Lumbung Komunitas: Menjaga Pangan Tersedia di Saat Pandemi COVID-19
Bogor, 17 April 2020 – Meluasnya wabah yang disebabkan oleh virus corona atau disebut dengan Covid-19 memberikan dampak krisis secara global, termasuk Indonesia. Krisis yang ditimbulkan, tidak hanya krisis kesehatan, Covid-19 juga memberikan dampak serius terhadap segala sektor kehidupan. Perekonomian anjlok, psikologi masyarakat dibayang-banyangi ancaman, dan pembangunan yang mandeg.
Situasi dengan segala sisi menjadi terhenti dan tidak pasti, membuat social shock di tengah-tengah masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, pangan harus tetap dipenuhi dan tidak bisa ditunda. “Pangan merupakan hak asasi bagi semua warga negara. Pemenuhan pangan menjadi tanggung jawab negara sebagai bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya,” kata Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdullah, pada sesi diskusi Obrolin Pangan #10, yang digelar secara daring, Jumat (17/4).
Dalam diskusi bertajuk: “Sistem dan Cadangan Pangan Komunitas di Tengah Pandemi” itu, Said menegaskan, pengabaian terhadap hak atas pangan dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia oleh negara. “Bahkan apabila hal ini diabaikan dan berdampak serius maka sama saja dengan silent genocide. Pemenuhan hak atas pangan harus dilakukan dalam situasi apapun, termasuk saat wabah melanda suatu negara,” tambahnya.
Terlebih, pemerintah telah memutuskan untuk menerapkan Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya untuk menekan meluasnya outbreak virus corona. Kampanye bekerja di rumah saja juga masih secara terus-menerus disuarakan di media-media. “kebijakan ini bukan tanpa resiko, pergerakan masyarakat yang dibatasi dan bahkan terhenti, membuat aliran/distribusi bahan pangan terhenti juga,” jelas Said.
Testimoni yang didapatkan oleh KRKP dari beberapa petani dan pengusaha penggilingan padi di indramayu dan subang menyebutkan bahwa banyak kios-kios di Pasar Induk Tjipinang Jakarta tutup. Hal ini menyebabkan pesanan beras dari pemilik kios dan Gudang kepada penggilingan padi di Indramayu dan Subang terhenti. Pendistribusian beras dari sentra beras pantura Jawa Barat ini pun tertunda.
Stok beras yang sudah memenuhi gudang penggilingan padi membuat mereka menunda belanja gabah di tingkat petani. Sedangkan saat ini panen raya sedang terjadi. Alhasil, panen padi di petani berjalan lambat dan harga yang diterima petani terjun bebas . Pada pertengahan Februari masih berada di angka Rp5.500 per kg saat ini menjadi Rp3.900-Rp4.200 per kg gabah petani.
Di sisi lain, masyarakat membutuhkan beras untuk kebutuhan makan setiap hari. Sejumlah 10,5 juta jiwa penduduk di Jakarta, 2,3 juta jiwa di kota depok atau ratusan juta jiwa penduduk di daerah-daerah lain juga harus tetap makan dan membutuhkan bahan pangan. Dengan situasi distribusi bahan pangan pokok yang terganggu, ancaman kelangkaan pangan membayang-bayangi masyarakat di kota-kota besar.
“Sungguh dua posisi ekstrem, dimana kota-kota butuh pasokan pangan dan memiliki ancaman kelangkaan pangan, sedangkan desa-desa sedang berlimpah pangan karena memang sedang panen raya,” jelas Said.
Ketika dua posisi ekstrem di atas terjadi, masyarakat dan komunitas harus bergerak. Menggalang gerakan bersama untuk menggerakkan posisi pangan yang saat ini ada di desa-desa ke perkotaan menjadi hal yang mulia dan dapat mengantisipasi para spekulan yang hanya berorientasi untung. Atau, dalam internal desa jangan-jangan terdapat suatu sistem tertentu yang arif dan perlu diaktifasi dalam menyerap panen raya dan menyimpannya pada suatu tempat untuk kebutuhan masa akan datang.
“Pada situasi wabah seperti ini, sesungguhnya diperlukan dukungan struktur kebijakan pangan lokal yang kokoh agar tahan terhadap tekanan krisis dan memiliki daya pulih yang cepat setelah wabah berlalu,” tegasnya.
Lantas bagaimana cara membangun ketahanan pangan komunitas? Adakah contoh kelembagaan yang bisa ditiru untuk dikembangkan oleh wilayah lain? Desa Pendua, Kabupaten Lombok Utara bisa menjadi model. Desa ini sebagian besar warganya bekerja pada sektor pertanian pangan. Bahkan nilai neraca pangannya menunjukkan surplus pangan. Namun tanpa pengaturan yang serius, warga desa tetap memiliki risiko kelangkaan pangan.
Kasus kelangkaan di desa ini pernah terjadi pada gempa Lombok tahun 2018. Setelah gempa, stok pangan warga di Desa Pendua ini hanya bisa bertahan 3 hari saja. Belajar dari kasus gempa, Pemerintah Desa Pendua bersama warga mulai sadar untuk menata sistem pangan yang lebih Tangguh terhadap tekanan krisis, termasuk gempa bumi atau pagebluk seperti saat ini yang sedang terjadi, COVID-19.
Mereka membangkitkan local knowledge yang mereka miliki namun sudah sekian lama dorman, yaitu sambi. Sambi atau lumbung pangan tidak hanya dipandang secara fisik, namun sebuah sistem pangan. Sambi di awal tahun 2019 di desa pendua direvitalisasi yang memiliki fungsi dari proses produksi pangan, manajemen pendistribusian bahan pangan, penyimpanan pangan dan konsumsi pangan.
Abu, Kepala Desa Pendua menyampaikan, risiko masuknya Covid-19 ke desa kami tidak bisa kita elakkan, meskipun kami mengimbau dan mengotrol keluar-masuknya warga dari luar desa yang memungkinkan carrier virus corona. Dan yang paling penting adalah stok pangan di desa Insya Allah bisa tahan dalam beberapa bulan ke depan.
“Selain itu lumbung desa memfasilitasi hasil panen petani dapat didistribusikan di daerah-daerah lainnya agar tidak terjadi gejolak harga di tingkat petani, kami pastikan harga panen di petani tetap baik dan layak,” ujarnya.
Musisi Rara Sekar, yang juga merupakan pegiat komunitas urban farming menyampaikan, langkah komunitas di desa untuk menjaga pangannya tetap tersedia meskipun terjadi gelombang krisis itu sangat perlu. Selain itu, komunitas dibelahan lainnya, yaitu komunitas kota juga penting melakukan upaya dalam menjaga kedaulatan pangannya.
“Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan memanfaatkan ruang yang sempit di kota ini untuk budidaya tanaman seperti sawi, cabai, bahkan kami juga menanam jagung lho,” katanya. “Urban farming bisa menjadi pilihan untuk meningkatkan ketersediaan pangan di perkotaan,” pungkas Pelantun lagu “Yang patah tumbuh, yang hilang berganti” itu.