web analytics

Perempuan Topang Kedaulatan Pangan

17
Mar

Perempuan dari sejumlah daerah di Nusantara menjadi pejuang kedaulatan pangan. Dengan cara masing-masing, mereka mengembangkan pertanian sebagai kekuatan pangan lokal.

Perempuan buruh tani menuju sawah dengan sepeda di Desa Guyung Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi

Masamba, Kompas– Di tengah ketergantungan terhadap impor pangan, muncul para petani muda dan perempuan di sejumlah daerah di Indonesia yang memperjuangkan kedaulatan pangan. Inisiatif mereka ditularkan kepada para petani lain dalam serangkaian diskusi memperingati Hari Perempuan Internatsional di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Festival pangan lokal menghadirkan aneka olahan pangan selain beras seperti sagu dan ubi

Acara dibuka dengan seminar nasional tentang kontribusi perempuan dan generasi muda dalam sistem pertanian dan perwujudan hak atas pangan di Masamba ibu kota Luwu Utara, Rabu (11/3/2020). Acara dipusatkan  di Desa Uraso, Kecamatan Mappedeceng, Luwu Utara, Kamis meliputi festival pangan lokal yang diikuti serangkaian dialog dan berbagi pengalaman antar akademisi, aparat pemerintahan, serta pegiat pertanian dan pangan.

Pertemuan pejuang pangan dan duta petani muda dari sejumlah daerah dihadirkan untuk memberikan inspirasi. Sejak 2013, Oxfam Indonesia telah memberikan apresiasi kepada 23 perempuan pejuang pangan dari penjuru Nusantara dan bersama Koalisi Rakyat untuk  Kedaulatan Pangan (KRKP) telah memilih ppara duta petani muda sejak 2015.

Petani Organik

Bupati Lutra Indah Putri Indiani dan duta petani muda Apni menjadi pembicara seminar

Apni Olivia Naibaho (36), finalis Duta Petani Muda 2016 dari Pematang Siantar, Sumatera Utara, menyampaikan upaya untuk mengembangkan pertanian sayur organik dan hidroponik di kampungnya.

Sebelum memutuskan pulang kampung dan menjadi petani pada 2013, perempuan berpendidikan master ini telah bekerja di Jakarta. Dia kemudian mengajak perempuan lain di kampungnya untuk mengembangkan sayuran organik. Kini selain memproduksi sayur mayur organik. Apni juga mengolah aneka  sayuran menjadi makanan ringan. Semua produknya dipasarkan secara dalam jaringan (daring).

Suparjiyem, perempuan pejuang pangan 2013 dari Gunung Kidul. Daerah Istimewa Yogyakarta, berbagi pengalaman menggerakkan komuniktas untuk memanfaatkan tanaman lokal di daerahnya yang identik dengan kemiskinan dan kekeringan. Dengan inovasi dan keuletan, dia membudidayakan tanaman uwi, gembili, garut, gadung, singkong, ganyong, hingga sorgum dan beragam pangan lain sehingga bernilai ekonomi tinggi.

Sementara Jumiati (39) dari Desa Sei Nagalawan, Perbaunagan, Serdang Berdagai, Sumatera Utara menuturkan upaya mengembangkan mangrove menjadi beragam produk makanan dan minuman. Selain itu bersama Kelompok Nelayan Perempuan Muara Tanjung yang dipimpinnya, dia sukses menjadikan hutan mangrove yang mereka tanam sejak 2005 sebagai tempat wisata. Awalnya penanaman mangrove itu dimaksudkan untuk memperbaiki lingkungan pantau yang rusak.

Bupati Luwu Utara Indah Putri Indiani berhadap kedatangan para duta petani muda dan perempuan pejuang pangan ini bisa memberikan inspirasi untuk mengembangkan pertanian di daerahnya . “Sebanyak 75 persen penduduk Lawu Utara merupakan petani dan 54,3 persen pendapatan daerah kami disambang dari sektor pertanian. Karena itu kami menjadikan pertanian dan petani sebagai salah satu fokus pembangunan terutama pangan lokal berbasis lokal sagu” katanya.

Pemenuhan Pangan

Mia Siscawati dalam orasi ilmiah bersama perempuan pejuang pangan dan duta petani muda di Desa Uraso

Mia Siscawati pengajar Gender dan Lingkunagn Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, mengatakan “perempuan dan pemuda merupakan kunci kedaulatan pangan di Indonesua. Meski demikian peran mereka di sektor pangan dan pertanian selamat ini dipinggiran oleh kebijakan pembangunan, terutama pada era Orde Baru.

Dia mengajak perempuan dan anak-anak muda untuk lebih aktif dan membangunan jaringan demi menjawab berbagai persoalan pangan ke depan yang semakin kompleks. Selain ketergantungan pada pangan impor yang meningkat dan perubahan iklim, pemenuhan pangan juga menghadapi penurunan keragaman hayati.

“ Tahun (2019) lalu, lembaga PBB bidang lingkungan hidup (UNEP) telah memperingatkan satu juta spesies di bumi menuju kepunahan. Hilangnya ragam hayati ini akan berdampak pada sektor pangan” Ujarnya.

Masyarakat adat di sejumlah daerah di Indonesia sebenarnya telah mempraktikan sistem budidaya tanaman dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan menjaga keragaman pangan. Namun hal itu kemudian dirusak oleh Revolusi Hijau yang mendorong penyeragaman pangan ke beras. (AIK)

Leave a Comment