Jakarta, 16 Juni 2021- FIAN Indonesia dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), menyatakan keprihatinan terhadap rencana pemerintah untuk mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sembako (bahan pangan pokok). Di tengah-tengah kondisi perekonomian masyarakat yang masih krisis karena terdampak pandemi Covid-19. Pemerintah malah merevisi aturan perpajakan yang tertuang dalam UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Salah satunya menaikkan PPN dari 10% menjadi 12% dan dikeluarkannya sembako dari kelompok barang yang tak dikenai PPN. Pemerintah mengusulkan skema multitarif untuk sembako. Hal ini berarti akan ada pengenaan tarif yang beragam untuk barang yang dikenakan pajak. Kebijakan ini kami nilai akan menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan politik yang pada akhirnya mengancam pemenuhan hak atas pangan dan gizi masyarakat.
Pertama, kenyataan bahwa perekonomi kita masih sangat besar disandarkan atau didominasi konsumsi rumah tangga. Penerapan PPN berpotensi menggerus konsumsi. Pengenaan PPN juga bisa memicu penurunan upah riil masyarakat. Terutama kelompok rentan yang pada akirnya berpotensi menggerus konsumsi dan pemenuhan pangan dan gizinya.
Di sisi lain, keberatan publik tetap harus diperhatikan. Pertama, jika kenaikan multitarif tetap dijalankan, tak ada jaminan tidak terjadi kenaikan harga pada semua kelompok barang. Kedua, bisa jadi skenario defisit di bawah 3 persen pada 2023 belum realistis, sehingga pemberlakuan “Pajak Sembako” belum menemukan momentum.
Kedua, pengenaan PPN terhadap sembako multi tarif tidak memberikan jaminan tidak terkait kenaikan harga pada semua kelompok barang. Betapa pun pemerintah sudah bertekad untuk membedakan sembako jenis apa yang dikenakan pajak dan mana yang bukan. Makan yang akan dikenakan pajak tinggi dan yang mana yang rendah, akan tetap beropotensi memicu inflasi.
Sempat dikatakan Ditjen Pajak bahwa PPN hanya akan dikenakan pada bahan pokok komoditas yang “premium”—komoditas yang menjadi konsumsi orang kaya—yang selama ini, tidak dikenakan PPN, disamakan dengan bahan pokok non-premium yang biasanya dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah. Sehingga, masyarakat tak perlu cemas: sembako yang diperdagangkan di pasar tradisional akan dikecualikan dari objek pajak.
Baca Juga Artikel: Bela petani: Batalkan Impor Beras!
Data Komparasi pangan Indonesia
Objek pajak terhadap suatu barang itu harus jelas, sementara data pangan kita yang masih kacau dan tidak ada klasifikasi mana yang premium dan mana yang bukan. Berapa batas harga yang akan dikenakan acuan untuk dijadikan objek pajak, membuat kerancuan yang membingungkan masyarakat. Harga sembako juga berfluktuasi karena pasar sangat responsif dengan kebijakan yang ditelurkan pemerintah meskipun masih dalam tahapan rencana. Hal ini sudah sangat sering kita saksikan dan alami, yang terbaru tentu saja soal rencana kebijakan impor beras. Baru pada tahap wacana saja gejolak pasar telah terjadi, harga gabah di tingkat petani terjun bebas sementara harga-harga barang lain mulai naik. Padahal petani selain produsen juga netconsumer.
Dampaknya, akses masyarakat kecil terhadap bahan pangan pokok semakin sulit. Pada masa pandemi Covid-19 di mana pendapatan ekonomi berkurang dan porsi pengeluaran untuk bahan makanan semakin mendominasi total pengeluaran rakyat. Akses masyarakat kecil saja sudah sulit. Sebagian besar dari mereka malah harus mengandalkan bantuan sosial yang kebijakannya pun tidak berjalan optimal karena korupsi dan exclusionary error.
Ketiga, inflasi karena PPN akan menimbulkan dampak yang lebih jauh lagi. Justifikasi bagi para pemburu rente untuk impor karena harga-harga pangan dalam negeri naik. Akhirnya menekan harga jual produk di petani kecil ke titik yang serendah-rendahnya. Akibatnya, hak atas pangan bagi petani kecil kembali dipertaruhkan.
Ketika negara mau menjamin “keadilan” untuk rakyatnya, maka pilihan pengenaan PPN terutama bagi kelompok rentan menjadi layak untuk dipertimbangkan atau bahkan dihentikan. Pada saat ekonomi melemah di mana akses masyarakat terhadap pangan yang layak dan bergizi menjadi sulit untuk dipenuhi, negara harusnya malah menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak atas pangan dan gizi lewat pembenahan di bidang lain: pembenahan pendapatan dengan pemerataan, terutama untuk kelompok marginal, dan tetap memastikan bantuan sosial berjalan tepat sasaran.
Kalaupun negara terdesak untuk memperoleh pemasukan, bukankah ada banyak kebijakan fiskal yang tidak mengorbankan hak atas pangan masyarakat? Misalnya, bukankah pemerintah dapat mengenakan pajak berupa pajak barang impor/tarif impor yang malah akan lebih melindungi produsen pangan skala kecil dalam negeri secara khusus, dan hak atas pangan masyarakat secara umum?
Oleh karena itu, FIAN Indonesia dan KRKP mendesak pemerintah untuk:
Meninjau ulang dan atau membatalkan draf RUU perpajakan yang telah diajukan ke DPR RI karena dapat menghambat terpenuhinya hak atas pangan masyarakat, terutama kelompok rentan. Dan terabaikannya pemenuhan hak atas pangan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh negara.
Penguatan pendapatan negara tidak bisa dan tidak boleh dilakukan dengan melanggar hak dasar setiap warga negara dan berdasar asas keadilan. Alih-alih menempatkan kelompok rentan pada situasi yang sulit, justru pemerintah perlu memastikan pemasukan pajak lebih besar, terutama dari kelompok mampu.
Mengalihkan usaha menjunjung keadilan ke kebijakan lain yang lebih berfokus pada kedaulatan petani dan pemenuhan hak atas pangan masyarakat, seperti tarif impor, insentif untuk produsen pangan dalam negeri, pemerataan pendapatan, dan pemerataan perlindungan sosial.