Peningkatan kesejahteraan petani merupakan salah satu visi utama dalam pembangunan pertanian, yang bertujuan untuk mencapai swasembada pangan sekaligus memperbaiki taraf hidup para petani dan menguatkan resiliensi terhadap ketidakpastian, baik dalam konteks ekonomi maupun perubahan iklim. Namun, kenyataannya, kesejahteraan petani skala kecil dan buruh tani semakin tergerus. Meski produksi pertanian terus meningkat, hal ini belum diimbangi dengan perbaikan taraf hidup para petani skala kecil dan buruh tani.
Pada tahun 2024, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) bersama Lapor Iklim merilis survei persepsi petani terkait akses terhadap berbagai sumber daya pertanian. Hasil survei tersebut mencerminkan tantangan besar yang masih dihadapi petani. Sebanyak 30,6 persen petani melaporkan tidak mengalami perbaikan akses irigasi, sementara 35,9 persen menghadapi kesulitan mendapatkan akses pupuk. Selain itu, 43,8 persen petani menyebutkan tidak memiliki akses permodalan yang memadai, dan 47 persen tidak mendapatkan akses lahan yang mencukupi untuk digarap.
Data ini menunjukkan bahwa meskipun berbagai program dan kebijakan telah dicanangkan, masih terdapat keterbatasan nyata dalam upaya pemerintah memperbaiki akses petani terhadap sumber produksi pertanian. Kondisi ini menegaskan pentingnya langkah konkret untuk mendukung petani kecil agar lebih sejahtera, termasuk melalui peningkatan akses terhadap irigasi, pupuk, permodalan, dan lahan. Jika dibiarkan, hal ini dapat berdampak pada semakin lemahnya ketahanan pangan nasional serta hilangnya kedaulatan petani sebagai pilar utama dalam sistem pertanian Indonesia.
Ditambah lagi, permintaan global akan beras terus meningkat, sangat kontras jika dikomparasikan kemiskinan ekstrem yang dihadapi oleh mereka yang terlibat dalam produksinya. Menyadari adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pendapatan dari mata pencaharian di tingkat petani dalam sektor ini, terutama mengingat kerentanannya terhadap perubahan iklim, untuk menghadapi tantangan yang semakin nyata, diharapkan munculnya suatu inisiasi yang akan meningkatkan ruang sosial dan ekonomi serta daya lenting masyarakat petani padi skala kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Indonesia.
Di Indonesia sendiri, sampai saat ini belum ada yang dapat menggeser beras sebagai pangan pokok. Tercermin dari kebijakan pembangunan pertanian yang semakin monokultur, berdampak pada ketergantungan masyarakat terhadap komoditas pangan beras. Beras juga menjadi komoditas pangan paling strategis yang mendapat prioritas dalam program pembangunan nasional. Tercatat hasil SUSENAS September 2022, bahwa tingkat partisipasi konsumsi beras mencapai 98,35%. Artinya, sebesar 98,35% rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi beras sebagai pangan pokoknya, dan menjadi urutan paling atas dalam persentase konsumsi pangan pokok di region ASEAN.
Komoditas perberasan saat ini bukan hanya menjadi urusan perut saja namun sudah masuk dalam komoditas politik. Pada tahun 2024 kemarin, pemerintah berhasil memecahkan rekor nasional dalam pemenuhan kebutuhan pangan beras melalui impor sebesar 3.85 juta ton, yang berperan penting pada drastisnya peningkatan harga beras global. Berbanding jauh jika dikomparasikan dengan tahun-tahun sebelumnya, bahkan di masa pandemi yang hanya mencapai 407 ribu ton pada tahun terparah pandemi Covid-19 tahun 2021. Pengaruh kebijakan pemerintah Indonesia terhadap harga beras tingkat global dapat terlihat dari turunnya harga beras global pada 2025, dari 640 USD per metrik ton pada akhir 2024 menjadi 400-an USD per metrik ton pada awal 2025, setelah pemerintah memutuskan kebijakan swasembada beras.
Preferensi konsumen juga memiliki pengaruh, saat ini beras putih masih menjadi pilihan utama, namun konsumen hanya memiliki 2 opsi yakni beras organik atau beras konvensional, yang juga berakibat pada fokus produksi produsen pertanian. Beras organik bersertifikasi dengan segala kelebihannya belum mampu menjawab tantangan daya beli masyarakat Indonesia. Sementara beras konvensional, walaupun terdapat aturan dalam Peraturan Kementerian Pertanian Nomor 53 Tahun 2018 terkait batas maksimal bahan aktif pestisida, dalam praktiknya sulit untuk mengukur residu kimia yang terkandung dalam beras konvensional di pasaran. Belum terdapat opsi lain yang bisa menjembatani gap antara beras konvensional dan beras organik.
Penguatan ruang sosial dan ekonomi diharapkan akan dicapai dengan strategi peningkatan produktivitas pertanian melalui adopsi praktik produksi Platform Beras Berkelanjutan (SRP) dan mengadvokasi pemerintah agar memberikan pengakuan atas beras bersertifikat SRP sebagai ‘beras khusus’, sehingga memungkinkan petani untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi, sekaligus menghasilkan beras yang sehat dan berkelanjutan. Beras berkelanjutan ini juga dapat menjadi opsi lain bagi seluruh pelaku supply chain perberasan yang saat ini hanya mengandalkan beras konvensional dan beras organik sebagai penopang penghidupan, serta bagi konsumen beras putih yang menginginkan beras sehat berkelanjutan minim residu kimia hasil endapan pestisida yang digunakan secara masif dan beras organik dengan harga sesuai jangkauan daya beli masyarakat.
Melihat trend penurunan daulat petani terhadap akses pada sumber produksi pertanian yang semakin hari semakin kritis, KRKP bersama dengan Preferred by Nature (PbN) dan Rikolto Indonesia, didukung lembaga pendanaan sosial dari Denmark yakni Civilsamfund I Udvikling (CISU), memulai inisiasi proyek Beras Tangguh. Visi dan misi dari proyek ini merupakan kristalisasi dari gabungan pemikiran masyarakat sipil yang berseberangan dengan kebijakan pembangunan pertanian saat ini, yang cenderung pragmatis dan tidak melihat petani skala kecil serta buruh tani sebagai subyek dari pembangunan pertanian itu sendiri.
Long term vision dari Proyek Beras Tangguh ini selain memperkuat kapasitas internal mitra lokal dan memberdayakan organisasi petani untuk dapat mengadvokasi kepentingan petani, namun juga mengadopsi metode budidaya padi berkelanjutan yang menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, lingkungan, kesehatan, dan iklim dalam jangka panjang. Intervensi ini akan membantu petani meningkatkan produktivitas dan menghasilkan ‘beras khusus’ yang berkelanjutan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi, dengan cara yang berkelanjutan secara sosial dan lingkungan. Langkah perwujudan cita-cita ini, adalah melalui penguatan kelembagaan organisasi kelompok petani (FO) yang ada di 5 Kabupaten, Klaten, Boyolali dan Sragen di Jawa Tengah, Madiun dan Ngawi di Jawa Timur, maupun penguatan melalui Sekolah Lapang Petani (SLP) lokal hingga organisasi petani di tingkat nasional.
Kelompok tani menjadi salah satu pemeran kunci bagi keberlangsungan sektor pertanian. Selain menjadi wadah bagi para petani untuk tempat pembelajaran komunal, soliditas kelompok tani juga berperan penting bagi perolehan berbagai akses produksi pertanian. Kelompok-kelompok tani ini akan didukung melalui pelatihan penguatan kapasitas dan diharapkan dapat secara efektif melayani anggota mereka serta dapat memiliki kemampuan untuk melobi otoritas publik dalam meningkatkan dukungan dan meningkatkan peluang untuk menjual beras khusus dengan harga premium yang dapat dinegosiasikan secara bebas, sehingga memungkinkan penghidupan yang layak bagi para petani padi, termasuk petani penggarap skala kecil dan buruh tani.
Tantangan besar lainnya adalah permintaan beras global yang diproyeksikan melebihi kapasitas produksi sebesar 44% pada tahun 2050, dengan sebagian besar konsumennya adalah mereka yang paling miskin, yang bergantung pada beras yang murah dan berlimpah untuk menopang kehidupan. Hal ini benar terjadi di Indonesia, yang meskipun merupakan produsen beras terbesar ketiga di dunia, masih belum juga mencapai swasembada. Entah itu akan terjadi dan/atau kapan, Indonesia terus berpacu dengan jumlah penduduk yang diperkirakan akan meningkat sebesar 54,4 juta jiwa dari tahun 2020 hingga 2045, pengentasan kemiskinan, alternatif pangan pokok, dan peningkatan produktivitas budidaya padi (kg/ha).
Sementara itu, produksi beras menyediakan mata pencaharian bagi sekitar 14 juta rumah tangga petani, yang sebagian besar adalah petani kecil dengan lahan kurang dari satu hektar. Dengan berbagai justifikasi, saat ini sektor beras diliputi oleh kontrol pemerintah melalui regulasi impor/ekspor, intervensi harga, kebijakan alokasi lahan, dan layanan penyuluhan pertanian. Kontrol ketat pemerintah dalam kebijakan perberasan mencerminkan pengakuan dari pemerintah, bahwa jika masyarakat tidak mampu makan nasi tiga kali sehari, masyarakat akan kelaparan, yang nantinya akan mengakibatkan ketidakstabilan keamanan dan berujung pada gangguan kedaulatan negara.
Oleh sebab itu, kehadiran Proyek Beras Tangguh diharapkan dapat membantu seluruh stakeholders, baik pada sinergitas program pertanian rendah karbon dari pemerintah yang nantinya akan memberikan dampak terhadap penurunan Nationally Determined Carbon (NDC), sesuai kesepakatan Indonesia dalam Paris Agreement maupun program pemerintah lainnya. Namun utamanya adalah pemberdayaan petani skala kecil dan buruh tani untuk lebih berdaulat, memperkuat organisasi tani agar menjadi ujung tombak dalam perbaikan terhadap akses kepada sumber daya produksi serta meningkatkan ruang sosial dan ekonomi masyarakat tani secara sirkuler. Tidak hanya hasil produksi beras saja yang tangguh namun petani, kelompok tani, lingkungan dan ekosistem pertanian pun turut meningkat ketangguhannya. Karena Daulat Kelompok Tani merupakan bagian Kedaulatan Pangan.
Ditulis Oleh: Nara