Bagaimana suatu wabah penyakit dapat melunturkan tradisi-tradisi sosial, budaya bahkan budaya bertani ? Ya, wabah tersebut adalah Virus Corona atau yang sekarang ini lagi terkenal dengan Covid-19, yang pertama kali muncul di negara China pada akhir tahun 2019. Kemudian, hanya dalam waktu yang singkat virus ini sudah menyebar luas ke seluruh dunia dan menjadi suatu wabah yang mengerikan. Banyak negara-negara maju yang collapse akibat pandemi virus Covid-19. Salah satu contoh adalah negeri Pizza, Italia yang terkena dampak serius. Bahkan Italia melakukan lockdown satu negara untuk mengurangi jumlah korban yang terinfeksi. Bagaimana dengan Indonesia ? Di Indonesia sendiri virus ini masuk pada awal Maret 2020 dengan ditemukannya dua orang WNI keturunan Jepang yang positif terinfeksi virus ini.
Pandemi virus Covid-19 di Indonesia bertepatan dengan datangnya musim panen raya. Dan kali ini suasana dan suka cita panen tidak sama seperti sebelumnya. Coba bayangkan jika kita tinggal di suatu desa kecil yang terdapat hamparan sawah yang luas. Disana kita dapat mendengarkan suara alam dengan jelas setiap harinya. Mulai dari suara kokok ayam, ternak bebek, kambing dan sapi yang lagi digembala oleh peternak, suara petani dan buruh tani yang saling bersenda gurau menuju ke lahannya, hingga suara mesin sepeda motor yang menderu di jalanan.
Namun, adanya pandemi ini, kita menjadi kehilangan semua suara-suara yang dapat kita nikmati setiap hari. Apalagi kita akan memasuki musim panen raya. Dimana jika waktu panen tiba maka ada tradisi petani akan saling gotong royong bantu membantu dalam proses panen. Buruh tani saling bersenda gurau sambil mengarit padi, makan pagi dan siang bersama di lahan, suara mesin perontok gabah, suara mesin sepeda motor yang mengangkut gabah dari lahan ke rumah. Suara “grandong” mesin penggilingan gabah keliling. Suara petani yang sering kali mendiskusikan hal-hal yang akan dilakukan untuk musim tanam berikutnya. Tetapi, situasi sekarang berubah menjadi silent harvest, sunyi dan senyap. Petani sebisa mungkin memanen sendiri tidak meminta bantuan banyak orang. Tidak adanya suara tawa buruh tani saat mengarit, mesin perontok dan grandong yang lebih banyak diam, dan mesin sepeda motor yang hanya beberapa saja lalu lalang.
Kondisi tersebut mengingatkan kita akan sejarah yang terjadi di Amerika sekitar tahun 1972, dalam buku yang berjudul Silent Spring memaparkan bahwa “suatu wabah” dalam hal ini hama tanaman, dapat merubah perilaku, budaya, dan lingkungan di Amerika. Seperti petani Amerika saat itu, percaya bahwa dengan menggunakan senyawa DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) dapat mengatasi hama tanaman yang menurunkan hasil panen. Ternyata DDT tersebut menyebabkan banyak kerugian. Merubah tatanan kehidupan. Kerusakan lingkungan, terkontaminasinya produk-produk pertanian, dan membunuh organisme yang bukan sasaran. Sebelum penggunaan DDT dalam bertani, masyarakat di Amerika saat musim semi tiba akan terdengar kicauan-kicauan burung yang sangat nyaring di telinga. Seperti yang dikatakan Sofyan Sjaf 2020, “Setiap sejarah selalu berulang dalam konteks yang berbeda. Setiap wabah akan menghasilkan tatanan baru dalam membangun relasi sosial, ekonomi dan politik”.
Hal di atas hampir sama dengan kondisi kita saat ini, dimana petani kita yang berada di desa merubah perilaku, sosial dan budaya bertani saat wabah virus Covid-19 ini. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan physical distancing untuk menekan penyebaran yang mengharuskan petani menjaga jarak dan kontak fisik dengan yang lain. Kebijakan ini menerapkan sistem work from home (WFH) yang mana mengurangi aktivitas di luar rumah. Belum lagi adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menyebabkan petani kesulitan dalam menjual dan mendistribusikan hasil panen, harga gabah yang fluktuatif bahkan hingga terjun bebas, dan biaya transportasi yang melonjak tinggi. Peraturan ini saat meresahkan petani, yang mana mereka harus keluar rumah pergi ke lahannya untuk berproduksi.
Dampak wabah virus Covid-19 ini tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan, ekonomi, sosial, dan lingkungan tetapi juga berdampak pada psikologi petani. Petani akan dibayang-bayangi social shock dan ancaman akan tertular virus ini jika mereka keluar rumah. Berbagai himbauan atau pemberitahuan telah disampaikan ke masyarakat untuk mencegah infeksi virus ini, yaitu mencuci tangan terlebih dahulu dengan sabun atau desinfektan sebelum memegang apapun, menggunakan masker saat keluar rumah, mengurangi berkumpul-kumpul dan kontak fisik dengan orang lain, mengurangi aktivitas di luar rumah, memakan makanan yang sehat dan bergizi. Untuk petani tidak mungkin mereka tidak keluar rumah dan tidak beraktivitas di luar rumah.
Mereka harus bekerja di lahan agar dapat menghasilkan pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya di rumah. Tidak hanya untuk keluarganya, tetapi juga untuk masyarakat desa dan di perkotaan yang selalu bergantung pada hasil pangan dari desa. Memang untuk masyarakat di desa kondisi saat ini tidak berdampak langsung karena mereka masih dapat mengantisipasi dengan menanam dan mengkonsumsi pangan yang cukup, beragam dan bergizi.
Tapi perlu dipikirkan, jika wabah ini berlangsung dalam waktu lama maka desa juga akan mengalami guncangan. Bagaimana jika desa akhirnya goyah seperti yang terjadi di kota ? Siapa yang berkewajiban menopang kehidupan desa ? Masyarakat desa, kota, atau pemerintah kah ? Dengan demikian, dalam situasi sekarang semua pihak harus terlibat dalam masalah yang ditimbulkan pandemi ini, khususnya ketersediaan pangan untuk masyarakat. Masalah ini menjadi tanggung jawab kita bersama dalam memenuhi ketersedian pangan bagi semua orang, menjaga kesehatan diri dan lingkungan tempat tinggal kita. Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang tepat dengan memikirkan dampak dan solusi bagi masyarakat. Monitoring dan evaluasi kebijakan penting dilakukan agar dapat memperbaiki jika ada kesalahan dalam penerapannya. Selain itu pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan pemantauan terhadap peraturan dan proses manajemen distribusi pangan baik secara lokal maupun nasional.