Latar Belakang: Kondisi Kedaulatan Pangan Indonesia Masih Lemah
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi penduduk suatu Negara. Karena itu, sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa Negara wajib menjalankan kedaulatan pangan (hak rakyat atas pangan1) dan mengupayakan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi penduduk. Kewajiban dimaksud mencakup kewajiban menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang2. Untuk bisa melaksanakan kewajiban tersebut secara efektif, maka Negara wajib menguasai sumber daya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat (UUD 1945 pasal 33 ayat 3).
Selain sebagai hak asasi manusia, pangan juga memiliki peran strategis bagi suatu Negara karena dapat mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan politik Negara tersebut. Pertanyaannya, apakah Negara sudah berhasil menegakkan kedaulatan pangan dan memenuhi kecukupan pangan bagi penduduk Indonesia? Berdasarkan RPJM 2015-2019 bidang pangan dan pertanian, prioritas utama nasional di bidang pangan hanya berfokus di produksi dan bukan pada pembangunan sumber daya manusia yang berdaulat, dalam hal ini adalah produsen pangan yaitu petani. Program yang dijalanka untuk meningkatkan hasil produksi di antaranya adalah produksi padi, jagung, kedelai (pajale) yang terus-menerus digenjot agar mampu memenuhi swasembada dan pemenuhan pangan bagi masyarakat.
Dalam pencapaian sasaran produksi tersebut, pemerintah dengan anggaran negara yang tidak kecil, pada tahun 2017 anggaran mencapai 103,1 triliun, tersebut hanya terfokus pada pembangunan dan peningkatan layanan jaringan irigasi, subsidi pupuk dan benih serta Upaya Khusus Padi, Jagung dan Kedelai. Tidak ada disebutkan sama sekali bahwa permasalahan pemenuhan pangan di Indonesia disebabkan oleh produktivitas lahan pertanian yang terus menurun setiap tahunnya, pun dengan regenerasi petani yang tidak mengalami peningkatan, justru mengalami kemunduran setiap tahunnya. Dalam upaya strategi RPJM tersebut juga tidak disebutkan kedaulatan petani yang berperan paling penting dalam pemenuhan pangan, dan lagi-lagi hanya berfokus pada irigasi, peningkatan produktivitas, pendayagunaan kemitraan, pola produksi dengan pengunaan teknologi ramah lingkungan. Pemerintah seolah luput bahwa perjuangan ketahanan pangan belum berhasil mengatasi permasalahan pangan di Indonesia, dengan masih tingginya tingkat kekurangan gizi di Indonesia, pada tahun 2018 sebanyak lebih dari 9 juta anak mengalami gizi buruk. WHO juga menyampaikan bahwa angka kekurangan gizi di Indonesia telah mencapai ambang batas atas yaitu 27,5 % sedangkan ambang batas WHO adalah 20%. Padahal produksi hasil pertanian dinyatakan meningkat setiap tahunnya.
BPS mencatat terdapat 70,8 juta ton gabah kering panen, maka beda dengan tahun 2017. BPS mencatat produksi gabah nasional sebesar 79.3 juta ton GKP. Peningkatan produksi tersebut tentu saja menggembirakan di tengah ketidakpastian iklim, penyusutan lahan dan peningkatan kebutuhan. Produksi yang meningkat diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan dan ketahanan pangan nasional. Dengan demikian jumlah penduduk rawan pangan dan gizi buruk pada anak anak terus menurun. Pada sisi lain diharapkan dengan peningkatan produksi dapat menekan angka kemiskinan di pedesaan. Padi merupakan sub sektor pertanian yang paling banyak diusahakan masyarakat pedesaan.
Sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan sekurangnya terdapat 17 juta keluarga di pedesaan yang bergelut dengan usaha padi (Pusdatin 2014). Rumah tangga tani yang terlibat sebagian besar merupakan mengusahakan lahan pertanian kurang dari satu hektar. Peningkatan produksi yang terjadi seyogyanya mampu memperbaiki kehidupan keluarga petani padi yang jumlahnya tidak sedikit tersebut. Namun pada kenyataannya, belum tampak hubungan linear dengan kondisi kehidupan petani. Dengan menggunakan alat ukur Nilai Tukar Petani (NTP) dapat dilihat bahwa kehidupan keluarga petani padi masih belum beranjak jauh menjadi lebih baik. Justru terjadi terjadi penurunan pada tahun 2017 dibandingkan tahun 2016 walaupun pada triwulan I tahun 2018 mengalami peningkatan. Angkanya yaitu, 99,47 pada 2016 menjadi 98,49 pada tahun 2017 dan 103,09 pada triwulan I tahun 2018.
Fakta lapangan juga menunjukkan bahwa reforma agraria yang dijanjikan belum terlaksana. Hal ini terlihat dari masih maraknya konflik lahan yang melibatkan petani. Kantor Staf Presiden (KSP) mengungkapkan bahwa hingga 2 Mei 2018, mereka menerima aduan 334 kasus konflik agraria yang melibatkan 96 ribu lebih kepala keluarga dan dengan total lahan konflik seluas 233 ribu hektare. Belum lagi bila dimaknai bahwa kedaulatan pangan yang dimaksud pemerintah itu adalah peningkatan produksi dan diproduksi sendiri oleh petani Indonesia, ternyata juga tidak. Sekalipun klaim produksi gabah nasional meningkat hingga 81 juta ton pada 2017, padahal pada 2015 hanya 75 juta ton, namun nyatanya impor beras terus terjadi. Pada tahun 2015 tercatat impor beras sebesar 861 ribu ton, kemudian meningkat menjadi 1,3 juta ton pada tahun 2016. Walaupun menurun menjadi 256 ribu ton pada 2017, tetapi kembali naik menjadi 2 juta ton pada 2018. Impor pangan tidak hanya pada komoditas beras. Hampir seluruh komoditas pertanian terjadi impor walaupun pada beberapa jenis komoditas terjadi penurunan kuantitas impornya. Salah satu komoditas yang jumlah impornya terus meningkat adalah gandum. Hingga tahun lalu, angka impornya menyentuh 11 juta ton. Pangan berbahan baku gandum perlahan namun pasti mulai menggantikan pangan lokal lainnya.
Kedaulatan pangan esensinya menempatkan petani sebagai tujuan akhir pembangunan pertanian-pangan tidak semata soal kenaikan produksi. Namun alih-alih memuliakan dan menyejahterakan petani, program dan kebijakan kedaulatan pangan yang ada justru meminggirkannya. Hal ini dapat dilihat dari angka kemiskinan yang setiap tahunnya tetap saja penduduk pedesaan berkurang lebih sedikit dan jumlahnya selalu lebih banyak dibanding di perkotaan. Tahun 2018, penduduk miskin pedesaan sebesar 13,20 persen. Sementara jumlah penduduk miskin di perkotaan sebesar 8,35 persen pada Maret 2014 lalu turun menjadi 7,02 persen pada Maret 2018. Angka kemiskinan yang demikian tentu saja memprihatinkan. Penduduk terbesar di pedesaan merupakan petani, dan merupakan petani gurem. Serikat Petani Indonesia mengatakan sekurangnya 56,12 persen nya merupakan petani gurem. Angka kemiskinan ini menjadi relevan dengan angka nilai tukar petani (NTP) yang jika dibandingkan antara tahun 2014 dan 2018 justru mengalami penurunan. Jika pada tahun 2014 NTP sebesar 102,03 maka pada tahun 2018 awal menjadi 101,94. Sehingga pada praktiknya, sesungguhnya yang dimaknai kedaulatan pangan oleh kebijakan pemerintah saat ini adalah sama dengan pemaknaan praktik ketahanan pangan.
Dunia Belum Memiliki Indeks Kedaulatan Pangan
Indonesia saat ini belum memiliki batasan kedaulatan pangan yang sama dan bahkan cenderung keliru sehingga mengaburkan esensi konsep food sovereignty yakni keberpihakannya kepada petani sebagai produsen pangan. Bahkan di tingkat dunia belum ada food sovereignty indeks, karena itu kita membutuhkan sebuah indeks yang disepakati dengan prinsip memenuhi representatif, komprehensif dan mudah diukur.
Melihat situasi kedaulatan pangan yang masih jauh dari cita-cita, KRKP sebagai lembaga yang memiliki visi untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia menyusun Indikator Kedaulatan Petani (IKP) guna mengukur indeks kedaulatan pangan. IKP dijadikan sebagai pedoman dan alat kontrol capaian dari kedaulatan pangan secara nasional maupun daerah. IKP dijadikan sebagai instrumen untuk mengukur tingkat kedaulatan pangan di Indonesia. IKP dikembangkan untuk memperkuat upaya pencapaian kedaulatan pangan di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019 yaitu mencapai ketahanan pangan dengan peningkatan dan penguatan kapasitas serta ketahanan pangan, dengan melibatkan subjek utama dalam pertanian yaitu petani. Sasaran kedaulatan pangan tersebut memerlukan kejelasan lokus dan status kedaulatannya. IKP akan diupayakan sebagai instrumen yang diadaptasi oleh pemerintah daerah guna mewujudkan kedaulatan pangan di daerahnya.
Indikator Kedaulatan Pangan ini merupakan perwujudan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, serta komitmen bersama untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Dalam dokumen IKP ini, terdiri dari pilar, kriteria, indikator dan parameter yang berguna sebagai pedoman praktis dan kalkulatif untuk menghasilkan output berupa persentase (indeks) kedaulatan pangan di suatu daerah. Pengkuruan IKP ini didasarkan pada masing-masing aktor yang berperan dalam perwujudan kedaulatan pangan yaitu pemerintah, petani dan konsumen. IKP yang menjunjung tinggi kesejahteraan petani ini diharapkan mampu dijadikan sebagai tolak ukur dalam pengelolaan pertanian yang lebih berkelanjutan dari segi ekologis maupun sumberdaya manusia dan dapat meningkatkan regenerasi petani yang terus menurun setiap tahunnya. Pilar-pilar yang tercantum di dalam dokumen IKP diharapkan mampu menyentuh titik-titik permasalahan yaitu reforma agraria, pertanian berkelanjutan, konsumsi pangan lokal dan perdagangan yang adil. Masing-masing pilar memiliki parameter praktis yang menunjukkan tingkatan nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pencapaian kedaulatan pangan.
Cita-cita dalam IKP secara spesifik diharapkan mampu membantu para pelaku pertanian dan pangan untuk menghadapi tantangan perubahan iklim dan kelaparan. Secara khusus, roh yang dimasukkan dalam IKP dalam penyusunannya adalah dengan mempertimbangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) nomor kedua, yaitu mengakhiri kelaparan. Tujuan dari pembangunan berkelanjutan nomor kedua tersebut adalah mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan peningkatan gizi serta mencanangkan pertanian berkelanjutan. Misalnya pada Target 2.3 yaitu pada tahun 2030 mampu menggandakan produktivitas pertanian dan pendapatan produsen makanan skala kecil, khususnya perempuan, masyarakat penduduk asli, keluarga petani, termasuk melalui akses yang aman dan sama terhadap lahan, sumber daya produktif dan input lainnya. Hal tersebut sangat sejalan dengan petunjuk praktis yang terdapat dalam dokumen IKP. Secara spesifik, dokumen dalam IKP sejalan dengan strategi dan indikator dalam nomor dua dengan parameter yang lebih terukur sesuai dengan matching yang dilakukan oleh BPS.