Berbicara pangan di negeri kita, maka kita tidak boleh mengabaikan pangan yang berasal dari buliran padi, atau produk turunanya yaitu beras.
Mengapa?
Beras melibatkan banyak perut, yaitu perut bagi yang mengkonsumsi dan perut bagi yang memproduksi. Jumlah yang memproduksi dan mengkonsumsi beras sangat besar. Data dari BPS tahun 2015 menyebutkan bahwa petani yang memproduksi padi adalah sebesar 26,9 juta jiwa. Sedangkan masyarakat indonesia mayoritas memakan nasi yang diolah dari beras.
Jumlah penduduk indonesia itu sendiri adalah 237 juta jiwa pada sensus penduduk di tahun 2010.
Jumlah produksi padi tahun 2015 menurut data BPS adalah sekitar 75,5 juta ton atau setara dengan 45 juta ton beras. Jumlah ini dipasok oleh beberapa sentra produksi padi antara lain adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Jawa Timur dengan sawah yang luas dan intervensi teknologi irigasi memiliki produksi padi tertinggi, yaitu 13,1 juta ton, kemudian Jawa Barat dam Jawa Tengah menghasilkan padi sebesar 11,3 juta ton sedangkan Sulawesi selatan adalah 5,4 juta ton.
Perputaran finansial yang berada di dalam tata niaga beras sangatlah besar, yaitu mencapai 301 T. Jumlah ini 17 % dari pendapatan negara pada tahun 2017 atau 18% dari penerimaan pajak pada tahun 2017. Nilai yang besar ini membuat tidak sedikit pihak merasa mantab berada dalam pusaran rantai nilai komoditas ini.
Ironisnya, besaran ini tidak otomatis membuat petani padi terangkat kesejahteraanya. Bahkan banyak hasil penelitian yang menyebutkan bahwa minat generasi muda untuk menjadi produsen padi atau petani sangat rendah. Situasi ini tentu saja dilatarbelakangi oleh pendapatan yang diterima oleh petani sangat rendah. Data dari BPS menyebutkan bahwa pendapatan bersih petani per hektar dalam satu kali musim tanam adalah 4,5 juta rupiah. Jika dirata-ratakan perbulan maka petani hanya memperoleh hasil bersih 1,1 juta rupiah (lama musim tanam sampai panen adalah 4 bulan).
Rata-rata penghasilan ini di bawah upah minimum provinsi Jawa Tengah, yaitu sebesar 1,48 juta, di mana upah minimum provinsi (UMP) Jawa Tengah merupakan UMP terkecil di Pulau Jawa pada tahun 2017.
Satu hal lagi yang menyesakkan dada petani adalah, bahwa luas kepemilikan sawah sebagian besar adalah di bawah 0,5 hektar. Sensus pertanian 2013 yang dilakukan BPS menyebutkan bahwa 56 % petani di indonesia adalah petani gurem (yaitu dengan kepemilikan sawan < 0,5 ha). Fakta ini memperlihatkan bahwa penghasilan petani bisa lebih jauh di bawah UMP yang ada di wilayah masing-masing petani.
Menurut kajian Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pada tahun 2015, faktor pendapatan ini adalah salah satu faktor signifikan yang mempengaruhi minat generasi muda untuk tidak terjun menjadi petani padi.
Keironisan ini belum cukup tanpa pelibatan pemerintah. Bagaimana tidak, warisan “keliru pikir” revolusi hijau belum sembuh sampai saat ini. meskipun program nasional pengendalian hama terpadu sempat berjalan massal sejak awal 1990-an. “Keliru pikir” yang dimaksud disini adalah penggunaan pestisida yang berlebihan. Pestisida merupakan ”obat” untuk tanaman, padahal bagi organisme pengganggu tanaman (OPT) maupun predatornya merupakan racun. Penggunaan pestisida yang dianggap sebagai obat oleh petani ini telah melewati ambang dosis yang diijinkan. Sehingga hama/OPT bukan menghilang, tetapi semakin resisten terhadap “obat” tersebut.
Dampak buruk yang ditimbulkan dengan penggunaan pestisida yang overdosis adalah musuh alami dari hama mengalami penurunan populasi karena mati oleh pestisida. Sehingga hama tidak memiliki predator alami dan populasi semakin meningkat tak terkendali sehingga gagal panen padi hanya berjarak sejengkal di depan mata petani. Contoh kasus terjadinya peledakan populasi hama wereng batang cokelat (WBC) yang meyebabkan gagal panen di beberapa sentra padi di Pulau Jawa pernah terjadi pada tahun 2014.
Rantai produksi-distribusi beras melibatkan banyak pihak yaitu mulai dari petani, penebas, pengepul lokal, penggilingan padi kecil, penggilingan padi besar, distributor beras besar, pengecer beras serta konsumen beras. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh KRKP, pihak yang paling menerima keuntungan terkecil adalah petani. Padahal petani adalah pihak yang paling banyak mengeluarkan keringat atas adanya beras di sekitaran kita.
Satu hal lagi yang menyesakkan dada petani adalah, bahwa luas kepemilikan sawah sebagian besar adalah di bawah 0,5 hektar. Sensus pertanian 2013 yang dilakukan BPS menyebutkan bahwa 56 % petani di indonesia adalah petani gurem (yaitu dengan kepemilikan sawan < 0,5 ha). Fakta ini memperlihatkan bahwa penghasilan petani bisa lebih jauh di bawah UMP yang ada di wilayah masing-masing petani.