Pemerintah memutuskan untuk tidak ada karantina wilayah atau lockdown. Presiden menyampaikan langsung kepada publik, lockdown tidak sesuai dengan kondisi budaya dan kedisiplinan masyarakat Indonesia. Sebelumnya, Kepala BNPB sekaligus Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid 19 menyatakan hal yang sama. Indonesia fokus pada pembatasan sosial atau jaga jarak fisik.
Dengan demikian pencegahan sebaran virus corona tidak dengan menutup wilayah, namun dengan pengendalian perilaku sosial. Logikanya, virus tidak bergerak sendiri namun pergerakan manusia yang menyebarkan. Jika perilaku sosial bisa dikendalikan maka virus tidak menyebar kemana-mana. Untuk itu, himbauan di rumah saja dan kerja dari rumah digalakkan, sembari memperkuat sistem penanganan korban.
Setiap keputusan mengandung risiko. Masalahnya sejauh mana mitigasi risiko dilakukan. Mitigasi risiko perlu melihat secara utuh konteks sosial, dimana virus menyebar karena perilaku sosial. Gelombang pertama virus datang dari dunia ke Indonesia, ke kota-kota besar, terutama ledakan kasus di Jakarta. Secara sosiologis, Jakarta berpenduduk 10 juta jiwa, sebagian besar kaum migran. Migran dalam pengertian ini adalah penduduk resmi atau tidak resmi, yang menetap di Jakarta dan berasal dari kota-kota lain di Jawa, dan dari desa-desa.
Kaum migran memiliki ikatan sosial ekonomi dengan keluarga di daerah asal. Sebagian besar mereka adalah kelas menengah kebawah, bekerja di sektor informal dan berasal dari kampung-kampung dan desa-desa. Sebagian membawa keluarga di Jakarta, sebagian lagi meninggalkan keluarga di kampung halaman. Pada siklus tahunan, seperti Lebaran, kelompok ini disebut pemudik, mereka yang pulang balik ke kampung halaman pada waktu tertentu.
Penetapan tanggap darurat, himbauan di rumah saja dan berkurangnya keramaian, berdampak ekonomi bagi pekerja sektor informal. Pendapatan menurun, rejeki tertutup. Peningkatan korban virus setiap harinya, secara psikologis membuat mereka takut terpapar. Ekonomi dan psikologis tertekan, muncul pilihan respon yakni balik kampung halaman. Pengendalian perilaku sosial untuk kalangan ini makin jelas, yaitu menahan kehendak mereka untuk mudik.
Sayangnya, gelombang mudik sudah mulai terjadi. Jumlah pemudik ke Wonogiri mencapai 14.000 dalam beberapa hari. Belum lagi ke kota-kota lainnya. Himbauan dan larangan sudah dilakukan, agar muncul kesadaran urungkan niat balik kampung halaman. Pertanyaannya, apakah tanpa insentif himbauan efektif? Bahkan, apa dengan insentif bisa mengalahkan ketakutan? Sejauh ini belum nampak manjur. Arus balik kampung terus membesar, dan potensi terjadi gelombang kedua sebaran virus. Persebaran dari kota besar ke kota kecil, ke desa-desa.
Bagaimana jika virus masuk desa? Bisa dipastikan pengendalian akan jauh lebih sulit dilakukan. Pertama, desa memiliki fasilitas dan tenaga medis yang minim. Jika ada satu korban misalnya, penanganan cepat sulit dilakukan. Jarak tempat tinggal dengan fasilitas kesehatan jauh, puskesmas ada di kecamatan, rumah sakit umumnya di kota. Belum lagi kesiapan fasilitas dan tenaga medis untuk respon untuk sebuah kasus pandemi baru. Risiko kematian korban karena tidak tertangani di desa, lebih besar dari di kota. Selain kemiskinan dan keterbelakangan, rakyat desa menghadapi ancaman baru, risiko kematian.
Kedua, masyarakat desa minim akses informasi tentang virus corona. Mereka punya budaya kumpul, baik saat kerja maupun waktu luang. Interaksi sosial kuat, secara kultural membutuhkan kebersamaan. Padahal kuncinya adalah jaga jarak fisik, mengurangi interaksi sosial. Kuncinya adalah akses informasi yang bisa dipahami dengan jelas masyarakat desa. Minim informasi adalah ladang subur bagi merebaknya pandemi. Pemerintah desa belum ada panduan yang jelas bagaimana mengelola krisis akibat pandemi virus corona saat ini.
Sebagian besar masyarakat desa bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ini menjadi kondisi bahaya ketiga, ancaman terhadap ketahanan pangan. Petani dan buruh tani bekerja mengandalkan fisik, kesehatan adalah aset penghidupan. Sebagian besar petani menua, dan berusia lanjut, rentan terhadap paparan virus. Jika sebaran virus meluas, petani dan buruh tani menjadi korban maka muncul gangguan terhadap sektor pangan dan pertanian. Belum lagi dalam hal keamanan pangan, terkait cemaran virus pada produk pertanian, pada rantai distribusi dari desa ke kota. Dampak serius bagi fondasi ketahanan bangsa. Bagaimana jika pendapatan petani menurun, pasokan pangan terganggu, bahkan keamanan pangan terancam?
Keempat, potensi konflik sosial. Ada potensi phobia orang desa terhadap orang kota yang datang ke desa, konflik antar tetangga atau bahkan antar keluarga untuk menerima atau menolak pemudik. Setiap orang kota, apalagi dari kota besar akan otomatis diperlakukan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP). Tidak ada panduan bagaimana menghadapi hal ini, belum ada rujukan dari pengalaman sebelumnya atas kasus semacam ini. Ketiadaan ini perlu diisi dengan peran pemerintah, perlu memberikan informasi dan panduan yang jelas. Jika tidak, konflik sosial terjadi dimana-mana.
Hitung jika gelombang mudik berlaku untuk semua kota besar, maka terjadi gelombang virus masuk ke desa-desa yang jumlahnya puluhan ribu di Indonesia. Ribuan desa dengan sosio kultural beragam, karakteristik ekologis beda-deda, dimana sebagian besar minim akses berbagai layanan publik. Sebelum meluas terjadi, mitigasi cepat menjadi kunci.
Penyiapan respon cepat penanganan korban. Selama ini akses terhadap layanan kesehatan menjadi barang mahal di desa-desa. Pemetaan kelompok rentan dan potensi sebaran dari kota ke desa menjadi penting untuk pencegahan. Koneksitas antara rumah sakit di perkotaan dengan simpul-simpul layanan kesehatan di desa-desa perlu diperkuat. Perlu identifikasi tingkat kesulitan maupun faktor-faktor pendukung percepatan penanganan jika ditemukan korban. Jika persebaran dan kasus meningkat maka pilihan-pilihan respon harus sudah tersedia, bukan malah sebaliknya chaotik dan tidak tahu harus berbuat apa.
Pemerintah Desa harus segera diperkuat. Disiapkan untuk tanggap terhadap sebaran virus corona. Tata kelola perlu dibangun, siapa berbuat apa serta bagaimana caranya. Protokol tindakan, informasi dan strategi komunikasi harus disiapkan sesuai dengan karakteristik sosio-kultural desa yang beragam. Pendanaan khusus perlu disiapkan untuk desa, termasuk mekanisme penggunaan dana desa untuk situasi darurat kasus virus corona.
Petani dan buruh tani harus diselamatkan. Pada masa krisis dan pasca krisis, pasokan pangan dan produk pertanian adalah segala-galanya. Ketersedian stok pangan dalam ancaman jika kesehatan petani tergerus menjadi korban virus. Ketahanan pangan saat krisis tak bisa mengandalkan impor, semua negara akan menahan untuk kepentingan dalam negeri masing-masing. Negara ini bergantung pada peran petani dan buruh tani di perdesaan, menjaga ketahanan pangan ditengah masa-masa sulit kedepan.
Tidak bisa mengandalkan tenaga medis di desa yang jumlahnya minim. Menggerakan kader-kader dan organisasi sosial lokal adalah satu-satunya pilihan, antisipasi jika ledakan kasus terjadi di perdesaan. Perlu penyiapan segera, satuan-satuan tugas respon cepat perdesaan, identifikasi kaum rentan, sarana dan prasarana memadai untuk mempercepat penanganan korban, serta mekanisme pengelolaan informasi dan koordinasi di lapangan. Termasuk juga, menghidupkan simpul-simpul kepemimpinan komunitas lokal untuk menggerakan partisipasi warga desa dan mengatasi konflik sosial yang terjadi.
Pemerintah perlu tanggap akan bahaya virus masuk desa. Penting menjalankan strategi simultan pengendalian di kota dan pencegahan di desa. Insentif kebutuhan pokok dan subsidi pendapatan bagi pekerja informal dan kaum miskin di kota diberikan untuk mencegah balik kampung halaman, bersamaan dengan itu, memperkuat dan menyiapkan desa menghadapi sebaran virus corona. Kota lumpuh, runtuh perekonomian. Desa lumpuh, runtuh kehidupan. Masih ada waktu mencegah dampak buruk sebaran virus ke desa, pemerintah perlu bertindak segera. Sebelum terlambat dan dituduh pembiaran.
Bogor, 27 Maret 2020
David Ardhian
Expert Board di Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan