Jakarta, 21 Agustus 2024. Koalisi Masyarakat Sipil ajukan lima rekomendasi bagi transformasi sistem pangan Indonesia sebagai negara kepulauan. Rekomendasi-rekomendasi tersebut diharapkan dapat menjadi bagian penting dalam kebijakan sistem pangan nasional di pemerintahan baru.
Delapan butir rekomendasi tersebut pada Rabu (21/8/2024), dipresentasikan dalam Dialog Pangan bertajuk “Transformasi Sistem Pangan Negara Kepulauan” di Jakarta. Dialog tersebut diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, Yayasan KEHATI, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Loka Daya, Penabulu, Koalisi Pangan BAIK, Koalisi ADAPTASI, Aliansi VCA dan WWF Tanah Papua.
Perumusan rekomendasi transformasi sistem pangan ini dilakukan melalui proses dialog independen secara paralel yang melibatkan 167 peserta (85 laki-laki dan 82 perempuan) di tingkat lokal hingga nasional. Mereka berasal dari perwakilan organisasi masyarakat sipil, pemerintah, kaum muda, akademisi, budayawan, dan tokoh agama yang berasal dari berbagai daerah seperti dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua.
Adapun lima butir rekomendasi tersebut meliputi: Pertama, persoalan pangan perlu dilihat secara lintas sektoral. Kedua, penguatan sistem pangan untuk mencapai kedaulatan pangan dan keadilan bagi produsen pangan. Ketiga, sistem pangan harus dilihat dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki keragaman karakteristik ekosistem dan sosio-kultural. Keempat, pentingnya koreksi terhadap kebijakan dan tata kelola sistem pangan yang saat ini dikendalikan secara terpusat dan diimplementasikan dalam bentuk program yang seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia. Kelima, sistem pangan harus dikelola dari hulu ke hilir secara utuh.
David Ardhian, perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil Transformasi Sistem Pangan, menjelaskan. Lima rekomendasi itu terinci menjadi delapan agenda perubahan kebijakan sistem pangan, yang meliputi: Penataan agraria dan tata ruang produksi pangan; pengembangan pangan lokal, sistem pangan berbasis komunitas dan kearifan lokal;Pengembangan sistem pangan pesisir, pulau-pulau kecil dan pangan laut; Mendorong konsumsi berkelanjutan dan pengelolaan limbah pangan; Dukungan untuk pertanian ekologis dan resiliensi sistem pangan; Regenerasi petani muda; Regionalisasi dan desentralisasi tata kelola sistem pangan; dan Memperkuat riset dan inovasi untuk transformasi sistem pangan.
“Rekomendasi dan agenda perubahan tersebut dituangkan dalam policy brief terkait transformasi pangan nasional yang nanti akan kami ajukan ke pemerintah nasional maupun lokal,” ujar David.
Pangan Negara Kepulauan
Manajer Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI Puji Sumedi mengungkapkan, sistem pangan Indonesia sarat masalah dan cenderung memburuk kondisinya dalam 10 tahun terakhir. Kedaulatan pangan yang diamanatkan dalam Undang-undang 18 Tahun 2012, misalnya, tidak pernah terealisasi, bahkan makin menjauh dari tujuan kedaulatan. Ketergantungan pada impor pangan utama dan pergeseran pola konsumsi berbagai pangan lokal ke beras dan pertambahan populasi menyebabkan kebutuhan beras nasional terus meningkat, sementara kemampuan produksi pangan nasional cenderung stagnan.
“Di sinilah pentingnya pengembangan sistem pangan yang holistik dan sesuai dengan karakteristik potensi, keragaman pangan, budaya, dan keanekaragaman hayati Indonesia sebagai negara kepualauan. Oleh karena itu, kami dari koalisi masyarakat sipil merumuskan langkah-langkah penting apa yang perlu diambil untuk pengembangan sistem pangan kepulauan tersebut,” jelas Puji.
Arti Indallah Tjakranegara, Manajer Program Voices for Just Climate Action dari Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial menekankan pentingnya sistem pangan berbasis lokal serta kebijakan di tingkat subnasional maupun nasional bisa mengakomodir hak-hak kelompok rentan yang paling terdampak oleh krisis iklim. Perubahan iklim, degradasi lahan dan penurunan keanekaragaman hayati mengancam sistem pangan serta rusak atau hilangnya sistem pangan lokal yang selama ini ada di masyarakat lokal dan masyarakat adat.
“Sebagai masyarakat sipil kami melihat ini adalah momen yang sangat tepat di masa transisi untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang disusun dari pengalaman empiris masyarakat. Harapannya dapat memberikan rekomendasi berbagai kebijakan untuk pemerintah baru,” ujar dia.
Benediktus Bedil dari Koalisi ADAPTASI mengungkapkan, masyarakat adat telah berkontribusi dalam menjaga ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun dengan kearifan lokal mereka. Kemudian dalam rangka menyelamatkan ekosistem laut yang terancam punah, dalam perjalanannya mereka menemukan apa yang dinamakan dengan zona perlindungan laut.
“Praktik-praktik baik berbasis kearifan lokal ini perlu diperkuat dan dijaga agar menjadi praktik yang lebih luas dalam pengembangan sistem pangan yang adil, beragam, dan lestari,” imbuh Benediktus.
Sejalan dengan hal tersebut, Maria Mone Soge atau yang kerap disapa Shindy, sebagai salah satu local champion dari Desa Hewa, Flores Timur menyampaikan, transformasi sistem pangan perlu partisipasi anak muda. Anak muda seringkali diremehkan dan tidak didengar.
Di sisi lain, lanjut dia, anggaran dan program yang dikembangkan perlu melihat sumber daya lokal. Seringnya kebijakan yang ada justru memperburuk pola konsumsi masyarakat lokal desa.
“Kita perlu kembali melirik keberagaman pangan lokal di desa. Kita melihat keberagaman pangan lokal dapat memperkuat sistem pangan. Jika bergantung pada pangan impor, hal ini akan menghilangkan kearifan lokal di setiap daerah,” tegas Shindy.
Menanggapi policy brief yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil, Direktur Penganekaragaman dan Konsumsi Pangan Badan Pangan Nasional Rinna Syawal, mengatakan salah satu pendekatan sistem pangan adalah dengan demand driven dan pola konsumsi pangan harus berbasis pada sumber daya yang dimiliki. Hal ini akan mendorong produksi pangan berbasis sumber daya lokal. Pangan lokal menggerakkan ekonomi lokal, menjaga budaya dan kelestarian lingkungan.
“Tanggal 15 Agustus 2024 lalu telah mengeluarkan Perpres 81/2024, dengan tujuan meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, pemanfaatan, dan pengembangan usaha pangan lokal. Policy brief ini perlu juga memperhatikan aspek-aspek yang telah diatur dalam prepres tersebut,” kata Rinna.
Sementara itu, Dr. Sumarlan, S.Pd., MSi, Direktur Penyerasian Pembangunan Daerah Khusus, Kementerian Desa PPDT, menyambut baik rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil. Namun, dia memberikan catatan tentang pentingnya mendorong keragaman pangan dan gizi, baik dari nabati maupun hewani, yang dapat dikembangkan melalui pendekatan agroforestry berbasis kearifan lokal guna memperkuat sistem pangan lokal.
Andik Hardiyanto, Policy and Governance Specialist di WWF Indonesia juga menambahkan, Sistem pangan bisa digerakkan jika dijalankan oleh masyarakat lokal. Rekomendasi kebijakan perlu dielaborasi lagi bagaimana mengamankan sistem pangan lokal sebagai penggerak utama dari sistem pangan nasional.
“Dengan demikian, hal tersebut memunculkan sistem pangan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Transformasi sistem pangan perlu melindungi dan memperkuat sistem pangan lokal yang ada” pungkasnya