Infografis Harga panen padi di beberapa daerah di Indonesia (Hariadi Propantoko) 7/5/2020.
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan
Lagi, Harga Panen Petani Anjlok
Presiden mengklaim bahwa stok pangan nasional di masa pandemi aman. Dalam Rapat Terbatas (28/4/2020) presiden menyebutkan bahwa ketersediaan beras ada sekitar 5,62 juta ton. Jika kebutuhan beras per kapita pertahun adalah 83,7 kg/tahun (data BPS 2019), maka persediaan 5,62 juta ton bisa untuk memenuhi makan selama 3 bulan terhitung mulai bulan mei sampai dengan Juni 2020. Klaim ini juga disampaikan oleh Dewan ketahanan Pangan (DKP), tidak tanggung-tanggung DKP menyebutkan bahwa neraca beras sampai dengan bulan juni 2020 sebesar 6,9 juta ton. Neraca merupakan selisih dari persediaan dengan konsumsi yang dibutuhkan. Perkiraan neraca sebesar ini sama dengan kebutuhan nasional selama 4 bulan. Bila terhitung mulai dari juni, maka kebutuhan beras sampai dengan bulan September terhitung aman. Angka-angka fantastic ini apakah hanya ada di pernyataan pemerintah atau benar-benar pangan dapat diakses oleh masyarakat rentan yang ada dipenjuru negeri ini ?. mari kita lihat.
Angka neraca pangan surplus yang diungkapkan oleh DKP kontras adanya dengan kondisi di lapangan. Bahkan Kelaparan sebenarnya sudah terjadi di kantong-kantong buruh yang kena PHK, pekerja informal dan kelompok rentan lainnya. Jumisih, dari Federasi Buruh Lingkar Pabrik (FBLP) mengungkapkan bahwa “banyak kejadian di Cakung, Jakarta Utara, pekerja yang di PHK maupun yang di rumahkan tanpa upah penuh mengalami ancaman kelaparan, kemampuan beli mereka melemah”.
Di kelompok lainnya, yaitu petani sebagai produsen yang produksinya dielu-elukan surplus leh pemerintah, kira-kira bagaimana kondisinya . Kondisi produsen pangan kita dimana sejak masa pandemi COVID-19 di Indonesia di mulai, sedang panen raya. Kita patut melihat petani lebih dalam, karena merekalah yang menyediakan pangan untuk kita. Apabila mereka terguncang oleh wabah ini. Kewaspadaan kita harus naik berkali-kali lipat agar bisa melakukan tindakan yang tepat untuk menghalau kelaparan di tingkat konsumen bahkan di petani itu sendiri.
Perhitungan persediaan pangan yang dilakukan oleh pemerintah dan menghasilkan surplus pangan itu karena keringat petani. Produksinya dihitung, namun jerih payahnya tidak diperhitungkan. Sejumlah sentra produksi komoditas pertanian sedang panen raya, namun harganya jatuh tersungkur. Harga panen jauh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yaitu Rp. 4.200/kg. Data hasil survei yang dilakukan jaringan petani yang tergabung dalam Gerakan petani Nusantara mendapati bahwa harga panen padi (GKP) di Pati menyentuh harga Rp. 3.100/kg, Sukoharjo Rp. 3.000/kg, Demak Rp. 4.000/kg, Pekalongan Rp. 3.750/kg, Nganjuk Rp. 3.950/kg, dan masih banyak lagi petani-petani di sentra produksi padi daerah lainnya yang menerima harga tidak layak.
Tidak hanya petani padi, Petani yang memproduksi komoditas lainnya juga menerima dampak yang serupa. Sudargo, Petani Cabai di Pati mengungkapkan “saat ini petani sudah tidak berharap terhadap panenya sendiri, cabai hanya dihargai Rp. 1.500/kg, padahal untuk memanen cabai butuh ongkos panennya melebihi harga cabainya sendiri”. Ongkos untuk tenaga memanen (terdiri dari 3 orang) adalah Rp. 75.000 per ½ hari dan ditambah biaya pengganti sarapan dan makanan ringan (karena bulan puasa) sekitar 25.000, sehingga dalam setengah hari ongkos panen sebesar Rp. 100.000. Dalam setengah hari ,1 tim ini menghasilkan 70 kg. Sehingga penghasilan Petani adalah hasil panen cabai dikalikan harga per kg (70 kg x Rp. 1.500) yaitu Rp. 105.000. Selisihnya hanya Rp. 5.000, itu pun belum menghitung biaya transportasinya. “kondisi ini membuat petani pesimis” tambah Sudargo.
Petani di Tegal, Tamrin, juga merasakan hal yang sulit dalam menghadapi Covid -19 ini. “masa virus ini memang membuat kehidupan petani makin terpuruk, tidak hanya petani padi, petani hortikultura (sayur-sayuran) juga, setelah bersusah payah menanam dan memelihara tanaman, panen kami tidak dihargai dengan layak atau bahkan tidak laku”. Thamrin juga mengunkapkan bahwa saat ini dia sedang mempersiapkan anaknya yang akan naik kelas dan sebentar lagi hari lebaran, namun panen kali ini tidak bisa diandalkan, bahkan hanya untuk makan, apalagi untuk lebaran atau Pendidikan anak.
Kejadian anjloknya harga panen setiap datangnya panen raya sebenarnya bukan hal baru, tahun 2019 lalu di bulan maret juga demikian. Petani padi terpukul oleh karena harga GKP jauh di bawah HPP, saat itu HPP masih Rp. 3.700. Turunnya harga panen pada tahun 2019 dipengaruhi oleh besarnya produksi dan serapan pasar rendah. Impor beras ugal-ugalan yang dilakukan pemerintah pada tahun 2018 dengan akumulasi sebesar 2.25 juta ton turut memberikan dampak signifikan terhadap harga panen di petani. Sedangkan Bulog tidak bisa banyak berbuat. Gudang bulog penuh terisi beras impor yang didatangkan pada akhir tahun 2018. Outlet Bulog mengalami stagnasi karena bantuan rastra (beras sejahtera) yang menjadi andalan saluran keluarnya produk Bulog digantikan dengan program Bantuan Pangan non Tunai (BPNT) dimana sebagai penyedia bahan pangan dapat dilakukan oleh swasta, tidak tersentral di Bulog seperti Rastra. Stok yang menumpuk di Gudang Bulog membuat kemampuan Bulog menyerap panen padi di petani nyaris saja tumpul. Fungsi Bulog sebagai penyangga harga panen padi telah mati suri, dan harga panen di petani tak tertolong.
Tahun ini penurunan harga di petani saat panen raya kembali terjadi. Namun situasinya berbeda. Tidak ada impor ugal-ugalan di akhir tahun 2019, stok di Gudang Bulog tercatat di bulan maret 2020 lalu sekitar 1,6 juta ton, yang berarti masih ada ruang untuk melakukan penyimpanan sehingga Bulog bisa menyerap gabah di petani. Tahun ini sebagai biang keroknya adalah wabah virus corona. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sangat mempengaruhi sistem distribusi nasional.
Hasil pendalaman wawancara dengan pemilik penggilingan padi di Subang, Deni, menunjukkan bahwa saat panen ini penggilingan padi tidak leluasa bisa menyerap padi di petani. Stok beras di Gudang mandek, karena permintaan di pasar induk terhambat. Sehingga pengiriman beras ke pasar induk tidak berjalan mulus oleh faktor ada beberapa toko yang tutup di pasar induk, sehingga tidak ada permintaan pengiriman dari penggilingan.
Hancurnya harga panen di petani dikarenakan distribusi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perbedaan harga di konsumen dan petani sangat lebar. Bahkan perbedaan harga di petani pada satu wilayah juga berbeda-beda. Seperti halnya di Tegal, harga timun di petani Rp. 800/kg padahal di desa lainnya harga timun di petani menyentuh harga Rp. 2.000/kg. demikian dengan Kacang Panjang, di petani ada yang dihargai Rp. 3.500/kg, dan ada juga yang mendapatkan harga Rp. 6.000/kg.
Petani, penjaga pangan negeri
Pemerintah merencanakan pemberian insentif kepada 2,44 juta petani. Insentif ini ditujukan agar petani dapat memproduksi pangan tanpa hambatan. Insentif yang diberikan adalah berupa bantuan langsung tunai dan insentif untuk sarana produksi pertanian. Namun, melihat kondisi saat ini yang paling dibutuhkan oleh petani bukanlah saprodi atau BLT sebesar Rp. 300.000 per bulan. Yang dibutuhkan petani adalah menerima harga yang layak dari hasil panennya. Seharusnya pemerintah dapat memberikan insentif dalam bentuk-bentuk yang lain yang lebih tepat. Salah satu opsi adalah dengan insentif dalam bentuk pembelian hasil panen di petani yang difasilitasi oleh BUMN untuk cadangan pangan nasional. Said Abdullah, Koordinator nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyatakan “dalam situasi ini (harga panen turun), maka sebuah kewajiban bagi pemerintah dalam hal ini Bulog melakukan penyerapan gabah dengan HPP yang sudah ditetapkan”. Penyerapan hasil panen oleh Bulog akan membantu menstabilkan harga pemeblian di petani.
Akhir-akhir ini presiden khawatir akan pernyataan dari berbagai Lembaga internasional bahwa ada ancaman kelaparan di masa pandemi ini. Pemerintah cukup responsive dengan menurunkan bea masuk untuk barang kebutuhan pokok seperti bahan pangan. Respon ini dapat kita baca di dalam pasal 10 PERPPU no 1 2020. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah jaga-jaga mau menginpor bahan pangan saat ada krisis. Padahal saat ini di petani sedang panen raya dan hasil panenya tidak terserap seperti biasanya. Mengapa pemerintah tidak memaksimalkan hasil produksi petani untuk cadangan pangan nasional ? . Semestinya pemerintah dapat mencukupi kebutuhan pangan yang sudah disediakan oleh petani, bukan lagi mengabaikan. Dr Suryo Wiyono, Dosen IPB, mneyebutkan bahwa “salah satu titik penanganan COVID-19 yang belum mendapat perhatian pemertintah adalah meng-handle petani sebagai produsen pangan, jatuhnya harga gabah secara merata di seluruh Indonesia, karena terpuruknya distribusi. Pemerintah perlu turun tangan untuk hadir untuk mengatasi keterpurukan petani ini”.
Opsi lainnya adalah dengan mendorong Bulog untuk menyalurkan bantuan pangan kepada masyarakat pra-sejahtera pada masa pandemic ini. Opsi ini diluar dari BNPT yang sudah berjalan. Opsi ini dapat mendorong Bulog menyerap gabah petani, sehingga fungsi Bulog sebagai pengendali harga pasar saat ada panen raya dapat berjalan. Karena jika skema penyaluran dari stok Bulog tidak difikirkan, maka kejadian tahun lalu dimana Bulog tidak bisa mengeluarkan berasnya dari gudangnya akan kembali terjadi. (Bogor/7 Mei 2020)
Resources :
Hariadi Propantoko (Peneliti KRKP): 082111119080
Sudargo Ronggo (Petani Pati): 085326342950
Thamrin (Petani Tegal): 081391802888
Deni (Petani/Penggilingan Subang): 081280071623