Setelah bulan lalu memperingati Hari Tani Nasional pada 24 September, hari ini kita memperingati Hari Pangan Sedunia. Reforma agraria menjadi program prioritas kelima dan kedaulatan pangan menjadi program prioritas ketujuh Nawacita. Serta program prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Dua prioritas ini kemudian dilanjutkan pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam Visi Indonesia Maju dan RPJMN 2020-2024. Namun setelah satu dekade berkuasa, konflik agraria semakin membara, guremisasi lahan petani semakin parah, dan kedaulatan pangan semakin sulit terwujud.
Survei Persepsi Petani 2024 yang dilakukan terhadap 304 petani di seluruh Indonesia pada 10-20 September kemarin mengungkap hal tersebut. Sebagai perbandingan, saat tahun 2018 juga telah dilakukan survei yang serupa oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). Dua survei ini akan menjelaskan secara utuh perjalanan pembangunan sektor pertanian Indonesia melalui empat pilar utama kedaulatan pangan, yaitu akses sumber produksi, modal pertanian berkelanjutan, perdagangan yang adil, dan pangan berkelanjutan. Namun, di tahun 2024 kami menguatkan juga pada sisi dampak perubahan iklim dan harapan petani untuk masa depan.
Bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap 16 Oktober, tema tahun ini adalah “Right to Foods for a Better Life and a Better Future.” Tema tersebut selaras dengan hasil Survei Persepsi Petani 2024 yang dilakukan oleh LaporIklim, KRKP, TNC, dan GPN, yaitu kebijakan agraria yang tidak mendukung serta krisis iklim semakin membatasi akses petani terhadap lahan dan sumber daya, sehingga mengancam produksi pangan. Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim memperburuk kondisi pertanian, sehingga mengancam ketahanan pangan Indonesia di masa depan. Untuk mewujudkan hak atas pangan dan masa depan yang lebih baik, perbaikan kebijakan agraria dan langkah nyata dalam mitigasi krisis iklim sangatlah diperlukan.
Kedaulatan pangan memang semakin sulit terwujud, saat ini 30,6 persen petani tidak mengalami perbaikan akses irigasi, 35,9 persen petani kesulitan mendapat akses pupuk, 43,8 persen petani tidak mendapatkan permodalan yang layak, serta 47 persen petani tidak mendapatkan akses lahan yang mencukupi untuk digarap. Semua data tersebut menunjukkan minimnya perbaikan pemerintah ke akses sumber produksi pertanian. Apabila dibandingkan dengan survei tahun 2018, semua aspek dalam akses sumber produksi mengalami perburukan atau bahkan stagnasi selama sepuluh tahun terakhir.
Sementara aspek modal pertanian berkelanjutan menunjukkan kondisi yang serupa, di mana sejumlah hasil survei 2024 jauh lebih buruk dan sebagian mengalami stagnasi sejak dari 2018. Sebanyak 53 persen petani mengaku program pemerintah selama ini tidak mampu meningkatkan produksi pertanian mereka. Hal tersebut tidak lepas dari rendahnya peran pemerintah dalam penyediaan pupuk organik, benih unggul, dan metode penanganan gangguan produksi. Total 51,6 persen petani sama sekali tidak mendapatkan bantuan pupuk organik, demikian pula separuh dari responden juga mengatakan tidak menerima bantuan benih unggul sama sekali.
Saat ini 76 persen petani Indonesia menggunakan benih hasil sendiri yang kualitasnya belum tentu bagus, sehingga berisiko mengalami penurunan produksi atau gagal panen. Petani juga mengeluhkan minimnya penyuluhan yang dilakukan pemerintah selama sepuluh tahun terakhir (45,1 persen). Tak hanya itu, ada 46,4 persen petani yang sama sekali tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan oleh perangkat level desa, kota/kabupaten, hingga dinas terkait.
Persoalan harga yang berkeadilan juga masih membayangi petani Indonesia selama bertahun-tahun. Survei tahun 2024 menunjukkan 45,4 persen petani mendapatkan harga gabah dari pemerintah yang tidak menguntungkan sama sekali. Alhasil, selama ini apapun program pemerintah ternyata tidak berhasil meningkatkan pendapatan petani. Partisipasi petani dalam perumusan kebijakan harga juga belum maksimal, hanya 36,2 persen yang dilibatkan.
“Dari banyaknya persoalan yang dihadapi petani, salah satu penyebab mendasarnya adalah kegagalan pemerintah menerjemahkan dan mewujudkan cita-cita kedaulatan pangan melalui berbagai kebijakan dan programnya. Dengan berpegang pada konsep dan paradigma kedaulatan pangan yang berkembang saat ini, kebijakan dan program pemerintah seperti tidak menjawab persoalan atau bahkan salah arah,” Prof. Hermanu Triwidodo, Kepala Tani dan Nelayan Center menegaskan.
Kondisi tahun 2024 ternyata lebih buruk dari tahun 2018. Survei tahun 2018 menunjukkan petani yang mendapat harga rendah hanya 22 persen, namun melejit hingga dua kali lipat pada enam tahun berikutnya. Hal serupa juga terjadi pada pelibatan petani yang makin rendah, di mana 28 persen petani yang mengeluhkan tidak diajak dalam perumusan kebijakan harga. Namun, meningkat hingga mencapai 53,3 persen pada tahun 2024.
Aspek pangan berkelanjutan menggambarkan daya resiliensi petani dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Hasil Survei Persepsi Petani 2024 menunjukkan bahwa 85,2 persen petani mengonsumsi pangan yang dihasilkan sendiri atau dari lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Kemampuan petani untuk mencukupi kebutuhan pangan harian mereka adalah gambaran kemandirian, sekaligus perjuangan hidup.
Banyak dari petani di Indonesia yang masuk dalam kategori keluarga miskin. Karenanya, ada keterbatasan akses terhadap pangan yang lebih beragam. Petani memilih untuk hidup lebih sederhana dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Sebanyak 71,4 persen petani juga mengatakan bahwa saat ini lebih mudah mendapatkan pangan lokal.
Saat ini, tantangan petani di Indonesia semakin pelik dengan dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh mereka. Suhu rata-rata Bumi terus meningkat, sehingga merusak kesimbangan cuaca dan iklim. Survei Persepsi Petani 2024 mengungkap bahwa 98,7 persen petani mengakui bahwa saat ini sedang terjadi perubahan iklim. Tiga kejadian perubahan iklim yang paling banyak mereka alami adalah musim semakin tidak menentu (71,7 persen), kekeringan (70,7 persen), dan suhu panas ekstrem di luar ruangan (58,6 persen).
Situasi yang terus memburuk berdampak besar terhadap petani. Sebanyak 77,6 persen petani mengaku hasil panen mereka turun karena perubahan iklim, kemudian 59,2 persen merasakan hama semakin merajalela, dan 51 persen mengatakan kualitas panen turun. Semua dampak tersebut berpengaruh terhadap kondisi ekonomi yang makin terpuruk (51 persen).
Di tengah himpitan kebijakan yang tidak berpihak pada petani dan perubahan iklim yang semakin parah, petani di seluruh Indonesia masih menyimpan harapan untuk masa depan mereka. Petani di kawasan Indonesia timur, yaitu Maluku, Maluku Utara, dan Papua, mengatakan bahwa sistem tata kelola pertanian perlu lebih modern dan pemerintah lebih berpihak kepada petani lokal. Petani di kawasan Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi berharap program regenerasi petani dilakukan secara masif, serta pemerintah harus lebih sering turun ke lapangan agar lebih objektif dalam evaluasi.
Sementara petani di pulau Jawa hingga kepulauan Nusa Tenggara menitipkan harapan agar harga gabah dinaikkan agar petani lebih sejahtera, kebijakan pertanian yang berpihak kepada petani lokal, serta memperbanyak program-program penguatan pangan lokal. “Jadi bisa disimpulkan bahwa kehidupan petani dalam sepuluh tahun terakhir seperti jalan di tempat atau bahkan cenderung mundur. Kebijakan dan program yang dibuat tidak mendorong perbaikan kehidupan petani, tetapi ibarat senjata yang menekan dan menghunus petani itu sendiri. Petani ada pada pilihan sulit. Mau terhunus kebijakan mundur ditusuk ancaman perubahan iklim,” ujar Prof. Hermanu. (selesai)