web analytics

Langkah Menuju Resiliensi Petani yang Lebih Baik dengan Konsep Berkelanjutan

15
Feb

Pembicaraan nasib petani nampaknya belum menjumpai titik terang hingga sekarang. Bagaimana tidak, anomali tentang nasib petani masih saja terjadi, padahal perannya begitu besar dalam menjamin lumbung pangan bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi beras, khususnya di Pulau Jawa. Sebagai salah satu bagian dari “pekerjaan” atau “profesi”, nasib petani lebih sering dikaitkan dengan sisi ekonomi, disinggungkan dengan persoalan harga, nilai tukar, modal, subsidi, pendapatan, keuntungan, hingga kerugian. Pandangan ini tentu perlu diperluas kembali, mengingat resiliensi atau ketangguhan petani akan selalu dihadapkan dengan kerentanan-kerentanan yang kompleks sebagai oposisinya. 

Pertama, benar bahwa petani memang rentan secara ekonomi. Petani memiliki keterbatasan dalam mengakses sumber modal, legitimasi dan kekuatan yang lemah dalam menghadapi fluktuasi harga, serta sulitnya mencapai keuntungan karena lahan yang dimiliki tidak begitu luas. Kedua, kerentanan ini semakin bertambah seiring menuanya bumi, yakni dari segi lingkungan. Salah satu kajian KRKP pada tahun 2019 menjelaskan bahwa perubahan iklim telah secara nyata mempengaruhi kehidupan masyarakat, terutama masyarakat di pedesaan. Kementerian Lingkungan Hidup dalam laporannya pada tahun 2017 menyebutkan, dari total 82.190 desa yang ada di Indonesia, sebanyak 5,94% berada dalam kategori kerentanan tinggi, 72,34% masuk kategori kerentanan sedang, dan sisanya termasuk dalam kategori rendah atau sangat rendah. Dampak nyata perubahan iklim di tengah masyarakat desa, khususnya desa yang didominasi aktivitas bertani, yaitu munculnya ledakan hama penyakit, bencana hidrologi seperti halnya banjir atau kekeringan, dan perubahan musim. Tekanan lain yang turut menyumbang kerentanan petani yang berasal dari kegiatan yang disengaja oleh manusia adalah eksploitasi dan penghancuran ekosistem, penebangan hutan ilegal, serta pencemaran lingkungan. Ketiga, kerentanan muncul dari sisi sosial. Petani yang tinggal di pedesaan, terlebih jika daerah tersebut masuk ke dalam daerah terpencil, tentu memiliki akses yang terbatas terhadap informasi dan teknologi. Keterbatasan ini juga terjadi terhadap akses pasar yang adil dan transparan, yang membuat petani rentan terhadap praktik perdagangan yang merugikan. 

Berkaca pada kerentanan yang berpengaruh terhadap resiliensi petani di masa sekarang dan mendatang, diperlukan adanya transformasi secara menyeluruh dalam tata kelola dan praktik pertanian di Indonesia. Perubahan ini mengacu pada tingginya urgensi terhadap konsep berkelanjutan yang mengedepankan perbaikan nasib petani kecil, mengurangi dampak negatif kegiatan pertanian terhadap lingkungan, produksi yang tetap mampu memenuhi permintaan konsumen, stabilitas harga, serta perbaikan kualitas kesehatan masyarakat dari beras yang dikonsumsi sebagai makanan pokok sehari-hari. Saat ini, asosiasi yang telah menerbitkan baku mutu yang memungkinkan visi berkelanjutan tersebut di pertanian Indonesia adalah Sustainable Rice Platform (SRP). SRP telah dibentuk sejak tahun 2011, tercatat sebanyak 21 negara yang berpartisipasi dengan 150.000 lebih petani yang berkomitmen untuk mengadopsi standar SRP ke dalam praktik pertanian berkelanjutan yang dijalankan. Sayangnya, hingga saat ini, beras dengan sertifikasi atau klaim SRP belum mendapat perhatian atau dukungan khusus dari pemerintah di Indonesia. Padahal, peluang transisi ke arah produk beras berkelanjutan sangatlah besar, baik dari segi produsen maupun konsumen. Oleh karena itu, KRKP bersama dengan Preferred by Nature dan Rikolto Indonesia serta didukung oleh Civilsamfund I Udvikling (CISU) mulai menginisiasi proyek Beras Tangguh. Proyek ini mengupayakan penguatan kapasitas internal mitra lokal dan memberdayakan organisasi petani dengan advokasi ke arah praktik budi daya padi berkelanjutan. Harapan besar dari long term vision ini adalah produktivitas beras berkelanjutan yang meningkat dan keuntungan yang dihasilkan lebih tinggi melalui cara yang berkelanjutan–tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga mencakup advokasi terhadap praktik sosial dan lingkungan.

Standar SRP menjadi salah satu standar yang diedukasi ke sejumlah petani dan kelompok tani wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam proyek Beras Tangguh, termasuk juga kepada stakeholders yang berkaitan dengan kebijakan perberasan. Standar SRP sendiri merupakan standar pertama di dunia yang berfokus pada praktik budi daya berkelanjutan. Standar ini telah disusun dengan mempertimbangkan aspek inklusif, di mana praktik yang dicanangkan bersifat dapat diaplikasikan oleh petani kecil maupun petani padi skala besar. Selain itu, SRP juga memiliki fleksibilitas yang tinggi dengan tetap berpegang pada prinsip berkelanjutan, yaitu turut mempertimbangkan berbagai sistem lingkungan dan produksi. 

Klaim berkelanjutan tentu memerlukan bukti nyata, yang nantinya berdampak pada kepercayaan konsumen dalam menentukan keputusan pemilihan produk. Oleh karena itu, untuk menjamin kesesuaian antara klaim dengan praktik hingga produk yang diterima konsumen, integritas klaim turut diatur dalam skema audit internal. Standar turunan yang diterapkan dalam proses tersebut adalah Standar Chain of Custody (CoC) atau Standar Rantai Pengawasan SRP, yang sangat penting dilakukan untuk memastikan penerapan praktik berkelanjutan di seluruh rantai pasokan. CoC SRP menjadi pondasi penting dalam membangun kepercayaan seluruh aktor yang terlibat dalam membangun sistem beras berkelanjutan. Selain jaminan berkelanjutan di setiap langkah dan integritas yang dijaga melalui proses transparansi, CoC SRP juga mendukung lahirnya inovasi dalam memajukan praktik pertanian yang lebih efisien dan turut berkontribusi dalam upaya pembangunan berkelanjutan secara global.Tidak menutup kemungkinan, dalam penerapan CoC SRP ini, risiko munculnya tantangan akan selalu ada. Di Indonesia misalnya, praktik pertanian konvensional masih mendominasi dan belum semua petani sampai pada pemahaman terhadap pentingnya praktik pertanian berkelanjutan. Urgensi yang serupa juga perlu banyak disuarakan di kalangan masyarakat awam agar lebih berkesinambungan. Ditambah lagi, adanya keterbatasan sumber daya dan regenerasi yang rendah terhadap profesi petani khususnya di tingkat petani kecil, juga menjadi catatan tambahan bagi proyek Beras Tangguh dalam merumuskan langkah efektif ke depannya. Pre-kondisi perlu dipertimbangkan sebelum pengimplementasian yang lebih jauh, termasuk harmonisasi standar dengan pendekatan komunikasi yang terencana terhadap stakeholders terkait yang berperan dalam regulasi pangan atau perberasan di Indonesia. Dengan demikian, cita-cita pertanian berkelanjutan dapat tetap sejalan dengan kepentingan semua pihak yang terlibat.

Ditulish Oleh: ‘Athif Yumna H.