Lahirnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa merupakan bentuk komitmen negara untuk menempatkan desa menjadi penggerak pembangunan sekaligus mengatasi ketimpangan akses dalam pembangunan. Melalui UU ini tidak hanya mampu meningkatkan roda ekonomi desa namun lebih jauh membuka ruang partisipasi dan akses masyarakat desa terhadap pembangunan desa. Undang-undang desa ini bertujuan untuk:
- Pengakuan dan status hukum pada sistem pemerintahan setingkat desa yang beragam di Indonesia;
- Mendorong tradisi dan kebudayaan masyarakat;
- Mendorong partisipasi warga dalam pemerintahan desanya;
- Meningkatkan pelayanan untuk semua orang lewat lebih sanggupnya pemerintahan desa;
- Mendorong pembangunan oleh warganya sendiri. Dengan tujuan demikian sesungguhnya undang-undang desa memberikan kesempatan yang luas pada pemerintah desa untuk mengatur dirinya.
Pada sisi lain, lahirnya undang-undang ini mendorong kuatnya partisipasi dan kontrol masyarakat terkait proses pembangunan..
Penguatan Lembaga Ekonomi Lokal Sebagai Jalan Membangun Desa yang Inklusif (oleh Said Abdullah)
Undang-undang desa lahir disertai dengan ketentuan tentang dana desa, yaitu melalui PP No. 60/2014. Peraturan ini mengatur desa untuk memajukan ekonomi desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDES). Melalui Bumdes inilah pemerintah desa dinilai akan lebih sanggup melayani kebutuhan warga. Pada sisi lain memungkinkan warganya lebih aktif dan partisipatif. Untuk mencapai pembangunan ekonomi desa, hingga tahun 2018 pemerintah telah mengalokasikan 103,8 triliyun rupiah, sebagai dana desa yang sebagiannya digulirkan dan kelola oleh Bumdes.
BUMDes ditempatkan sebagai pilar kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) sekaligus komersial (commercial institution) dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada. BUMDes sebagai lembaga sosial haruslah berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam penyediaan pelayanan sosial. Hal ini sesuai dengan tujuan pendirian sebuah Bumdes pada umumnya, yaitu: (1) Meningkatkan Perekonomian Desa, (2) Meningkatkan Pendapatan asli Desa, (3) Meningkatkan Pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan (4) Menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa. Dengan demikian hadirnya Bumdes melengkapi keberadaan lembaga ekonomi lokal lainnya semisal lumbung koperasi dan sebagainya yang ada di desa. Bumdes menjadi ruang sekaligus harapan baru desa untuk mempercepat pemerataan pembangunan.
Namun sayang hadirnya undang-undang ini, belum mampu menjawab persoalan mendasar. Partisipasi dan kontrol masyarakat miskin dan kelompok rentan terhadap proses pembangunan dan tata kelola ekonomi desa masih saja rendah. Hal ini disebabkan orientasi pelaksanaan UU Desa masih bertumpu pada 1) aspek birokrasi dan administrasi pengelolaan dana desa, 2) belum masuk pada esensi penguatan partisipasi dan kontrol terutama kelompok miskin dan rentan, 3) dana desa yang berjumlah besar masih belum mampu menguatkan keterlibatan kelompok miskin dan rentan dalam pengelolaan usaha ekonomi dan distribusi manfaat, 4) kelembagaan ekonomi desa masih diseragamkan dan belum sesuai dengan karakteristik lokal.
Pun demikian dengan kelembagaan ekonomi desa (BUMDES). Hingga saat ini sangat sedikit sekali yang sukses mengemban mandatnya. Justru sebaliknya, banyak Bumdes yang tidak berkembang bahkan mati. Bumdes tidak memiliki kapasitas manajerial dan tata kelola lembaga yang memadai serta rendahnya kemampuan dalam memberdayakan masyarakat desa. Dengan situasi ini maka keterlibatan dan distribusi manfaat bagi kelompok miskin dan rentan menjadi tidak ada sama sekali.
Di sisi lain, lembaga ekonomi, selain Bumdes, yang tumbuh dan berkembang di desa juga tidak mendapat tempat yang memadai dalam konteks pembangunan desa. lembaga ekonomi lokal non Bumdes tidak dapat berkembang, selain karena rendahnya kapasitas pengelolaan juga rendahnya dukungan desa. Alokasi dana desa sepenuhnya diarahkan ke Bumdes. Padahal bumdes sendiri kesulitan mengembangkan usaha dan layanannya karena rendahnya kapasitas. Lembaga ekonomi lokal belum dipandang sebagai kekuatan dan ruang bagi menguatnya partisipasi masyarakat.