web analytics

SL Biointensive di Flotim: Budidaya Padi Rendah Input dari Luar, Menurunkan Ketergantungan Petani terhadap Pupuk Kimia.

29
Feb
Petani tengah mempraktekan teknis penyemprotan hara mikro pada daun padi

Beberapa tahun terakhir, Pemerintah melakukan pencetakan sawah besar-besaran di daerah-daerah Indonesia yang dianggap memiliki potensi untuk memproduksi padi. Upaya ini bagian dari bagaimana pemerintah dapat memenuhi pangannya. Peningkatan jumlah penduduk tidak memungkiri kebutuhan akan pangan di dalam negeri semakin meningkat. Sedangkan alih fungsi lahan masih massif berjalan bahkan di sentra-sentra produksi padi di pulau jawa. Pada laporan yang diterbitkan Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa konversi sawah tersebut mencapai 100.000 hektar per tahun.

Melihat situasi tersebut, pemerintah melakukan ekstensifikasi pertanian untuk mencegah terjadinya penurunan produksi hasil pertanian dan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Meski dalam proses mencetak sawah baru bukanlah suatu hal yang mudah untuk ditempuh. Satu wilayah yang menjadi pengembangan cetak sawah adalah Flores timur, salah satunya adalah di desa Hewa. Pada tahun 2016 di Desa ini dibangun seluas 200an ha sawah. Dari 200an ha tersebut, saat ini yang telah ditanami semai padi oleh petani adalah seluas 50 Ha. Sedangkan sisanya kini menjadi semak belukar yang didominasi oleh tanaman rawa, Tifa.

Rendahnya minat warga Desa Hewa untuk melakukan budidaya padi sawah bukan tanpa alasan. Alasan mendasar adalah bahwa budidaya padi sawah adalah hal baru, dimana sebelumnya mereka menanam padi di ladang (padi gogo). Menurut tuturan salah satu warga desa hewa, Gabriel, bahwa penanaman padi ladang itu mudah. Membuka ladang dari belukar, lalu disebar benih padi. Sekitar 120 hari berikutnya datang kembali ke ladang untuk melakukan panen. Budidaya ini jauh berbeda dengan padi sawah yang hampir harus setiap hari dijenguk. Harus intensif. Selain itu, rendahnya minat warga berbudidaya padi sawah adalah susahnya mendapatkan input pertaniannya yang padat. Yaitu pupuk dan pestisida. Pupuk bersubsidi di desa hewa ini sudah didapatkan. Untuk memperoleh harus ke Larantuka yang membutuhkan waktu tempuh 3 sampai dengan 4 jam. Itupun pupuk bersubsidi belum tentu selalu ada di pengecer yang ada di Larantuka. Petani yang melakukan budidaya sawah di desa ini sebagian besar menggunakan pupuk bukan subsidi dimana harganya bisa mencapai Rp. 4.500 per kg, sangat mahal.

Di desa ini, Desa Hewa, pemenuhan pangan bukan tanpa persoalan. Bahkan bukan hanya 1 desa ini, bahkan 10 desa disekitarnya juga serupa persoalannya dalam hal pemenuhan pangan warganya. Mereka harus mendatangkan beras dari luar kecamatan bahkan dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan untuk makan. Sejak dulu warga desa ini memang mengkonsumsi beras, namun sawah ladang tidak cukup untuk memberi makan anggota keluarga mereka sepanjang tahun, sehingga strategi mendatangkan beras dari luar harus dilakukan.

Persiapan bedeng untuk menyemai benih yang telah diintroduksi PGPR

Melihat situasi tersebut, Ayu Tani melakukan pendampingan di desa ini untuk mendorong optimasilisasi sawah di desa agar dapat mengurangi ketergantungan mendapatkan sumber bahan pangan dari luar, serta sebagai langkah pemenuhan ha katas pangan baik sevara khusus di petani dan warga secara umum. Dalam pendampingan ini, Ayu Tani bersama KRKP dan didukung oleh OXFAM indonesia menggunakan 3 strategi pendekatan, yaitu melakukan (1) pendampingan teknis langsung ke petani untuk melakukan budidaya padi sawah yang rendah input dari luar, (2) mendorong pemerintah desa untuk menyediakan input pertanian padi yang ramah alam dan (3) menggandeng pihak swasta yaitu produsen pupuk hayati untuk bersedia mendukung pertanian padi di desa yang berada di kaki gunung Lewotobi ini.

Pendampingan teknis budidaya biointensive padi dilakukan untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap input luar seperti pupuk kimia dan pestisida sintetis. Pendampingan teknis ini dilakukan dengan pendekatan sekolah lapang biointensive (SL Bio-Intensive). SL ini dimulai dengan tidak megneluarkan limbah pertanian, yaitu jerami. Jerami sisa dari musim sebelumnya dikembalikan ke sawah. Menurut Napiudin dari PT WISH Indonesia (PT ini merupakan actor swasta yang digandeng Ayu Tani untuk pendampingan), Pengembalian jerami ini bisa menyediakan hara makro dan Kalium 1/3 dari yang dibutuhkan oleh tanaman padi, sehingga kebutuhan pupuk bisa ditekan dengan penerapan ini. Detail nutrisi yang kembali ke sawah per hektar saat dilakukan pengembalian jerami adalah setara dengan 170 Kg UREA, 72 Kg SP36 dan 406 Kg KCL.

Didin (Wish Indonesia) memberikan materi teknis SL Biointensive

Selain pengembalian jerami ke sawah, langkah teknis lainnya adalah dengan menggunakan pupuk hayati untuk benar-benar mengaktifasi nutrisi yang ada di dalam tanah dapat diserap oleh tanaman padi. Pupuk hayati yang digunakan dalam praktik ini didukung oleh PT WISH Indonesia. Selain pupuk hayati, petani juga belajar dalam mengetahui agroekosistem sawahnya. Pengetahuan ini akan sangat bermanfaat bagi petani untuk melakukan pengendalian hama secara terpadu. Dalam pengendalian ini, petani diajak untuk tidak menggunakan pestisida/herbisida sintetis atau racun yang justru dapat memusnahkan biota-biota yang ada dalam agroekosistem sawah. Penggunaan racun tidak hanya mematikan hama, tapi juga musuh hama yang sebenarnya adalah teman bagi petani dalam memerangi hama.

Dalam SL ini, Ayu Tani melibatkan secara aktif para PPL baik yang ada di desa hewa maupun dari desa-desa sekitarnya. Bagi PPL ini merupakan pendekatan yang baru dan bisa jadi opsi bagi desa Hewa dan sekitarnya untuk melakukan budidaya padi yang ramah lingkungan dan tidak tergantung dengan input dari luar. Sedangkan pemerintah Desa Hewa sendiri akan terus terlibat aktif dalam pendampingan teknis ini dan akan menyiapkan skema bisnis melalui BUMDes untuk memberi pelayanan petani dalam menyediakan  pupuk hayati. (hp)