Dengan tipe piramida penduduk ekspansif, maraknya pernikahan anak usia dini, serta pendidikan seksual yang kurang karena masih dianggap tabu oleh budaya ketimuran yang penuh dengan sopan santun dan sanksi sosial ketat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memperkirakan pada tahun 2050, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 337,99 juta orang. Jumlah yang tidak sedikit untuk kita bisa memastikan bahwa pemerintah dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduk Indonesia di masa yang akan datang.”
Sementara itu, upaya peningkatan produksi melalui food estate dan wacana penguatan diversifikasi pangan oleh pemerintah seperti stagnan saja karena berbagai masalah kompleks. Antara lain, tingkat kesuburan tanah, cuaca ekstrem, dan ketidakberpihakan kebijakan kepada para petani.
Selain masalah jumlah penduduk, alih fungsi lahan, dan degradasi lahan seperti disebutkan Westri yang semakin dilematis, banyak tantangan lain yang berpengaruh kondisi pangan Indonesia, seperti climate change dan food waste. Mark Smulders dari Food and Agricultural Organization (FAO) pada tahun 2016 mengatakan, di Indonesia sampah makanan mencapai 13 juta ton setiap tahunnya. Sampah makanan ini kebanyakan dari ritel, katering, dan restoran. Perilaku masyarakat yang sering tidak menghabiskan makanan juga berkontribusi terhadap besarnya jumlah sampah makanan di Indonesia.
Sebanyak 13 juta ton sampah makanan per tahun di Indonesia tersebut jika dikelola dengan baik bisa menghidupi lebih dari 28 juta orang. Jumlah yang sangat fantastis bisa kita capai apabila awareness masyarakat tentang food waste dapat ditingkatkan. Namun, pemerintah sepertinya belum berinisiasi untuk menghidupkan gerakan masyarakat. Apabila terbentuk, gerakan ini dapat dinamakan “gerakan makan cukup”, “gerakan habiskan makananmu”, atau nama lain yang menarik agar meningkatkan kesadaran masyarakat tentang food waste.
Berbagai macam tantangan yang telah dilalui bangsa ini dari masa ke masa seharusnya membuat Indonesia semakin kuat dan berdaulat dalam bidang pangan, bukan malah sebaliknya. Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, kedaulatan pangan berarti hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal, menjadi salah satu kunci untuk menghadapi tantangan di masa yang akan datang.
Menurut KRKP, kedaulatan pangan adalah hak setiap orang, kelompok masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol berbagai sumberdaya produktif serta dalam menentukan kebijakan produksi, distribusi, dan konsumsi pangannya sesuai dengan kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya khas masing-masing. Meskipun tidaklah mudah, pemulihan ekosistem dan diversifikasi pangan juga menjadi poin penting untuk terhidupinya daulat pangan yang baik.
Untuk menjawab tantangan yang ada, saat ini pemerintah coba menggencarkan diversifikasi pangan di Indonesia, mulai dari jagung, sorgum, sagu, bahkan gandum yang tidak identik dengan pangan lokal negeri ini. Perlu diketahui, sorgum adalah tanaman serbaguna yang dapat digunakan untuk sumber pangan, pakan ternak, dan bahan baku industri.
Sebagai bahan pangan, sorgum berada pada urutan ke-5 setelah gandum, jagung, padi, dan jelai. Sorgum merupakan makanan pokok penting di Asia Selatan dan Afrika sub-sahara. Sorgum juga mengandung serat tidak larut air atau serat kasar dan serat pangan, masing-masing sebesar 6,5 – 7,9 persen dan 1,1 – 1,23 persen. Kandungan protein pun hampir serupa dengan jagung, sebesar 10,11 persen sedangkan jagung 11,02 persen.
Usaha diversifikasi pangan ini dilakukan untuk menindaklanjuti prediksi FAO, yang menyebutkan bahwa dunia akan mengalami krisis pangan di masa yang akan datang.
Sementara itu, terkait dengan kondisi perberasan, Indonesia sebelumnya digadang-gadang memiliki ketersediaan pangan yang memadai hingga akhir tahun 2024, ditambah lagi adanya wacana dari pemerintah bahwa Indonesia akan segera melakukan ekspor beras. Wacana yang terdengar baik dan ambisius itu tak dimungkiri bertranformasi ke mindset pemerintah yang seperti selalu ingin mengejar kuantitas produksi dari lahan pertanian sawah. Salah satunya dengan mendorong penggunaan input kimia yang cenderung berlebih, seperti yang terjadi di masa Revolusi Hijau.
Namun kenyataannya, Indonesia harus kembali mengimpor beras, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor beras pada Maret 2023 mencapai US$ 28,87 juta, meningkat 731,96 persen dibandingkan pada 2022 yang sebesar US$ 3,47 juta. Sementara di bulan Januari-Maret 2023 nilai impor beras mencapai US$ 255,96 juta atau naik 1.126,14 persen dari catatan pada periode yang sama pada tahun sebelumnya yang bernilai US$ 20,87 juta, nilai yang mengejutkan untuk urusan impor di negeri dengan fitrah agraris.
Peningkatan produksi memang perlu adanya, tapi juga harus memikirkan keberlangsungan ekosistem di masa yang akan datang. Menjadi penting upaya dari seluruh pihak untuk mendorong ekosistem pertanian ke arah yang lebih berkelanjutan, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Bukan hanya untuk kepentingan masyarakat yang saat ini berpijak di muka bumi, tapi juga kehidupan bumi di masa depan yang akan dirasakan oleh generasi-generasi selanjutnya.
Langkah menuju produksi pangan yang lebih baik mendorong petani untuk beralih ke pertanian yang berkelanjutan. Ini dapat menjadi langkah tepat di dalam memulihkan ekosistem yang sudah sedemikian usang. Akan tetapi, bijaknya, jangan hanya petani yang ditekankan untuk berubah.
Kita sebagai masyarakat bumi pun sebagai konsumen pangan juga dapat memulai dari kebiasaan diri masing-masing. Seperti mengonsumsi pangan lokal, selain demi menekan emisi gas rumah kaca karena pangan impor tentu membuat adanya emisi yang lebih banyak dihasilkan dibandingkan dengan pangan lokal, juga membuat pasar yang lebih baik bagi petani lokal. Kemudian kita dapat mengurangi food waste dengan mengambil makanan secukupnya, bisa juga dengan langkah mencari tahu tentang dari mana makanan itu berasal.
Dan yang terakhir, tapi tak kalah penting, yakni makan tidak berlebihan. Selain baik untuk kesehatan, ini pun menjadi langkah tepat dalam mendukung konsumsi pangan yang berkelanjutan, serta demi kedudukan ekosistem pangan Indonesia yang lebih adil dan berdaulat.
Written by Nara Hito