Indonesia mengalami bonus demografi dengan periode puncaknya pada 2020-2035. Bonus demogafi merupakan modal penting pencapaian tujuan-tujuan pembangunan menuju 100 tahun Indonesia Emas pada 2045. Namun, peluang itu dihadapkan pada tantangan tingginya angka pengangguran usia muda yang menyebabkan mereka tidak dapat berperan penuh dalam pembangunan.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pengangguran anak muda tertinggi kedua di Asia Tenggara. Badan Pusat statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2022 mencapai 8,4 juta jiwa, atau 5,86% dari total angkatan kerja nasional sebanyak 143,72 juta jiwa. Pengangguran usia muda (15 – 29 tahun) berjumlah 5,54 juta jiwa atau 65,99% dari total pengangguran nasional.
Sebagai sektor ekonomi terbesar serta sumber utama penghidupan dan pendapatan sebagian besar penduduk dunia. Sistem pangan menyediakan potensi besar untuk menampung lapangan kerja kaum muda. Sistem pangan meliputi produksi tanaman, ternak, agroforestri dan perikanan, pemasok input pertanian, pedagang, pengangkut, distributor, dan pengolahan dan pengemasan, grosir, pengecer, pedagang kaki lima, rumah makan, dan pengolahan limbah pangan. Menurut Word Economic Forum, sektor-sektor tersebut menyumbang $10 triliun. Hal ini lebih dari 12% PDB global pada tahun 2022 dan menampung lebih dari 40% seluruh lapangan kerja dunia.
Populasi yang terus bertambah, meningkatnya urbanisasi dan pendapatan kelas menengah akan meningkatkan permintaan terhadap pangan yang lebih beragam dan bernilai tambah. Jumlah penduduk Indonesia akan bertambah 54,42 juta orang dari tahun 2020 menjadi 324 juta orang pada 2045. Penduduk yang tinggal di perkotaan akan meningkat menjadi 69,1% pada tahun 2045.
Dengan jumlah yang besar, kaum muda merupakan kekuatan luar biasa untuk menggerakkan perubahan sistem pangan agar lebih berkelanjutan. Jika potensi besar mereka dikonsolidasikan dalam gerakan sistem pangan lokal, niscaya akan membuat seluruh rantai pasok pangan lebih efisien, berdaya saing dan lebih menarik bagi kaum muda. Keberhasilan strategi ini akan menjadi penentu terwujudnya ketahanan pangan generasi mendatang, transformasi sistem pangan berkelanjutan, dan pengurangan pengangguran serta migrasi.
Membuat Sistem Pangan Menarik Bagi Kaum Muda
Kaum muda pedesaan adalah salah satu kunci untuk mencapai Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). SDGs menyerukan transformasi besar dalam sistem pertanian dan pangan. Hal ini untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, dan meningkatkan gizi pada tahun 2030. Meningkatkan peran kaum muda dalam sistem pangan akan berkontribusi untuk memenuhi target SDG 2 dan seluruh Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.
Pengembangan sistem pangan berkelanjutan selain untuk menyediakan pangan yang cukup, sehat, dan seimbang. Kondisi ini bagi penduduk, juga berdampak langsung pada ketahanan pangan dan gizi. Berkembangnya sistem pangan berkelanjutan juga akan berkontribusi dalam menciptakan lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkelanjutan. Tidak hanya itu kondisi ini juga melestarikan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam planet kita.
Peluang kerja yang besar di sektor pangan belum dimanfaatkan optimal, karena kaum muda menghadapi berbagai tantangan untuk terlibat didalamnya. Mereka belum memiliki informasi yang memadai tentang peluang di sistem pangan. Selain itu juga lemah dalam mengakses tanah, pengetahuan dan teknologi, input pertanian, keuangan, dan pasar. Resiko yang tinggi, rendahnya pendapatan dan dukungan keluarga, membuat kaum muda menjauh dari sistem pangan. Lebih memilih untuk bekerja di bidang lain, bermigrasi ke perkotaan atau ke luar negeri.
Proporsi pemuda di Indonesia yang bekerja di sektor pertanian terus menurun, dan sektor pertanian mengalami penuaan. Jika pada tahun 2011 ada 29,18% pemuda yang bekerja di sektor pertanian, maka pada tahun 2021 tingga[ 19,18%. Saat ini 71% petani Indonesia berusia di atas 45 tahun dan di bawah 45 tahun hanya 29%.
Ada kebutuhan yang semakin mendesak untuk merancang ulang dan melakukan tindakan segera agar pertanian dan sistem pangan lebih menarik. Bukan hanya itu juga menyediakan peluang kerja yang layak dan penghidupan yang bermartabat bagi kaum muda. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan yang sesuai, meningkatkan akses yang adil terhadap sumber daya dan infrastruktur, pengetahuan dan keterampilan, dan memperkuat koneksi dan akses pasar, dukungan penelitian dan teknologi, serta pengembangan kemitraan.
Investasi pada kaum muda pada sistem pangan tidak hanya akan menghasilkan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Termasuk juga perdamaian dan stabilitas politik, serta secara langsung mendukung transisi ke sistem pangan berkelanjutan.
Krisis Pangan dan Sistem Pangan Lokal
Konflik bersenjata di wilayah penghasil pangan dan input pertanian serta COVID-19 telah menimbulkan guncangan luar biasa pada semua bagian rantai pasokan pangan seluruh dinia. Ganguan itu berdampak pada produksi pertanian, pengolahan pangan, transportasi dan logistik, serta permintaan akhir. Produksi pangan terganggu terutama bagi petani yang mengandalkan input (benih, pupuk, pestisida, bahan bakar) dan tenaga dari luar. Para pengolahan pangan juga kesulitan memperoleh bahan baku, di mana semakin banyak bahan baku mereka berasal dari impor. Penutupan atau pembatasan antar wilayah menyebabkan makanan, bahan pangan dan input pertanian tidak dapat didistribusikan dengan lancar kepada konsumen, petani dan pengolah pangan. Sebagai akibatnya, produksi pangan menurun, pangan menjadi langka dan sulit didapat, serta harganya meningkat.
Masyarakat, terutama di perkotaan, merespon gangguan ini dengan mengembangkan budidaya sayuran secara individu maupun kolektif. Pola konsumsi masyarakat juga berubah, menjadi semakin banyak mengkonsumsi makanan lokal yang lebih sehat dan bervariasi. Model pemasaran online juga meningkat pesat yang dilakukan oleh petani, pengolah pangan, maupun warung makan atau restoran.
Ganguan besar ini semakin meningkatkan kesadaran bahwa ketergantungan yang semakin besar terhadap pangan, bahan pangan dan input pertanian dari luar membuat masyarakat semakin rentan terhadap guncangan. Masyarakat di berbagai belahan dunia kemudian berupaya untuk memperkuat sistem pangan lokal yang berkelanjutan. Sistem ini bertujuan untuk menyediakan pangan yang lebih sehat dan bergizi, sekaligus meminimalkan dampak lingkungan, berkeadilan sosial dan kelangsungan ekonomi, serta meningkatkan ketahanan terhadap guncangan dan tekanan.
Rantai Pasokan Pangan Pendek (RP3) menjadi alternatif untuk mengurangi jarak antara pertanian dan konsumsi akhir. RP3 berperan menghubungkan kembali petani dengan konsumen secara lebih langsung. Inisiatif RP3 dapat membantu produsen pangan lokal skala kecil untuk mengatasi masalah akses pasar. Meningkatnya permintaan konsumen terhadap pangan yang lebih sehat dan beragam akan memperkuat usaha produsen pangan dalam membudidayakan aneka tanaman dan mengolah pangan dengan cara lebih sehat serta meningkatkan penggunaan input dan bahan baku lokal.
Produsen pangan skala kecil yang menghasilkan pangan dalam jumlah dan terbatas serta waktu panen yang tidak terus menerus, membutuhkan dukungan dari pelaku lain. Pusat pangan lokal dan daerah (pusat pangan rakyat – PPR) berperan sebagai agregator aneka produk pangan yang dihasilkan produsean pangan lokal. PPR kemudian akan menyortir, membersihkan, mengemas dan memberi label, serta dipasarkan langsung kepada konsumen dan kepada para pedagang keliling sayuran dan makanan.
Pedagang sayuran dan makanan keliling bukan hal baru, tetapi sejak beberapa tahun terakhir semakin berkembang. Mereka tidak hanya melayani konsumen secara langsung di perumahan perkotaan, tetapi semakin menjangkau kelas menengah dan bawah di perkotaan, bahkan di pelosok perdesaan. Peran mereka sangat membantu banyak keluarga untuk memperoleh aneka kebutuhan pangan dengan harga terjangkau, tanpa harus pergi jauh dari rumah.
Kewirausahaan Pemuda dalam Rantai Pangan Lokal
Meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan dan urbanisasi di Indonesia menyebabkan peningkatan permintaan total jumlah konsumsi, jenis, kualitas, dan harga pangan. Situasi ekonomi yang semakin baik mendorong pergeseran food preference masyarakat menuju pangan yang lebih beragam, terutama pangan hewani (daging, ikan, telur dan susu), sayur-sayuran dan buah-buahan, juga umbi-umbian.
Pertumbuhan permintaan terhadap pangan bernilai tambah dan produk pertanian olahan merupakan peluang bagi kaum muda untuk mengembangkan usaha di seluruh rantai pasok. Kebijakan dan investasi perlu dibuat untuk mendukung kaum muda memperoleh akses terhadap sumber produksi. Sumber Produksi (tanah, modal, input pertanian, bahan baku, dan peralatan), infrastruktur (produksi, distribusi, gudang), peningkatan kapasitas, informasi dan teknologi, serta pemasaran. Pengembangan organisasi dan pelibatan mereka dalam pembuatan kebijakan juga merupakan bagian penting.
Kebijakan dan investasi sistemik diperlukan untuk mengembangkan rantai pangan lokal inklusif. Hal ini agar menghasilkan nilai bagi semua pelaku di sepanjang rantai tersebut. Mulai dari petani, pengolah, pengangkut, hingga pedagang grosir dan pengecer. Koordinasi dan kolaborasi di tingkat lokal, daerah dan pusat yang melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, dunia usaha, organisasi pemuda dan perempuan, dan NGO untuk merumuskan kebijakan terpadu dan intervensi program yang efektif.
Mengembangkan kerjasama antara produsen pangan skala kecil di pedesaan denga konsumen di pinggiran kota dapat dilakukan untuk membentuk rantai pangan desa – kota. Para produsen pangan yang tergabung dalam organisasi atau koperasi, bersama Pusat Pangan Rakyat, dan konsumen yang tergabung dalam organisasi dapat menjajagi kemungkinan kerjasama dalam produksi dan distribusi pangan. Dukungan dari pemerintah desa dan kabupaten, serta pemerintah kota dan pemangku kepentingan lain diperlukan untuk merancang dan mendukung pelaksanannya. Pengembangkan kewirausahaan pemuda di dalam sistem pangan lokal dapat memberikan energi, kreativitas, ide-ide inovatif, kecakapan teknologi, dorongan kewirausahaan dan vitalitas untuk pertumbuhan dan keberlanjutan rantai pangan lokal, daerah dan nasional. Pengembangan wirausaha muda dalam rantai pangan lokal menjadi strategi penciptaan lapangan kerja yang realistis. Hal ini sejalan dengan target Pemerintah untuk meningkatkan rasio kewirausahaan dari 3,47% saat ini menjadi 3,95% pada 2024. Kewirausahaan pemuda di sistem pangan menjadi prasyarat Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045.