BOGOR (17 Februari 2020) –Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM) IPB University bersama Tani Center LPPM IPB dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menggelar diskusi untuk membahas perdagangan komoditas pertanian internasional di ruang Dekanat FEM IPB Darmaga, Senin (17/2). Diskusi yang menghadirkan para pihak terkait ini diharapkan bisa memberikan masukan kepada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Maruf Amin bagaimana menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional dengan mendorong penguatan pemberdayaan yang berpihak pada petani.
Dekan FEM IPB University, Prof. Nunung Nuryantono, mengatakan kegiatan ini digagas untuk melihat dampak dari perdagangan yang saat ini sedang gencar dilakukan oleh pemerintah. Ia menyatakan perdagangan internasional bagi produk pertanian sudah menjadi keniscayaan yang tidak bisa lagi ditampik.
“Pertanyaannya secara fair, apakah semua pihak yang terlibat bisa mendapatkan benefit? Harapan kami, dengan digelarnya diskusi ini kita bisa melihat seperti apa dan bagaimana manfaat perdagangan itu bisa dinikmati oleh semua pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya petani,” ujarnya.
Sejauh ini tercatat pemerintahan Jokowi-Maruf Amin sedang giat menggenjot investasi dan perdagangan internasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tumbuh 5,3 persen dengan Gross National Income (GNI) sebesar US$ 4.320 per kapita. Dengan adanya target tersebut maka kebijakan impor dan ekspor menjadi hal taktis yang diambil oleh pemerintah.
Terkait hal tersebut, Kepala Tani Centre LPPM IPB sekaligus penyelenggara FGD, Dr Hermanu Triwidodo, menginginkan adanya keberpihakan pemerintah dalam melindungi petani. Ia melihat adanya kebijakan kouta impor telah melahirkan celah yang dapat merugikan negara maupun petani. Ia pun menyinggung kebijakan apa yang harus diambil pemerintah di saat Cina yang menjadi importir terbesar di Indonesia tengah dilanda wabah virus Corona yang mematikan.
“Melalui diskusi ini kita ingin mendorong pemerintah untuk melihat kembali sejauh mana urgensi kebijakan impor sejumlah komoditas pertanian serta bagaimana mendorong penguatan agar terciptanya pertani-petani Indonesia yang lebih berdaulat, dan penting juga untuk menentukan tipologi komoditas pertanian meliputi (i) komoditas yang tidak diproduksi di dalam negeri, (ii) komoditas yang diproduksi namun kurang kompetitif dan (iii) komoditas yang diproduksi dan surplus untuk ekspor. Pengelompokkan berdasarkan tipologi ini sebagai titik pijak untuk mengatur struktur kebijakan ekspor-impor komoditas pertanian atau pangan” katanya.
Hal senada disampaikan juga oleh Said Abdullah dari KRKP. Ia menilai untuk bersaing di kancah internasional menjadi hal yang tidak bisa dihindari di era persaingan terbuka seperti sekarang. Namun pertanyaannya, kata dia, model perdagangan seperti apa yang harus dilakukan agar bisa melindungi kedaulatan petani dan negara. Berdasarkan kajian KRKP dan IPB untuk bawang putih, lemahnya tata kelola impor pangan menyebabkan potensi biaya transaksi yang sangat besar, sampai dengan 2,9 T. kebocoran ini tentunya terbebankan pada konsumen bawang putih.
“Melalui diskusi ini kita berharap ada rekomendasi yang tersusun dan dapat disampaikan kepada pemerintah sehingga lahir kebijakan dan program yang propertumbuhan tanpa harus meninggalkan petani” kata dia.
Acara diskusi terfokus bertema “Bagaimana Nasib Petani, Saat Ekspor-Impor Pertanian Meningkat?” ini dihadiri unsur pemerintah, legislatif, pengusaha, petani, akademisi, dan masyarakat sipil. Saudara Faisal dari Litbang KPK juga menyatakan bahwa tata kelola perdagangan Pangan harus ditata untuk menghindari resiko rent seeker yang melibatkan aparat pemerintah.