Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi warga negara. Pemenuhan pangan bagi warga negara adalah bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar negara republik Indonesia tahun 1945. Hal ini berarti ketersediaan bahan pangan harus dapat diakses bagi warga negara. Tidak hanya sampai pada ketersediaan, jumlah dan kualitas pangan menjadi kriteria penting untuk jaminan hak tersebut.
Pemerintah Indonesia telah mengupayakan ketersediaan pangan terjamin bagi warganya. UU no 18 tahun 2012 adalah wujud komitmen pemerintah untuk menjamin ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, terjangkau dan tidak bertentangan dengan agama, kepercayaan serta kebudayaan masyarakat. Kendatipun demikian, apabila kita melihat ketersediaan pangan di daerah-daerah, kita akan menemui beberapa daerah yang mengalami kerentanan pangan. Laporan DKP (2012) menyatakan bahwa banyak daerah Indonesia bagian timur memiliki kerentanan dalam kesediaan pangan. Daerah-daerah ini seperti halnya kabupaten/kota yang berada di provinsi NTT atau Papua. Tidak hanya pada kerentanan ketersediaan pangan, pencapaian pada beberapa tujuan MDGs berkaitan dengan kesehatan dan gizi kurang mengalami kemajuan, seperti meningkatnya presentase stunting pada tahun 2010-2013. Permasalahan kekurangn gizi juga masih melanda Indonesia, prevalensi gizi buruk meningkat dari 36 % pada tahun 2010 menjadi 37% pada tahun 2013.
Ketersediaan pangan yang cukup jumlah dan cukup mutu menjadi persoalan yang masih menghantui bangsa saat ini. Berbagai kebijakan sebenarnya telah dibuat oleh pemerintah untuk menyelesaikan persoalan pangan. Salah
satu kebijakan tersebut adalah kebijakan pupuk bersubsidi. Pada awalnya kebijakan ini didorong untuk meningkatkan produksi pertanian guna mencapai ketahanan pangan nasional dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani.
Jumlah subsidi pupuk terus mengalami peningkatan setiap tahunya. Pemerintah mengalirkan dana subsidi sebesar 16 triliun pada tahun 2015 untuk pupuk bersubsidi ini. Kemudian pada tahun berikutnya mengalami kenaikan yang sangat signifikan yaitu sekitar 30 triliun. Peningkatan kinerja dari pemerintah ini harapanya tidak berhenti pada peningkatan anggaran dan jumlah volume pupuk semata, tetapi harusnya sampai pada peningkatan produksi petani dan meningkatnya ketersediaan pangan nasional. Sangat disayangkan apabila program ini hanya mengalami peningkatan di anggaran saja. Seperti ungkapan Niskansen (1971) bahwa karakteristik birokrasi celakanya cenderung budget maximize. Birokrasi sebagai penyelenggara pelayanan hanya berupaya memaksimalkan penyerapan anggaran tanpa meningkatkan kinerja dan kualitas produk yang dihasilkan sesuai tujuan awal suatu program.
Untuk mengawal kebijakan subsidi pupuk ini tetap berada pada jalur sebagaimana tujuanya-yaitu untuk mencapai ketahanan pangan, keterlibatan partisipasi masyarakat menjadi penting adanya. Partisipasi masyarakat dalam suatu kebijakan setidaknya dapat terwujud melalui cara diantaranya adalah melalui Audit Sosial.