web analytics

Budaya Gotong Royong Masyarakat Pedesaan Dan Kolaborasi Para Pihak Dalam Menghadapi Perubahan Iklim

07
May

Gotong royong kerapkali dicerminkan oleh masyarakat pedesaan, dimana orang berkumpul sambil bekerja bersama membersihkan lingkungan, membangun rumah panggung, atau mempersiapkan sebuah pesta rakyat. Kegiatan gotong royong di pedesaan kadangkala diawali dengan musyawarah, namun lebih sering hanya disampaikan melalui pengumuman di masjid atau tokoh masyarakat kepada anggota masyarakat lainnya. Pada waktu yang ditentukan, orang-orang akan berkumpul dengan membawa peralatan masing-masing untuk bekerja bersama mengikuti tujuan kegiatan tersebut.

Warga yang terlibat dalam kegiatan gotong royong biasanya sudah memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tugas-tugas tersebut bergantung pada kebiasaan, kemampuan, keahlian dan jenis peralatan yang mereka bawa saat bekerja bersama. Contohnya, orang yang mahir mencangkul akan mencangkul, orang dengan keahlian menganyam bambu, maka akan memilih pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya, serta bagi seseorang yang pandai bercerita, maka ia akan berkeliling dari satu kelompok kerja ke kelompok kerja lain untuk membangkitkan semangat kerja.

Setelah kegiatan gotong royong selesai, warga biasanya tetap berkumpul untuk mereflekskan hasil kerja mereka, dan bisa jadi mereka mengagumi pekerjaan yang telah mereka lakukan sambil saling bergurau satu sama lain. Gotong royong selalu disertai dengan kegembiraan, sehingga memberikan rasa kebersamaan dan solidaritas antar para pesertanya.

Jika menilik dari arti kata per katanya, istilah gotong royong berasal dari bahasa Jawa yang terdiri dari dua kata, yaitu gotong dan royong. Kata ‘gotong’ berarti ‘mengangkat’ atau ‘membawa bersama’, sedangkan ‘royong’ berarti ‘kerja sama’. Dengan demikian, jika diartikan secara harfiah, gotong royong berarti ‘membawa atau mengangkat bersama-sama’ atau ‘kerjasama dalam suatu tugas’. Gotong royong merupakan karakter khas masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan. Meskipun istilah gotong royong dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dengan sebutan yang berbeda-beda, seperti ‘mapalus’ di Sulawesi Utara, ‘paleo’ di Kalimantan Timur, ‘nyempolo’ di Kalimantan Selatan, dan ‘pawoda’ di Nusa Tenggara Timur, keseluruhan penyebutan tersebut memiliki pemaknaan yang sama.

Gotong royong berfungsi sebagai tempat untuk melestarikan kearifan dan pengetahuan lokal di tengah masyarakat pedesaan. Masyarakat desa mewarisi pengetahuan dan keterampilan dari nenek moyang mereka secara turun temurun, dan pengetahuan tersebut difungsikan untuk kemaslahatan bersama. Orang yang ahli dalam pengobatan tradisional akan membantu mereka yang membutuhkan. Sementara orang yang ahli dalam bidang pertukaran akan sukarela menjelaskan teknik-teknik kerja kepada yang membutuhkan. Bahkan orang yag ahli dalam pemuliaan padi akan membagikan pengetahuannya tentang metode-metode pemilihan benih padi yang berkualitas tinggi kepada warga lainnya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gotong royong adalah kekayaan asli masyarakat pedesaan di Indonesia yang berisikan kearifan, pengetahuan, dan keteramplan yang berakar pada budaya dan lingkungan setempat. Selain itu, gotong royong juga berfungsi sebagai wadah untuk memperkuat ikatan kekeluargaan, pendidikan antar generasi, dan berorientasi pada kepentingan bersama.

Lalu, bagaimana menempatkan gotong royong dalam mengatasi dampak perubahan iklim di pedesaan?

Perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia memberikan dampak luas tidak terkecuali pada lingkungan pedesaan di Indonesia. Dampak yang terjadi termasuk fenomena musim yang tidak menentu, banjir, kekeringan, longsor, gagal panen, penyebaran penyakit pada manusia, tanaman, dan ternak, serta rusaknya fasilitas umum dan pemukiman. Dampak tersebut juga berakibat pada hilangnya pekerjaan, pendapatan, putus sekolah, terjadinya gizi buruk, dan berbagai masalah sosial lainnya yang bisa memengaruhi kesejahteraan masyarakat.

Gotong royong menjadi karakter, kebiasaan, dan nilai yang tertanam dalam jiwa masyarakat. Sementara itu, masyarakat Indonesia menghadapi tantangan penting dalam mengatasi dampak perubahan iklim yang semakin meningkat. Pada umumnya gotong royong hanya dilakukan dalam jangka pendek dan terbatas untuk mengatasi masalah sehari-hari. Namun, saat ini gotong royong harus berhadapan dengan masalah yang lebih besar, meluas, dan berjangka panjang yang menuntut upaya bersama dalam melindungi lingkungan dan mencapai keberlanjutan hidup.

Gotong royong sebagai nilai, semangat, dan kebiasaan yang harus diimplementasikan secara efektif dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Gotong royong penting diterjemahkan dalam berbagai tindakan sistematis, seperti belajar bersama mengenai perubahan iklim, menelaah kerentanan yang ada pada masing-masing wilayah atau bentang alam tertentu, menggali pengetahuan lokal, dan merumuskan jenis keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dibutuhkan masyarakat untuk menghadapi perubahan iklim tersebut. Tindakan gotong royong juga harus dipersiapkan untuk berlangsung dalam waktu yang lebih lama dan melibatkan banyak generasi.

Sebagai contoh, gotong royong dalam menghadapi perubahan iklim di pedesaan dapat digambarkan dalam rangkaian kegiatan sebagai berikut:

  1. Pemerintah Desa dan tokoh masyarakat bermusyawarah untuk membangun kerjasama dengan pihak lain, seperti perguruan tinggi, BMKG, dan instansi terkait dalam mengatasi masalah perubahan iklim pada desa mereka, yang mencakup: (a) pendidikan tentang perubahan iklim bagi seluruh masyarakat desa, dan (b) pemetaan permasalahan, dampak dan kerentanan perubahan iklim yang ada pada desa bersangkutan.
  2. Menyelenggarakan kelas pendidikan tentang perubahan iklim agar seluruh masyarakat dewasa di desa memahami dampak perubahan iklim, dan mengevaluasi potensi pengetahuan, keterampilan, dan sarana prasarana yang dapat dilibatkan dalam tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pada kegiatan pendidikan, masyarakat diharapkan dapat mengembangkan rencana tindakan kolektif dan melibatkan seluruh lembaga masyarakat di desa.

Melalui contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa gotong royong dalam menghadapi perubahan iklim harus didasarkan pada pengetahuan yang memadai dan kesadaran kolektif, dan dilakukan melalui tindakan adaptasi dan mitigasi yang sesuai dengan dampak dan kerentanan masyarakat di desa. Tindakan gotong royong dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di setiap desa akan berbeda sesuai dengan perbedaan dampak dan kerentanan yang dialami oleh masyarakat di desa tersebut. Walau begitu, perbedaan tindakan yang dilakukan di setiap desa dapat ditopang oleh pengetahuan dan kesadaran yang sama mengenai perubahan iklim dan dampaknya terhadap kehidupan. Tidak lupa pula, bahwa kegiatan gotong royong dalam upaya adaptasi dan mtigasi perubahan iklim harus melibatkan seluruh lembaga masyarakat yang ada di desa.

Implementasi nilai gotong royong masyarakat pedesaan  dalam tindakan adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim

Tindakan adaptasi dan mitigasi dampak terhadap perubahan iklim dengan semangat dan nilai gotong royong telah ditunjukkan oleh sebagian besar masyarakat pedesaan, seperti yang dilakukan di Desa Salassae dan di Kabupaten Bantaeng. Salassae sebuah desa di Kab. Bulukumba, Sulawesi Selatan yang sejak 10 tahun terakhir telah berupaya memperkuat tradisi gotong royong dalam membangun desanya, termasuk dalam menghadapi tantangan dampak perubahan iklim. Pemerintah desa melalui program Gerobak Mas (Gerakan Pangan Sehat dan Obat Keluarga Mandiri Salassae) telah menghidupkan semangat gotong royong masyarakat dalam menyikapi perubahan iklim dengan memanfaatkan lahan pekarangan dan kebun keluarga sebagai basis adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Melalui program ini, pemerintah desa dan warga telah melakukan serangkaian diskusi dan kegiatan bersama untuk meningkatkan kemandirian pangan warga desa. Di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, sekelompok anak muda mendirikan sebuah organisasi petani yang mereka namakan sebagai “Serikat Petani Alami Butta Toa”.Pertemuan berkala di dalam organisasi ini disebut berunding, istilah yang diangkat dari kebiasaan masyarakat melakukan musyawarah atau perundingan. Hasil berunding tersebut, mereka susun dalam agenda jangka panjang untuk mengembangkan pertanian alami terutama padi di daerahnya. Hingga saat ini, sejak organisasi tersebut didirikan pada tahun 2014, mereka telah memfasilitasi pendidikan pertanian alami di 67 desa dan telah mengembangkan pertanian alami di 18 desa di Kabupaten Bantaeng.

Program Gerobak Mas yang dilakukan oleh pemerintah desa Salassae dan program pertanian alami oleh organisasi tani di Kab. Bantaeng, bertujuan untuk menjawab masalah terkini terkait dampak prubahan iklim. Selain itu, program ini juga bertujuan untuk memperkuat kemandirian masyarakat dengan menerapkan nilai gotong royong dan musyawarah yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat.

Implementasi lainnya datang dari pulau Jawa, sebagai basis dari sentra utama penghasil beras terbesar di Indonesia. Budaya gotong royong melekat erat pada masyarakat pedesaan Jawa, terlebih dalam upayanya menghasilkan pangan pokok beras bagi jutaan penduduk Indonesia. Namun, di sisi lain proses menghasilkan beras hingga sampai ke tangan konsumen, nyatanya berperan besar terhadap peningkatan emisi karbon, penyebab perubahan iklim. Dalam kaitannya terhadap kontribusi sektor pertanian beras terhadap peningkatan emisi karbon, nilai – nilai gotong royong dituangkan dalam agenda besar guna mengatasi dampak perubahan iklim. Hal ini tercermin dari agenda besar lembaga internasional melalui project Switch Asia – Uni Eropa yang mendukung implementasi dan kerja-kerja yang memberi dampak terhadap sektor pertanian beras yang lebih baik. Agenda besar ini tentunya sarat akan nilai-nilai gotong royong, sebab dibutuhkan banya pihak yang terlibat guna mencapai tujuan bersama. Tidak hanya pelibatan masyarakat desa, seperti petani, penggilingan padi, pemerintah desa, tetapi juga kolaborasi yang melibatkan pemerintah daerah, private sector, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan sekor keuangan.

Project Switch Asia-Uni Eropa melalui program “low carbon rice” bertujuan untuk mengurangi dampak iklim dari produksi beras di Indonesia, khususnya di lima lokasi projek, yaitu Kab. Klaten, Kab. Boyolali, Kab. Sragen, Kab. Ngawi, dan Kab. Madiun. Guna mencapai tujuannya, serangkaian kegiatan difasilitasi, seperti (i) fasilitasi dialog kebijakan guna mendukung terciptanya kondisi pemungkin dan kebijakan pendukung produksi beras berkelanjutan; (ii) fasilitasi multipihak guna terciptaya model tata kelola sektor beras berkelanjutan yang lebih iklusif; (iii) fasilitasi keterlibatan sektor swasta guna meraih peluang akses pasar beras berkelanjutan yang lebih luas, dan (iv) fasilitasi bantuan teknis dan model bisnis baru guna meningkatkan akses peluang pembiayaan bagi produsen beras.

Dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini, baik di wilayah pedesaan Jawa maupun luar jawa, sangat dirasakan oleh sektor pertanian. Namun, dengan menerapkan nilai-nilai gotong royong disertai musyawarah atau dialog, masyarakat desa dan para pihak dapat bersama-sama mencari solusi dan mengurangi dampak dari perubahan iklim tersebut. Berdasarkan ulasan atas implementasi yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan dan para pihak, maka dapat disimpulkan, bahwa upaya yang bisa dilakukan dalam menyikapi dampak perubahan iklim bagi sektor pertanian di pedesaan, antara lain, melalui kolaborasi dengan berbagai pihak untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengenai cara bertani yang ramah lingkungan, memperkuat jaringan sosial antar petani, serta melakukan kajian untuk memahami pola cuaca dan fenomena alam yang terjadi di daerah pedesaan. Dengan begitu, maka dapat membantu dalam penyusunan rangkaian agenda pertanian. Seluruh upaya yang dijalankan dengan memegang teguh prinsip gotong royong dan musyawarah, dimana semua masyarakat dan para pihak saling bekerjasama mencapai tujuan bersama dengan tanggung jawab bersama pula atas lingkungan di sekitarnya.

Penulis: Dara