web analytics

Kelangkaan Pupuk: Momentum bagi Petani untuk Berkontribusi dalam Mengurangi Penyebab Perubahan Iklim

31
Aug

Sekitar bulan Juni hingga Juli tahun 2020 petani dihebohkan dengan kelangkaan pupuk bersubsidi. Kejadian ini juga terjadi di Indramayu dimana pada waktu tersebut, mayoritas petani sedang memasuki fase awal tanam padi pada musim pertama (MT 1). Kebiasaan petani untuk menggunakan pupuk kimia di awal musim tanam menjadikannya sangat bergantung dengan ketersediaan pupuk kimia terutama pupuk bersubsidi. Kebiasaan tersebut memaksa petani untuk tetap memupuk lahannya apapun keadaan dan konsekuensinya. Akhirnya, beberapa petani berbondong-bondong untuk membeli pupuk non-subsidi yang harganya bisa mencapai 2x lipat. Tentu saja hal ini membuat akumulasi biaya produksi pertanian mereka semakin meningkat.

Berbeda dengan Sumanto, petani Desa Kendayakan, Indramayu ini menjadikan momentum kelangkaan pupuk bersubsidi sebagai momentum untuk dapat mencoba alternatif lain selain pupuk kimia. Keikutsertaan Sumanto dalam sekolah lapangan padi biointensive di kelompok taninya cukup menumbuhkan rasa kritisnya terhadap suatu hal termasuk dalam hal pemupukan. Ia berusaha untuk menjawab rasa penasarannya dengan mencoba budidaya ekstrim tanpa pupuk kimia di sebidang lahannya. Sumanto tidak mengharapkan jawaban yang muluk-muluk dari percobaan yang iya lakukan. Ia hanya membutuhkan jawaban apakah ia akan tetap panen atau tidak walaupun budidaya yang dilakukannya terbilang ekstrim.

Rasa penasaran Sumanto ternyata juga dirasakan oleh istrinya, Dulinah. Bagaimana tidak, Dulinah sebagai manager keuangan keluarga cukup terpukul jika harus mengeluarkan uang 2x lipat untuk membeli pupuk. Sehingga ia juga bertanya-tanya apakah memang penggunaan pupuk di lahannya harus sebanyak itu. Sedangkan Dulinah juga memiliki kebutuhan lain yang mungkin lebih mendesak.

Baca Juga: Pestisida dan Kanker Payudara
Petani Kampung Darim Diskusi Hasil Pengamatan Lahan Biointensif

Mereka berdua memutuskan untuk tidak mengaplikasikan pupuk bersubsidi (pupuk urea) di salah satu petak sawah mereka. Penampakan tanaman di lahan mereka memang sedikit diragukan oleh beberapa petani lain. Mengingat hasil anakan yang lebih sedikit karena minimnya unsur N yang ditambahkan lewat pupuk urea. Namun hal ini tidak dihiraukan oleh mereka berdua mengingat tujuan awal mereka adalah menemukan jawaban.

Bapak Sumanto sedang menebar benih di lahan

Setelah hampir mendekati waktu panen, Sumanto dan Dulinah masih bisa tersenyum karena melihat tanamannya yang masih sehat dan keluar malai. Hingga tiba waktunya panen, mereka tetap bisa memanen padi mereka. Hasil panennya pun tidak jauh dari hasil-hasil panen sebelumnya. Tetapi yang pasti, Dulinah bisa merasakan bahwa pada musim tersebut praktis biaya produksinya menurun.

Rasa penasaran mereka berdua telah terpecahkan oleh pembuktian mereka sendiri. “Saya sudah membuktikannya sekarang, ternyata tanpa urea juga masih panen.” Ujar Sumanto. Hingga kini Sumanto dan Istrinya tetap menerapkan pola budidaya yang seperti ini. Pada beberapa sisi, dia memodifikasi cara bertaninya dengan pengetahuan baru yang Ia dapat dari sekolah lapangan. Pengetahuan baru yang didapat seputar pengembalian jerami ke lahan, pengaplikasian pupuk organik, dan pengurangan penggunaan pestisida juga melengkapi kemampuannya untuk berbudidaya yang ramah lingkungan tanpa mengurangi keuntungan ekonomi, seperti yang diungkapkan oleh Dulinah.

“Alhamdulillah sekarang tidak harus beli pupuk urea lagi, uangnya bisa Saya sisihkan untuk modal musim depan lagi. Pupuknya bisa diganti pakai jerami yang tidak dibakar.”

Pemupukan menggunakan N yang berlebihan akan berkaitan dengan emisi N2O, salah satu gas rumah kaca yang memiliki masa aktif 110 tahun di atmosfer serta memiliki global warming potential 298 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan CO2. Sebanyak 1% dari N yang digunakan dalam bentuk pupuk akan menjadi gas N2O. Belum lagi dampak lingkungan seperti eutrofikasi. Fenomena ini adalah pencemaran badan air oleh hara ang mengeliminasi kandungan oksigen di dalam tubuh air. Pemanfaatan jerami dengan mengembalikannya ke lahan sebagai pupuk organik juga menjadi upaya yang baik untuk mengurangi perubahan iklim. Pemanfaatan jerami ini juga turut mencegah adanya pembakaran jerami yang tentu saja menyumbang emisi karbon sebagai penyebab perubahan iklim.

Sekilas apa yang dilakukan keluarga Sumanto terlihat biasa saja. Padahal, upaya yang dilakukannya berkontribusi penting pada pengurangan penyebab perubahan iklim. Sumanto dan petani lain di Desa Kendayakan merupakan potret pihak yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Keberhasilan dalam budidaya padinya sangat bergantung pada kondisi alam, terutama iklim. Upaya yang dilakukan Keluarga Sumanto bahkan lebih dari sekedar menambah tabungan kantongnya di tengah kelangkaan pupuk. Upaya ini turut menyelamatkan kehidupan sembari meneruskan niat baik Sumanto untuk menyediakan pangan hingga ke meja makan kita.

Penulis: Wahyu Ridwan Nanta

One Comment

  1. budget meubels
    05 Sep 2021 17:33:12 Reply

    Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) dalam berbagai kesempatan selalu menegaskan keyakinannya, RI dapat melewati masa pandemi ini, bahkan keluar menjadi bangsa pemenang. Khususnya, untuk sektor pertanian, Mentan percaya kondisi ini bisa menjadi momentum memperkuat kemandirian pangan nasional. Saat ini, menurut Mentan SYL, semua insan pertanian harus tetap bekerja dengan semangat tinggi dan tangguh, untuk mewujudkan kemandirian pangan. Kita membutuhkan tenaga ekstra keras, pemikiran-pemikiran out of the box, serta kerja sama yang semakin erat. Saatnya para petani, penyuluh, peneliti, akademisi, swasta, dan pelaku sektor pertanian lainnya untuk menjadi pahlawan bagi bangsa dan negeri ini dengan semangat kebersamaan.

Leave a Comment