web analytics

Perlindungan Terhadap Desa dan Petani Sangat Penting Untuk Mengantisipasi Kebutuhan Pangan Pasca Pandemi Pandemi Covid-19

11
Apr
Aktivitas memilah biji sorghum oleh mama-mama di Desa Mbatakapidu, Sumba Timur

Bogor, 10 April 2020 – Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) LPPM IPB University Dr. Ir. Sofjan Syaf mengatakan, melindungi kawasan pedesaan dari paparan pandemi Covid-19 merupakan hal yang sangat penting dan mendesak. Pasalnya desa adalah tempat dimana produksi pangan berlangsung. Karena itu, ketiadaan ketegasan yang melarang terjadinya arus mudik dari kota ke desa sangat mengkhawatirkan.

“Jika kebijakan politik yang dilakukan pemerintah tidak melarang mudik, maka yang menjadi korban berikutnya adalah desa. Ada sejumlah 134 juta orang berpotensi terwabahi. Bagaimana tenaga kerja sektor pertanian?” ujarnya, dalam diskusi secara daring Obrolin Pangan#9 bertajuk “Ancaman Kelaparan di Tengah Pandemi,” Kamis (9/4).

Meski wabah sering terjadi, menurut Sofjan Syaf, Covid-19 berada di tingkat yang berbeda karena tingkat penularannya mencapai 1:3 artinya, 1 orang terinfeksi bisa menulari 3 orang. “Sisi positifnya desa mendapatkan tenaga kerja baru yang harus diamankan, diproteksi dengan baik. Mengatasi Covid-19 harus dari bawah ke atas, karena benteng kehidupan ada di desa. Pangan rapuh, ekonomi rapuh, negara selesai. Negara-negara lain sedang tidak ingin ekspor. Sehingga desa menjadi bagian penting,” jelasnya.

Sofjan mengatakan, sebelum ada wabah, tenaga kerja pertanian minatnya rendah, angka produktif kurang. Setelah wabah, bisa jadi orang tertarik lagi ke pertanian, angka produktifnya meningkat. Pemerintah pusat harusnya memfokuskan dana desa untuk produksi pangan sebanyak-banyaknya.

“Karena pasca pandemi pangan akan dibutuhan banyak orang di dunia. Kita bisa mencuri start dengan tenaga produktif yang bertambah. UU Karantina ada penanganan darurat, ada karantina,” ujarnya.

Dr Sofyan Sjaf M.Si kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB University

Sofjan menyarankan, desa dibentengi dulu agar Covid-19 tidak masuk desa. “Tak perlu biaya, fokuskan saja dana desa. Kalau terjadi resesi ekonomi, kita sudah aman stok pangan via desa. Bahkan bisa ekspor kita,” jelasnya.

“Maka perlu kita tafsirkan karantina wilayah dengan fokus membentengi desa untuk merespons pasca Covid-19. Bukan berarti karantina tidak bisa interaksi, namun lalu lintas dari luar lah yang harus diatur,” tambahnya.

“Jangan lupa dengan desa, back to basic, ayo membangun pangan dari desa. Dana desa harusnya didorong untuk memproduksi secara masif pangan di pedesaan,” pungkas Sofjan.

Sementara itu, Expert Board KRKP David Ardhian mengatakan, pandemi Covid-19 di Indonesia sudah memasuki gelombang kedua. Gelombang pertama terjadi di kota-kota besar dan gelombang kedua terkadi dari kota ke desa. “Jika kita sepakat bahwa ini kondisi kritis, kita perlu memahami kondisi pangan kita sebelum krisis. Sebelum krisis, situasi pangan kita juga tidak baik-baik saja,” jelas David.

Berdasarkan Global Hunger Index, kata David, posisi pangan kita berada di peringkat 130 dari 197 negara. Dalam situasi krisis, maka rakyat miskin yang ada di kota akan sangat terpukul. “Ada 60% lebih masyarakat ini mengurangi kualitas pangan yang mereka belanjakan,” ujarnya.

Global Hunger Index 2019 Indonesia berada situasi kelaparan yang serius

Kelompok lain yang juga ikut terpukul secara ekonomi, dalam konteks di Sumatera adalah petani sawit. “Rakyat yang bekerja terhambat oleh delaying supply (karena harga ditentukan pasar global), sehingga pendapatan perusahaan turun, pegawai berkurang pendapatannya,” kata David. Kelompok ketiga, adalah nelayan kecil pedesaan yang terdampak iklim. “Terakhir adalah kelompok di remote area yang saat ini juga bergantung beras, bukan pangan lokal,” tambahnya.

Karena itu, dalam menangani pandemi Covid-19, kata David, kita tidak bisa tidak bisa melihat desa dan kota terpisah. Kebijakan di kota akan mempengaruhi beban di desa. Hubungan desa dan kota bukan hanya hubungan bersifat ekonomi, ikatan sosial juga terjadi.

“Orang urban yang commuter tidak ada yang tau bahwa mereka juga disubsisdi orang desa. Sebetulnya sektor formal juga disubsisdi sektor informal dari desa. Apa yang bisa kita siapkan?” tegasnya

Selain itu, pasca pandemi, kebutuhan pangan akan sangat krusial karena tidak akan cukup, termasuk juga soal gizi karena kesehatan, masyarakat juga harus survive. “Konteks kedepan kita harus berpikir tidak hanya soal pangan pokok, tapi harus mulai menginjak ke kebutuhan gizi,” ujar David.

Kalau masayarakat hanya diberi makan pokok sehingga gizi tidak tercukupi maka tidak akan teratasi. Penting untuk menaruh soal gizi pada kedaulatan pangan. “Bagaimana strategi kita untuk masyarakat yang kondisi berbeda-beda? Tidak bisa kita menyelamatkan rakyat dengan kebijakan yang seragam,” tegasnya.

Yang penting pada kesiapan di desa adalah pertama, integrasi dengan infrastruktur yang ada di desa perlu diperkuat. Kedua, dampak ekonomi perlu direspons tidak hanya masalah desa-kota.

Ketiga, secara sosial, konsolidasi membangun solidaritas. “Sayangnya tidak ada komunikasi yang sama yang bisa dirujuk masyarakat,” kata David. Keempat, pangan dan pertanian. “Ada kelompok yang berpotensi menopang pangan yaitu perhutanan sosial misalnya,” jelasnya.

Karena itu, perlu ada kombinasi langkah taktis dan langkah strategis. Pertama, yang harus diselamatkan adalah petani, buruh tani, informal. Kedua, memastikan pangan cukup, distribusi lancar. “Diselamatkan dalam arti mengidentifikasi mana kelompok rentan serta mengkomunikasikan dengan baik. Sehingga implikasi sosial dan ekonominya. Warga kota yang terhambat mudik, membutuhkan upaya-upaya mengkaitkan desa di sekitar dengan warga kota,” papar David.

Situasi pandemi ini, ujar dia, menjadi kesempatan untuk desa dalam mengidentifikasi resource mobilisation dalam rangka memperkuat pangan desa. “Termasuk mendorong pertanian sehat, dimana pertanian dapat memperbaiki tarf hidup (gizi dan ekonomi),” katanya.

David juga mengatakan, upaya intervensi krisis harusnya menjadi desain pasca krisis. “Justru pandemi ini menyadarkan bahwa kedaulatan pangan tidak hanya soal ketersediaan pangan. Tetapi lebih ke hak masyarakat untuk menentukan sistem pangannya sendiri,” ujarnya.

“Kita tidak bisa bekerja sektoral, seringkali dibatasi birokrasi dan tupoksi. Kita perlu menghadapi krisis ini, tetapi harus tidak kaget jika ada krisis kembali,” ujarnya.

Terakhir, dalam situasi seperti sekarang ini, kita juga wajib mewaspadai aksi spekulan pangan. “Musuh bersama kita sekarang adalah spekulan pangan yang memperburuk keadaan. Belajar dari berbagai krisis, sistem pangan menjadi penentu. Menjadi potensi untuk memperbaiki isu pangan. Kota runtuh, perekonomian runtuh, kalau desa runtuh, kehidupan runtuh,” pungkasnya.

Leave a Comment