web analytics

Ancaman Rawan Pangan di Tengah Pandemi Covid-19

10
Apr

Ancaman Rawan Pangan di Tengah Pandemi Covid-19

Foto illustrasi sepiring pangan dan masker (Said Abdullah)

Bogor, 10 April 2020 – Pandemi Covid-19 tidak hanya berpengaruh pada kondisi sosial, ekonomi dan budaya semata, tetapi juga berpengaruh hingga ke kedaulatan pangan. Kerawanan pangan menjadi ancaman yang paling nyata. Sebab, ada kemungkinan pandemi Covid-19 bisa menyebar ke desa-desa karena ada perpindahan orang dari zona merah Covid-19 di kota-kota, menuju ke desa. Dengan minimnya ketersediaan infrastruktur di desa, maka Covid-19 dapat mengancam para petani yang menjadi produsen pangan terbesar.

Ancaman kerawanan pangan bahkan sudah terjadi di beberapa wilayah. Lily Batara dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mengungkapkan, di wilayah Depok, telah terjadi ancaman kerawanan pangan khususnya terhadap para pekerja di sektor informal. “Minggu lalu kami menemukan tiga rumah tangga mengalami perubahan pola konsumsi dan penurunan kualitas pangan di kalangan pekerja informal, akibat penurunan income secara drastis,” ujar Lily, pada diskusi secara daring Obrolin Pangan#9 bertajuk “Ancaman Kelaparan di Tengah Pandemi,” Kamis (9/4).

Salah satunya adalah seorang buruh cuci bernama Ibu Watiah. “Sejak 3 minggu lalu tidak ada panggilan sehingga pendapatan turun, sampai akhirnya terjadi perubahan pola makan dari nasi menjadi singkong itupun hanya satu kali sehari,” ungkap Lily.

Para pengurus RT tempat Ibu Watiah tinggal, telah melakukan tindakan mitigatif. “Akhirnya pekerja informal seperti Ibu Watiah mulai ada penghasilan dari kegiatan-kegiatan mitigatif tersebut. Saat ini adalah saat dimana kita melakukan solidaritas bersama agar bisa keluar dari ancaman wabah ini,” jelas Lily.

Roni Budi Sulistyo, Koordinator Bincang Pengembangan Kapasitas dan Kaderisasi PMD Ditjen PPMD Kemendesa PDTT mengatakan, pihak Kemendesa PDTT dalam mengantisipasi ancaman Covid-19 di desa-desa, telah mengeluarkan surat edaran (SE) pada akhri Maret lalu, yang berisi penegasan terkait pembentukan relawan Covid-19 di desa-desa yang diketuai oleh kepala desa. “Prosesnya dimulai dengan sosialisasi, pemahaman sikap yang harus dilakukan masyarakat untuk menanggulangi, misalnya penyemprotan disinfektan dan karantina warga yang datang dari kota atau luar negeri,” jelas Roni.

Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan ekonomi warga terdampak, kata Roni, dalam SE tersebut juga dijelaskan terkait penggunaan dana desa untuk program padat karya tunai untuk mendukung ekonomi desa. “Sasarannya adalah masyarakat desa yang rentan dalam pelibatan pencegahan di level desa seperti untuk produksi masker, disinfektan, dan lainnya,” jelas Roni.

Sumber pendanaan utama program padat karya tunai ini adalah dana desa, sesuai Permendes 16 Tahun 2018 yang secara nasional dianggarkan sebesar Rp72 triliun. “Harapannya dana desa dapat dimanfaatkan untuk upaya penanggulangan Covid-19. Dana desa diarahkan ke ketahanan pangan, ketahanan masyarakat, dan bencana menjadi konsen dana desa. Saat itu (September) masih terbayang konsen hanya di bencana umum dan bencana alam,” ujar Roni.

Dia menjelaskan, untuk saat ini, diharapkan pada skala lokal desa, dampak Covid-19, khususnya terkait produksi pangan, dapat diintervensi dengan dana desa. “Prosesnya, dana ini ada di skala kebijakan nasional yang pilihannya bisa dilakukan di musyawarah desa,” jelas Roni.

Lantas bagaimana dengan penanganan pasca pandemi? “Kebijakan akan menyesuaikan situasi yang ada. Kementrian sosial, menkes, sudah merencanakan, penanganan pasca Covid-19. Bantuan tunai akan menjadi upaya ketahanan ekonomi. Kebijakan masih digodog,” ujar Roni.

Namun saat ini, kata dia, 80 persen dana desa masih mengarah ke pembangunan infrastruktur. “Harapannya bisa membuat recovery pasca Covid-19. Selain pangan, koordinasi antar sektor juga dilakukan untuk mendesain kebijakan untuk recovery termasuk untuk sektor wisata. Dirjen PPMD, secara nasional kebijakannya masih ditekan (nihil kunjungan wisata untuk mencegah penyebaran-red). Desain pengembangan pariwisata akan dilakukan kembali pasca Covid,” pungkasnya.

Belajar Membangun Ketahanan Pangan Dari Luwu Utara

Luwu Utara, adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang berhasil masuk ke dalam kategori sebagai kabupaten tahan pangan berdasarkan riset Badan Ketahanan Pangan tahun 2018. Terkait ancaman kerawanan pangan di tengah pandemi Covid-19, Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani mengatakan, hingga saat ini, belum terlihat. “Data dari BPS, Lutra belum ada dampak Covid-19, terkait cadangan pangannya,” ujar Indah.

Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani dalam diskusi daring obrolin pangan 9 KRKP

Indah mengatakan, cadangan pangan di Luwu Utara diproyeksikan mencukupi hingga bulan Oktober mendatang. Di Luwu Utara sendiri terdapat 28,4 ribu hektare sawah dengan produksi mencapai 47 ribu ton gabah kering giling (GKG). “Cadangan akan tetap surplus 56 ribu ton hingga Oktober,” jelasnya.

Hambatan produksi memang sempat terjadi yaitu akibat derasnya curah hujan, terdapat 500 hektare areal yang terkena banjir. “Kami cukup beruntung karena yang terendam bukan di daerah produksi tinggi. Sehingga kami akan melakukan subsisdi silang, daerah yang tidak berproduksi pangan akan disokong dengan produksi dari daerah produsen. Kami turun langsung memantau hingga kecamatan,” ujarnya.

Indah mengatakan untuk menjamin keberlangsungan produksi di tengah pembatasan sosial dan fisik untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, pertanian di Luwu Utara yang mengusung mekanisasi pertanian tetap bisa berjalan. “Mekanisasi pertanian membantu petani untuk tetap prosuksi karena mengurangi pengumulan orang. Sehingga percepatan penyaluran alsintan (alat mesin pertanian) kami lakukan. Tentu saja dengan protokol keselamatan yang baik,” jelas Indah.

Yang menarik, kata Indah, di pedalaman, masyarakat sangat protektif terhadap wilayahnya. Ada yang menutup lalu lintas orang dan lalu lintas barang. “Ada ungkapan dari orang tua ‘lebih baik kami mati berdarah daripada mati kelaparan’. Ini menjadi motivasi kebijakan Lutra untuk tindak menjual bahan pangan di masa pandemi,” tegasnya.

Terkait cadangan pangan, ujar Indah, Lutra juga memiliki kebijakan khusus yaitu dengan berkoordinasi dengan agar beras di Lutra tidak dijual sebelum kebutuhan di Lutra terpenuhi. “Kami ada program DUPOLI (dua Polybag) setiap rumah. Ada cabe dan terong karena mereka dapat panen sepanjang tahun,” ujar Indah.

“Penyuluh pertanian tetap diminta untuk mendampingi kawan yang di lapangan. Tetapi tetap kami lindungi kawan penyuluh walaupun tidak bekerja di rumah,” tambahnya.

Terkait adanya ketakutan petani melakukan panen, seperti yang diutarakan Ngabdul, petani asal Bojonegoro, Indah mengatakan, kasus di Luwu Utara berbeda dengan Bojonegoro. Di Luwu Utara, kata Indah, petani meminta izin agar bisa melakukan aktivitas di sawah.

“Kondisi panen disikapi untuk mendorong produksi melalui percepatan saluran mekanisasi. Selain itu diversifikasi pangan didorong. Lutra punya sagu sebagai cadangan makanan hingga 1 tahun kedepan. Mendorong juga masyarakat untuk menanam umbi jagung dan lain lain untuk kecukupan gizi,” ujarnya.

Secara umum, kata Indah, langkah taktis yang dilakukan di Lutra adalah memberlakukan pembatasan di daerah remote. “Mereka berpikir jika di kota tidak produktif lebih baik kembali ke desa. Lockdown di desa dilakukan di daerah pegunungan untuk melindungi masyarakat dari wabah,” pungkasnya.

Said Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan mengatakan, kebijakan pangan di Luwu Utara di tengah pandemi Covid-19 sangat menarik untuk dpelajari dan ditiru wilayah lain. “Karena yang dipikirkan bukan soal ketersediaan, tapi soal akses juga. Dalam masa krisis, tidak ada pilihan kecuali memproduksi pangan sebanyak-banyaknya,” jelas Said.

Hal ini menjadi penting mengingat, Pada wilayah perkotaan justru ada ancaman kerawanan pangan. “Hari ini misalnya, masyarakat ada yang punya uang, tapi tidak ada barang. Di desa diperkuat, tapi dikota ada yang perlu dilakukan,” tegasnya.