“Pangan merupakan soal hidup-matinya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka akan terjadi “malapetaka” oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner” (Ir. Soekarno). Begitu kira-kira cuplikan pidato Ir. Soekarno saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia. Cuplikan pidato tersebut menandai keseriusan permasalahan pangan dan perhatian besar sang proklamator terhadap kebutuhan pangan bagi bangsa.
Kebutuhan pangan tidak terlepas dari sistem pangan. Sistem pangan merujuk pada semua proses dan interaksi yang terlibat dalam produksi, distribusi, konsumsi, dan pengelolaan makanan dari petani atau produsen hingga konsumen akhir. Mencakup segala hal mulai dari produksi pertanian dan peternakan, pengolahan makanan, distribusi dan transportasi, hingga akses dan keamanan pangan bagi individu dan komunitas. Sistem pangan juga melibatkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang kompleks. Dengan kata lain, sistem pangan mencakup seluruh rantai nilai makanan dari awal hingga akhir, serta faktor-faktor yang memengaruhi dan dipengaruhi olehnya.
Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi modern telah mendukung bidang pertanian sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat. Namun, di tengah kondisi seperti ini masih ada komunitas atau masyarakat adat yang tetap berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional dalam tata kelola pemenuhan pangan sebagai upaya melestarikan nilai budaya dari leluhur. Tentunya cara-cara berdasarkan kearifan lokal akan berbeda dengan cara-cara modern yang saat ini kita kenal. Akan tetapi nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat lebih menjunjung tinggi keselarasan dengan alam. Sehingga menitikberatkan pada keberlanjutan lingkungan. Masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional dalam sistem pemenuhan kebutuhan pangan adalah Kampung Adat Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor.
Kampung Adat Urug dibagi dalam tiga wilayah, yaitu Urug Atas, Urug Tengah, dan Urug Bawah. Setiap wilayah dipimpin oleh ketua adat yang bertugas dalam memimpin jalannya adat yang ada disana seperti dalam hal bertani dan kehidupan sehari-hari. Mayoritas masyarakat di Kampung Adat Urug merupakan petani padi. Hal ini juga terlihat jelas dari lanskap wilayahnya yang terdiri dari sawah berbentuk terasering dikarenakan kampung ini sendiri terletak di dataran tinggi. Cara pertanian masyarakat Kampung Adat Urug masih tradisional karena mereka berpegang teguh pada adat-istiadat leluhur. Keunikan sistem pangan berdasarkan adat di Kampung Adat Urug dapat dilihat dari proses produksi, distribusi, dan konsumsi yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal mereka.
Sub-sistem Produksi Padi
Produksi beras di Kampung Adat Urug masih menggunakan sistem sederhana yaitu mengandalkan hujan sebagai pengairannya dan alat-alat tradisional seperti cangkul dan etem untuk memanen padi. Siklus pertanian mereka dilakukan saat musim hujan dengan jangka waktu sekitar 6-7 bulan sekali. Sebelum melakukan penanaman, mereka akan mengolah lahan sawahnya terlebih dahulu. Namun sebelum itu, ketua adat akan melakukan ritual dengan cara berdoa kepada Tuhan dan leluhurnya dalam menentukan hari yang tepat untuk mulai mengolah lahan dan mendapatkan petunjuk kapan populasi hama masih rendah dan masih berada di sarangnya seperti tikus dan keong mas.
Sebelum lahan dibajak, petani bersama ketua adat berdoa agar tanah yang dibajak “ridho dan ikhlas” untuk ditanami. Pengolahan lahan biasanya terdiri dari proses pembajakan yang masih menggunakan kerbau. Hal ini dikarenakan jalan ke sawah yang tidak datar sehingga tidak dapat dilewati oleh traktor. Selain itu juga untuk menjaga tanah agar teksturnya tidak keras/padat akibat mesin traktor. Pembajakan sawah menggunakan kerbau merupakan ciri khas yang unik dalam proses pengolahan lahan di sana, maka tidak heran di beberapa tempat kita akan melihat kandang kerbau atau kerbau yang sedang digembala oleh masyarakat.
Setelah pengolahan lahan, petani akan menyemai padi yang dilakukan di sawah selama 40 hari. Padi yang disemai merupakan varietas padi lokal yaitu padi sri kuning, padi merah, padi hitam. Waktu dalam penyemaian ini berdasarkan kolenyer atau kalender adat yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga mereka baru menanam padi setelah tepat 40 hari setelah penyemaian. Sebelum mulai menanam padi, petani akan berdoa, meminta pada Tuhan dan leluhurnya agar tanaman padinya tumbuh subur dan hasilnya berlimpah. Penanaman padi dilakukan secara tradisional dengan sistem cara tandur (tanam-mundur) yang dilakukan oleh perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan lebih rapi dan teliti dalam menanam padi.
Selama perawatan tanaman padi, masyarakat tidak boleh menggunakan pestisida kimia sintetik karena dapat meracuni tanah dan merusak ekosistem sawah, sehingga mereka menggunakan pestisida alami atau organik dari bawang putih, bawang merah, bawang bombai, dan buah mengkudu yang dihaluskan, direndam air dan difermentasi selama satu malam. Kemudian air rendaman tersebut disemprotkan ke tanaman padi untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman padi.
Ketika padi mulai menguning semua, maka ketua adat akan melakukan ritual dengan cara meminta petunjuk dari Tuhan dan leluhurnya untuk menentukan kapan waktu panen yang tepat. Cara panen masyarakat Urug juga masih sederhana yaitu menggunakan etem (ani-ani), sehingga padi yang dipanen masih menyatu dengan batangnya. Setelah dipanen dengan etem, padi akan diikat jadi satu (pocong) yang terdiri dari beberapa batang padi. Kemudian padi tersebut akan digantung dan diletakkan di atas bambu yang dibuat secara horizontal di tempat pengeringan dekat sawah untuk proses penjemuran hingga kering.
Seperti halnya masyarakat adat Sunda lainnya, masyarakat Urug menyimpan gabah padi yang telah kering dalam sebuah bangunan yang terbuat dari kayu yang bernama Leuit. Padi dalam Leuit akan terus disimpan dalam waktu yang lama, bahkan bisa 30 tahun lebih. Sebelum menyimpan padi dalam leuit, petani atau masyarakat melakukan ritual berdoa kepada leluhurnya agar padi yang disimpan tetap dalam kondisi baik, tidak rusak dan aman untuk dikonsumsi. Mereka akan mengambilnya saat hendak dikonsumsi.
Namun tidak sembarangan mengeluarkan padi dalam leuit. Ada upacara yang dilakukan dan harus hari tertentu saja. Seperti hari Selasa dan Jumat tidak boleh mengeluarkan padi karena hari tersebut dianggap sebagai hari pantangan, dikarenakan Dewi Sri sedang pengantinan (eukeur pangantenan). Proses penyimpanan padi dalam leuit di Urug juga tidak sembarangan. Terdapat pola tertentu seperti pola naga yaitu menyimpan padi yang dimulai dengan mengisi bagian samping memutar searah jarum jam, atau dengan pola tengah yang mengisi bagian tengah terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan mengelilingi pinggir leuit. Pola ini dimaksudkan agar tiap lapisan padi tidak terlalu rapat, agar ada celah untuk sirkulasi udara di dalam leuit, sehingga kelembaban udara dalam lumbung padi terjaga dengan baik dan stabil. Selain itu, padi yang akan digunakan sebagai benih musim tanam berikutnya disimpan di rumah atau di tempat lainnya.
Sub-sistem Distribusi
Secara hukum adat, gabah padi tidak boleh dijual. Artinya hanya boleh untuk konsumsi saja. Gabah boleh dipinjamkan ke masyarakat di sekitar kampung yang membutuhkan dan harus dikembalikan pada saat panen yang akan datang. Mayoritas masyarakat tetap berpegang teguh pada aturan adat ini untuk tidak menjual padinya dan disimpan sebagai cadangan pangan. Meskipun saat ini ada beberapa orang yang mulai menjual gabahnya hingga ke luar kampung.
Gabah padi yang telah disimpan dalam leuit akan dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari, untuk upacara adat seperti sedekah bumi, seren taun, dan sebagian lagi disimpan untuk dijadikan benih pada masa tanam berikutnya. Padi merupakan suatu hal yang sakral bagi masyarakat Urug karena itu merupakan pangan utama dan simbol kecukupan pangan mereka serta warisan dari leluhurnya yang harus mereka jaga dan pelihara. Jika ada masyarakat menjual padinya maka mereka akan mendapat “hukuman” yaitu keluarganya akan terus mengalami kekurangan makanan meskipun hasil panennya lebih banyak dari yang lainnya.
Sub-sistem Konsumsi
Padi yang telah disimpan di dalam leuit akan mereka konsumi sehari-hari. Namun, sebelum mereka mengkonsumsinya, ada ritual adat yang rutin mereka lakukan seperti Nganyaran dan Seren Taun. Nganyaran adalah ritual sebelum Seren Taun yang dilaksanakan di rumah masing-masing sebagai proses perayaan dalam memakan beras baru. Adat ini dicirikan dengan tidak boleh berbicara saat proses penumbukan gabah hingga memasak nasi selesai. Bahkan bagi tamu yang datang berkunjung pun dilarang untuk bertanya kepada pemilik rumah yang sedang melakukan ritual Nganyaran ini.
Adapun Seren Taun merupakan acara panen raya yang dilakukan oleh semua lapisan masyarakat Kampung Adat Urug setelah panen padi. Acara ini terdiri dari syukuran, tari-tarian, penampilan seni, wayang golek, dan beberapa pentas seni lainnya. Biasanya acara Seren Taun juga dihadiri oleh masyarakat di luar Kampung Adat Urug. Seren Taun bermakna melepaskan hal lama untuk menyambut yang hal baru. Dalam konteks padi, masyarakat akan melepaskan hal buruk saat bercocok tanam padi pada tahun sebelumnya kemudian menyongsong bercocok tanam padi pada tahun berikutnya dengan semangat baru. Acara Seren Taun merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat Kampung Adat Urug terhadap Sang Pencipta yang telah melimpahkan hasil panen padi kepada mereka.
Selain beras sebagai makanan pokok, masyarakat Kampung Adat Urug juga mengkonsumsi makanan lain seperti ubi, jagung, sayuran, ikan asin, dan ayam. Mayoritas sayuran dan protein hewani diperoleh dengan cara membeli di pasar tradisional. Meskipun ada beberapa masyarakat yang beternak ayam, ikan, dan menanam sayuran di pekarangan rumahnya untuk kebutuhan pangan sehari-hari.
Sangat menarik bukan sistem pangan di Kampung Adat Urug? Ditengah kemajuan zaman dan teknologi, mereka tetap berpegang teguh pada adat dan budaya leluhur. Ciri khas sistem pertanian yang masih mengedepankan cara tradisional dan kearifan lokal menjadi keunikan sendiri yang dimiliki oleh masyarakat adat ini. Meskipun begitu, kearifan lokal yang mereka miliki tidak seharusnya dipandang sesuatu yang kuno dan kolot. Justru, kearifan lokal tersebut menjadi aset kekayaan budaya bertani dan menjadi salah satu contoh sistem pangan yang sustain dan resilien dalam pemenuhan pangan bagi masyarakat.
Ditulis oleh: Fitra Fajar