web analytics

Menggagas Pengembangan Platform Beras Berkelanjutan

13
Aug

Bogor, 11 Agustus 2020 – Beras merupakan komoditas pangan pokok yang paling vital di Indonesia. Saking vitalnya, berbicara mengenai beras, tidak akan pernah lepas pula dari urusan politik, selain dimensi sosial, ekonomi, dan tentu saja urusan produksinya.

“Beras memang urusan politik. Apapun kebijakan yang menyangkut beras, yang muncul adalah dimensi politik, bukan ekonomi, ekologi, sosial budaya” kata Dewan Pakar Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) David Ardhian, dalam paparannya pada acara ‘Policy Brief Forum Beras Berkelanjutan’ di Bogor, Selasa (11/8).

Dalam konteks ini kata David, dominasi pemerintah terhadap isu beras masih tinggi. Kemudian arah kebijakan perberasan nasional pun belum beranjak dari isu peningkatan produksi untuk menjamin stok beras nasional. “Pola manajemen perberasan juga masih terpaku pada pengendalian produksi, harga, stok dan juga program peningkatan produksi dengan Bulog sebagai penyangganya, jika produksi kurang maka impor menjadi andalan,” papar David.

Dalam situasi seperti ini, petani termasuk juga buruh tani, sebagai salah satu stakeholder perberasan nasional, kemudian hanya menjadi obyek kebijakan pemerintah. Petani memang banyak diguyur oleh insentif berupa input pertanian seperti subsidi pupuk–yang seringnya juga tidak tepat sasaran–bantuan alat mesin pertanian, permodalan dan lain-lain. Tetapi di sisi lain, ketika panen, petani tidak mendapatkan harga panen yang fair.

Ketiadaan regulasi yang membatasi impor saat panen raya, membuat harga beras petani kerap jatuh. Ketika petani dihadapkan pada kondisi ekonomi yang tak berkeadilan, maka buruh tani juga akan terdampak. Dalam konteks ini, isu keberlanjutan kemudian menjadi isu yang sangat termarjinalkan. Semakin turunnya jumlah rumah tangga pertanian, regenerasi petani masih hanya menjadi isu yang digaungkan secara terbatas di kalangan masyarakat sipil dan belum menjadi isu utama oleh pemerintah.

“Padahal saat ini gagasan isu beras yang dikembangkan sudah melangkah ke isu sustainability,” tegas David.

Dan itu tidak hanya terbatas pada isu keberlanjutan rumah tangga pertanian, regenerasi petani, tetapi juga terkait isu lingkungan hidup.  Dalam isu beras berkelanjutan, isu keadilan juga menjadi penting. “Sustainability tanpa keadilan buat apa? Jika dilihat dari kue ekonomi, ketimpangannya seperti apa? Karenanya penting dibahas bagaimana isu beras untuk menuju ke sustainability,” papar David.

Melangkah pada isu beras berkelanjutan menjadi penting mengingat pola kebijakan pemerintah juga terbukti tak manjur dalam menjamin ketersediaan pangan di masa pandemi. Berbicara konteks ketahanan pangan, ujar dia, di masa pandemi Covid-19 ini menjadi sangat rentan ketika pemerintah terlalu mengandalkan impor pangan. Ketahanan pangan juga semakin rentan ketika dihadapkan pada masalah bencana ekologis dan perubahan iklim.

“Ketahanan pangan masih relatif rendah, terlebih Indonesia juga menghadapi kerentanan ekologis seperti bencana alam dan terjadinya perubahan tipologi agroekosistem karena alih fungsi lahan dan sebagainya, juga akibat perubahan iklim, dan terakhir pandemi,” papar David.

Karena itu menjadi tantangan bagi semua untuk mewujudkan platform beras berkelanjutan. “Tantangan fundamental yang dihadapi menuju ke arah itu, pertama beras menjadi sektor yang sangat luas alias mega sektor yang sarat kepentingan baik politik, kepentingan, eksistensi para pencari rente dan sebagainya” Kata David.

Belum lagi, saking luasnya sektor ini, menentukan stakeholder perberasan nasional juga bukan perkara mudah. Tantangan berikut adalah orientasi kebijakan dan program yang masih berfokus pada  produktivitas at all cost (intensifikasi dan ekstensifikasi). Berikutnya, subyek utama adalah petani skala kecil dan buruh tani yang saat ini mengalami kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Terakhir, isu ekologi atau keberlanjutan dalam sektor perberasan masih menjadi isu pinggiran dibandingkan isu utama ketahanan pangan.

Meski begitu David mengatakan, terdapat beberapa peluang untuk bisa mewujudkan platform multi pihak beras berkelanjutan. Pertama, meningkatnya awareness pasar dan konsumen untuk isu green product terutama pada kelas menengah-atas di perkotaan. Kedua, adanya efek skala. Karena skalanya yang besar, maka perubahan kecil dalam sektor perberasan memberikan dampak besar.

Ketiga, isu peubahan iklim dimana aspek konservasi dan pertanian menjadi tidak bisa dipisahkan, dan adanya kecenderungan integrasi antar isu, sektor dan aktor atau pendekatan landskap. Keempat, potensi gerakan sosial seperti gerakan pertanian organik, gerakan petani dan sebagainya. Kelima, masa pandemi menghadirkan masalah sekaligus peluang yaitu meningkatnya tuntutan produk beras sehat dan menyehatkan.

“Isu tata kelola yang mewadahi multi pihak bisa menjadi titik masuk untuk membangun platform multi pihak agar bisa mendorong isu-isu produksi beras berkelanjutan,” tegas David.

Menanggapi paparan ini, Maya Stolastika, petani organis yang juga merupakan Ketua Aliansi Organis Indonesia mengatakan, berbicara mengenai sustainibility, fakta adanya peningkatan produksi dan permintaan atas produk beras sehat atau produk organis bisa menjadi pintu masuk menuju terwujudnya platform beras berkelanjutan. “Peningkatan ini juga diikuti dengan kenaikan luasan lahan pertanian organik,” jelas Maya.

Peluang ini bisa dimanfaatkan untuk dikembangkan menjadi identitas pertanian dari hulu ke hilir. “Mulai dari petani, lingkungan pertanian, produk beras, semua dikaitkan dengan environtment,” jelas Maya.

Staff Advokasi Yayasan Bina Desa Lodji mengatakan, isu yang bisa menjadi tantangan dalam mewujudkan platform beras berkelanjutan saat ini adalah terkait pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja. “Tantangan tersendiri bagi beras berkelanjutan adalah cukup banyaknya pasal dalam RUU Ciptaker bagi sektor pertanian-pangan yang secara radikal cukup banyak melakukan perubahan atas pasal-pasal strategis dalam UU Pangan dan UU Pertanian Berkelanjutan.

“Secara garis besar perubahan-perubahan tersebut hendak menyetarakan pangan produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional dengan pangan hasil impor. Tentunya salah satu komoditasnya adalah beras,” jelasnya.

Cukup banyak masukan yang didapatkan dari para peserta dalam diskusi ini terkait bagaimana mewujudkan platform beras berkelanjutan. Fadil Kirom dari Jateng Berdikari misalnya, mengusulkan adanya advokasi dan penindakan yang tegas pada para spekulan beras. “Banyak permainan dari pengadaan pupuk sampai spekulan beras terjadi karena penegakan hukum yang nggak jalan,” tegasnya.

Kemudian juga usulan menggandeng anak-anak muda pengelola start up pertanian yang berupaya memangkas panjangnya rantai pasok perberasan nasional sebagai bagian dari stakeholder platform beras berkelanjutan. “Mereka anak-anak muda baru bekerja 2-3 tahun di isu pertanian tetapi punya peran penting dalam urusan perberasan, karena itu harus dimasukkan kajian terkait teknologi, start up pangan bisa menjadi kawan baru dalam membangun koalisi kedaulatan pangan,” kata Barid Hardiyanto dari LPPSLH.

Yang tak kalah penting adalah mengatasi isu ketersediaan lahan pertanian mulai dari persoalan alih fungsi, degradasi, hingga kerusakan lahan pertanian, regenerasi petani, hingga eksistensi rumah tangga tani. “Di Jawa Timur banak petani beralih ke komoditi seperti tebu, sengon, dan jenis kayu lain. Minimnya pendapatan petani padi ini juga menjadi alasan mereka alih komoditi. Perempuan petani dan buruh tani sudah berkurang banyak, mereka lebih memilih menjadi buruh industri dan menjadi Pekerja migran ke luar negeri. Ini juga persoalan yang dihadapi untuk kontek beras berkelanjutan,” kata Sutiah dari LPKP

Terlepas dari berbagai persoalan itu, Gunawan dari IHCS optimis platform beras berkelanjutan akan terwujud. Ada beberapa faktor pemungkin untuk terwujudnya hal itu. Pertama, peranan pemuda. Kedua, adanya kerangka peraturan yang terpadu. Ketiga, perencanaan yang matang dan kolaboratif. Keempat, pelembagaan forum multi pihak. Kelima, program prioritas multi pihak dan pemantauan multi pihak. “Belajar dari dasawarsa pertanian keluarga, negara juga merekognisi komite nasional pertanian keluarga . Kita juga ada pengalaman dewan ketahanan pangan, di mana bina desa dan komite nasional pertanian keluarga jadi anggota sekarang,” tegasnya.

Leave a Comment