Persoalan beras yang ada hari ini merupakan akumulasi dari berbagai persoalan dan situasi. Jika kita runut, persoalan perberasan tahun ini sebenarnya sudah dimulai dari akhir tahun 2022 ketika terjadi pengurangan alokasi pupuk. Tanah di jawa sudah sangat tergantung pada pupuk kimiawi. Artinya, produksi sangat ditentukan oleh seberapa besar penggunaan pupuknya. Pada tahun 2023 pada kedua musim alokasi pupuk berkurang jauh, yang juga dipicu oleh perang rusia ukraina yang menyebabkan pasokan bahan baku pupuk terhambat. Rendahnya penggunaan pupuk menyebakan kualitas gabah menurun. Hal ini bisa dilihat dari rendemen gabah yang rendah. Rendemen turun 3-4%, artinya sekalipun produksi gabah tetap. Ketika dikonversi ke beras menjadi berkurang jauh.
Persoalan kedua, semakin menumpuk dengan adanya el nino. Produksi beras melorot jauh terutama pada musim ke dua dan ketiga. Pada musim panen Juli sampai Agustus bahkan September petani mengalami kehilangan hasil panen yang cukup besar bahkan ada beberapa petani yang mengalami puso. Sementara, pada wilayah pertanian padi tadah hujan seperti Banten, Banyuwangi atau sebagian Selatan Pulau Jawa mengalami penurunan produksi 1-2 ton per hektar bahkan pada musim tanam pertama. Situasi ini terus bergulir dan seolah dibiarkan. Ada dugaan lain hal ini terus dibiarkan agar memiliki alasan untuk impor demi kepentingan hajatan politik.
Jumlah produksi yang turun mendorong terjadinya ketidakseimbangan permintaan dan penawaran atau supply and demand. Oleh karenanya sejak awal tahun 2023 sampai saat ini harga beras luar biasa naik dan menjadi rekor terbesar pada 2024. Situasinya makin runyam Ketika pada bulan Desember-Februari beras ditarik dan dialihkan untuk kebutuhan Bantuan Sosial (Bansos) yang diduga lebih banyak kepentingan politiknya dalam jumlah yang besar. Hal ini tentu saja turut mempengrauhi ketersediaan beras. Terutama, beras yang dimiliki oleh bulog yang harusnya bisa dialokasikan ke pasar. Ketika harga makin menjadi atau stok beras di pasaran tidak ada. Situasi di atas diperberat dengan adanya aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras premium hal ini yang memicu kelangkaan beras di pasar modern dan ritel. Para pengusaha dan peritel tidak sanggup lagi memasarakannya karena kerugian pasti di dapat.
HET ditetapkan pemerintah dengan nilai maksimal 14.000/kg padahal dari hitungan biaya poduksi sekarang sudah mencapai 16.500/kg. Kondisi ini belum ditambah biaya-biaya produksi dan distribusi sebesar 1.200/kg. Kalo kita cermati harga gabah sampai saat ini sudah berlipat-lipat kali. Seperti yang terlihat pada tabel diagram berikut sejak tahun 2023 sampai 2024 di tahun 2023.
Dengan jumlah gabah yang sudah tidak ada di pasaran seperti Kondisi saat ini yang masih bisa memproduksi beras hanya penggilingan skala besar yang memiliki cadang gabah dan modal yang cukup. Kelangkaan beras premium karena adanya HET bisa memberikan dampak ke beras medium. Walaupun, kelas menengah perkotaan lebih memilih beras premium Ketika beras ini langka maka peluang bergeser ke beras medium ketimbang beralih ke non beras lebih besar peluangnya. Sementara untuk membeli beras impor terlalu jauh bedanya jika pun ada yang sanggup sebagian kecil saja rasanya. Artinya Ketika konsumen terkonsentrasi ke beras medium maka bukan tidak mungkin, dengan kertesediaan yang terbatas akan terjadi kenaikan yang siginfikan pada beras jenis medium dan jika terjadi maka yang paling terkena dampak adalah kelompok masyarakat strata bawah.
Bulog perlu mengambil tindakan secepatnya dengan melepaskan beras cadangannya ke pasaran. Asumsi adanya sisa kuota impor dari periode berikutnya maka hal ini harus segera didorong masuk ke pasar. Untuk jangka pendek, juga bisa bekerjasama dengan penggilingan yang memiliki stok beras untuk melepas ke pasar dengan harga yang menguntungkan tetapi tidak terlalu tinggi. Jika ada selisih pemerintah bisa menggantinya ke pengusaha sebagai bentuk subsidi. Pada sisi lain perlu dipertimbangkan untuk membuat relaksasi kebijakan HET supaya ketersediaan beras premium cukup.
ditulis Oleh: AYP