan Bu Parjiyem ini pada akhirnya membuahkan hasil, sehingga para wanita petani di Dusun Wareng pun mulai diizinkan suaminya untuk bergabung dengan KWT Menur.

Selain itu, Bu Parjiyem menyebarluaskan visinya ke masyarakat dengan berusaha memahami dan menerapkan sebuah pepatah Jawa, “jer basuki mawa bea”, yang artinya suatu kesuksesan pasti membutuhkan kerja keras dan pengorbanan. Maka beliau mengutamakan untuk memberikan teladan terlebih dahulu dengan melakukan sendiri konsep yang ia gagas, yaitu pertanian organik dan pelestarian pangan lokal Gunungkidul, sehingga masyarakat melihat beliau sebagai sosok figur yang dapat dicontoh. 

Saat ini, KWT Menur memiliki banyak anggota perempuan petani yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok usia tua dan kelompok usia muda. Kelompok usia tua berfokus pada kegiatan budidaya pangan lokal, di antaranya umbi ganyong dan garut. Sedangkan, kelompok usia muda berfokus pada kegiatan pengolahan pascapanen dengan dapur khusus yang seluruh produknya sudah tersertifikasi PIRT dan Halal MUI, di antaranya olahan dari empon-empon (jamu) dan umbi-umbian (ceriping dan aneka olahan lainnya).

Bu Parjiyem mengelompokkan lahan di dusunnya menjadi dua jenis, yaitu lahan sawah dan lahan tegakan. Lahan sawah ditanami dengan padi lokal asli Gunungkidul, yaitu varietas “Sri Mayangan”, yang telah membuat beliau memperoleh sertifikat legalitas sebagai pemulia benih lokal. Lahan sawah tersebut juga terkadang digunakan untuk uji coba penanaman varietas baru yang dikembangkan oleh peneliti, misalnya dari Institut Pertanian Bogor. Pada praktiknya, seluruh lahan pertanian yang dikelola oleh KWT Menur menggunakan pupuk organik dan pestisida alami, sehingga turut mendukung implementasi pertanian berkelanjutan.

Untuk lahan tegakan, Bu Parjiyem bersama KWT Menur memanfaatkannya untuk menanam empon-empon dan umbi-umbian, antara lain gembili, uwi, gadung, ganyong, dan suweg. Umbi ini telah sejak dulu tumbuh secara liar di hutan, sehingga termasuk ke dalam pangan lokal asli Gunungkidul. Biasanya, lahan tegakan kurang dimanfaatkan oleh masyarakat Gunungkidul karena berada di bawah pepohonan jati dan hanya tanaman tertentu yang dapat tumbuh di jenis lahan seperti ini. Untuk lima jenis umbi lokal, penanaman dilakukan setelah mangsa lima (menurut pranata mangsa Jawa) atau ketika menjelang musim penghujan. Khusus umbi ganyong dan garut, penanaman dapat dilakukan sepanjang waktu tanpa melihat musim.

Perjuangan Bu Parjiyem selama 30 tahun lebih untuk mengedukasi dan mendorong pertanian lokal di masyarakat tentu belumlah usai. Tantangan terdekat saat ini adalah menanamkan konsep berkelanjutan dalam praktik pertanian, juga konsumsi pangan lokal sebagai alternatif pangan di samping beras. Praktik pertanian yang berkelanjutan perlu ditekankan karena berkorelasi dengan semakin buruknya kondisi iklim dewasa ini. Dalam Policy Brief tentang Beras Berkelanjutan yang disusun KRKP pada tahun 2020, menerangkan bahwa produksi padi yang tidak memperhatikan keberlanjutan menyumbang sekitar 10% emisi metana global dan berkontribusi terhadap gas rumah kaca (GRK). Terkait dengan konsumsi pangan lokal, hal ini juga tidak kalah penting, terlebih apabila dikaitkan dengan pilar keempat kedaulatan pangan. Upaya mendorong konsumsi pangan lokal harapannya mampu meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim di masa sekarang. Harapan sekaligus tantangan lainnya adalah memunculkan tunas baru dari kalangan orang muda untuk meneruskan semangat Bu Parjiyem dalam memajukan pertanian di Indonesia dan mengangkat pentingnya peran perempuan petani di sektor pertanian dan pangan.

Ditulis Oleh: ‘Athif Yumna Hanifah