Kemarau panjang di berbagai wilayah Indonesia mengakibatkan menurunnya produksi dan ketersediaan pangan. Pemanasan global semakin nyata dampaknya seperti terlihat dari meningkatnya frekuensi kekeringan, panas ekstrem, banjir, dan angin topan. Perubahan iklim berdampak buruk terhadap ketahanan pangan dan gizi, mata pencaharian, dan kesejahteraan manusia, terutama masyarakat miskin dan rentan.
Pada saat yang sama, menurut FAO sistem pangan menyumbang 16,5 miliar ton (31%) emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2019 atau meningkat 17% dari tahun 1990. Sektor pertanian menyumbang 7,2 miliar ton (43,64%), perubahan penggunaan lahan 3,5 miliar ton (21,21%), dan proses rantai pasok 5,8 miliar ton (35,15%).
Perubahan iklim telah dan akan berdampak luas terhadap penghidupan dan keberlanjutan bidang ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan politik. Karenanya, tujuan untuk mengakhiri kelaparan akan sulit dicapai. Perubahan iklim akan terus mengganggu sistem pangan dengan frekuensi dan tingkat keparahan yang lebih besar, kecuali jika segera ada tindakan.
Transformasi Sistem Pangan
Sekjen PBB António Guterres memperingatkan bahwa “sistem pangan global telah rusak dan miliaran orang harus menanggung akibatnya“. Hampir sepertiga pangan hilang atau terbuang, namun 780 juta orang kelaparan. Ada 3 miliar orang tidak mendapatkan makanan sehat, 462 juta orang kekurangan berat badan. Sementara 2 miliar orang kelebihan berat badan atau obesitas.
Selain gagal menyediakan pangan sehat untuk semua, sistem pangan juga berkontribusi terhadap perubahan iklim, perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, dan polusi udara, air, dan tanah. Sistem pangan menggunakan sekitar 50% dari permukaan bumi dan 69% air tawar, juga menyebabkan hilangannya 80% keanekaragaman hayati.
Sistem pangan berkinerja buruk terkait keadilan sosial, hak asasi manusia dan kesetaraan. Sebagian besar penduduk dunia terlibat dalam produksi tanaman, ternak, agroforestri dan perikanan, juga pemasok input pertanian, pedagang, pengangkut, distributor, pengolahan atau pengemasan, grosir, pengecer, pedagang kaki lima, rumah makan, dan pengolah sampah makanan. Jutaan pelaku sistem pangan skala kecil tidak mendapatkan manfaat yang layak dan adil sehingga terperangkap dalam siklus kemiskinan dan kelaparan.
Pendekatan sistem pangan memberikan kerangka terintegrasi terhadap isu-isu ketahanan pangan dan gizi, pertanian, perubahan iklim, lingkungan hidup dan kemiskinan pedesaan. Pendekatan ini mengatasi keterbatasan pendekatan tradisional yang cenderung bersifat sektoral dengan fokus pada perbaikan teknis dan dalam ruang lingkup satu kementerian atau badan publik.
KTT Sistem Pangan 2021 menjadi momentum untuk menjadikan sistem pangan sebagai pendorong pemulihan dari pandemi dan mencapai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada 2030. Tujuan keseluruhan transformasi sistem pangan adalah untuk memastikan orang dapat mengonsumsi pangan sehat, menghasilkan pangan dalam batas-batas planet, dan mendapatkan penghidupan yang layak dalam sistem pangan.
Rantai nilai Pendek dan Pasar Pangan Rakyat
Sistem pangan lokal menyediakan lapangan kerja bagi jutaan petani kecil mengelola lahan-lahan yang sempit dengan teknologi dan pengetahuan yang beragam untuk menghasilkan aneka tanaman pangan. Para pengolah pangan memanfaatkan aneka pangan berbahan dasar produksi lokal dan resep warisan leluhurnya. Para pedagang pangan lokal telah menghubungkan hasil produsen pangan lokal kepada para konsumen yang menjadi pelanggan mereka.
Pendekatan rantai pasok pangan pendek (RP3) merupakan alternatif untuk mengatasi masalah akses pasar penghasil pangan skala kecil dengan menghubungkan mereka dengan konsumen. Rantai ini mendukung perekonomian lokal dan lapangan kerja di pedesaan, keberlanjutan usaha petani kecil dan menyediakan makanan segar dan bergizi. RP3 juga mengurangi jejak karbon, risiko kehilangan dan kerusakan pasca panen, transparansi, serta meningkatkan jaminan pasar dan harga bagi petani.
Baca Juga: Belajar dari Krasak: Sistem Pangan Desa sebagai Tonggak Kuatnya Negara
Pengembangan local food hub (LFH) atau pusat pangan rakyat (PPR) dilakukan untuk membantu petani dan pengolah pangan lokal. Hal ini untuk mengakses pasar dengan menghubungkan dengan konsumen di sekitarnya. PPR berperan mengumpulkan, menyortir – membersihkan, mengemas, memberi label dan mendistribusikan pangan kepada konsumen. Selain menjual pangan langsung kepada konsumen, PPR terutama melayani pedagang keliling dengan fasilitas yang memadai. Model PPR dapat digunakan untuk menata ulang dan mengembangkan pasar tradisonal. PPR bisa dikembangkan dan dimiliki oleh organisasi petani, pedagang keliling, konsumen, Badan Usaha Milik Desa atau Daerah, perorangan, kelompok pengusaha, atau gabungan dari beberapa pihak.
Para pedagang keliling membantu PPR untuk mendistribusikan aneka pangan secara langsung kepada konsumen di wilayah perdesaan dan perkotaan. Mereka biasanya menggunakan sepeda motor untuk berbelanja aneka pangan di pasar, kemudian menjual dari rumah ke rumah. Mereka membantu konsumen karena biaya transportasi dan waktu, serta memberikan harga yang terjangkau.
Pengembangan PPR yang sukses akan menguntungkan bagi semua anggota rantai pasokan, yaitu petani, pengolah pangan, distributor, dan konsumen. Mereka juga dapat menciptakan lapangan kerja di dalam dan di luar pertanian di pedesaan dan perkotaan, serta mendorong kaum muda untuk tetap tinggal di daerah pedesaan.
Gerakan Pangan Lokal untuk Percepatan transformasi
Perubahan sistemik diperlukan dengan menempatkan para pelaku rantai pangan skala kecil dari posisi marginal ke posisi sentral dalam sistem pangan. Hal ini sesuai dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 untuk mengurangi kesenjangan, yaitu “No One Left Behind”. Transisi sistem pangan perlu berfokus pada masyarakat miskin, rawan pangan atau kekurangan gizi, terutama perempuan dan masyarakat adat, serta petani kecil.
Para elaku rantai pangan skala kecil perlu didukung oleh kolaborasi luar biasa lintas sektor, dan lintas pemerintah, mitra pembangunan, sektor swasta, masyarakat sipil, dan komunitas ilmiah. Perubahan kebijakan dan investasi besar-besaran yang efektif memungkinkan para pelaku sistem pangan lokal lebih produktif, layak secara ekonomi, dan berkelanjutan secara lingkungan. Percepatan transformasi dilakukan melalui gerakan di tingkat lokal dalam skala kecil tetapi secara masif, tersebar berbagai wilayah dan serentak.
Ada banyak inisiatif gerakan sosial yang perubahan sistem pangan agar berbasis hak, lebih adil, dan berkelanjutan. Sebagian diantaranya, seperti pertanian organik, kedaulatan pangan, agroekologi, gerakan pangan lokal, konsumen sadar, perdagangan yang berkadilan dan sebagainya. Berbagai gerakan ini berpotensi menjadi kekuatan untuk mempercepat transformasi sistem pangan yang selama ini berjalan lambat.
Saatnya melakukan gerakan sistem pangan lokal dengan pendekatan teritorial, penguatan akses setara terhadap lahan, hutan, peternakan, perikanan, dan permodalan; menerapkan prinsip-prinsip agroekologi, membentuk organisasi produsen, investasi infrastruktur penyimpanan, pemrosesan dan distribusi pangan; sistem informasi dan pelatihan dengan teknologi digital, perlindungan sosial dan peningkatan kesadaran pangan sehat.
Pidato Bung Karno di Bogor tahun 1952 terasa sangat relevan untuk saat ini. “… kalau kita tidak aanpakken soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka. Secepat mungkin kita harus membangunkan kadar bangsa di atas lapangan makanan rakyat, laksana cendawan di musim hujan”.
Penulis: Witoro