web analytics

Hari Tani 2024: Satu Dekade Nasib Petani Tidak Membaik

04
Oct

Bogor, 26 September 2024 – Selama satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo, petani merasa nasib mereka tidak membaik. Persoalan laten, seperti pupuk langka dan mahal, kualitas benih, akses dan ketersediaan lahan dan air, hingga penyuluhan dan partisipasi petani, bahkan makin memburuk.

Mempertimbangkan peliknya persoalan petani, dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional, Tani Nelayan Center IPB University, LaporIklim, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dan Gerakan Petani Nusantara (GPN) menggelar acara Diskusi Nasional Petani Indonesia. Acara yang berlangsung di Ruang Sidang Fakultas Pertanian IPB University ini mengangkat isu krusial terkait adaptasi petani terhadap perubahan iklim dan evaluasi kebijakan pertanian yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan para petani Indonesia.

Ada dua agenda besar dalam peringatan Hari Tani Nasional, yaitu focus group discussion dan pemaparan hasil Survei Persepsi Petani Indonesia 2024. Focus Group Discussion (FGD) diikuti oleh petani perempuan yang diadakan pada Rabu (25/09/2024). Mereka berasal dari Banyuwangi, Ciamis, Tuban, Manggarai Barat, Kebumen, dan lainnya. Diskusi berfokus pada dampak perubahan iklim terhadap kehidupan mereka, serta permasalahan atau situasi nyata yang mereka alami di lapangan.

Suara petani telah lama diabaikan. Karenanya, Survei Persepsi Petani Indonesia 2024 dilakukan untuk menangkap suara petani dari berbagai penjuru nusantara. Pengumpulan data survei dilakukan secara daring terhadap petani di 24 Provinsi melalui jaringan masing-masing Organisasi Masyarakat Sipil yang terlibat. Pengumpulan data dimulai pada 10 September hingga 20 September 2024.

Survei Persepsi Petani Indonesia 2024 juga menjadi simpul dan refleksi dari Survei Persepsi Petani Terhadap Program dan Kebijakan Kedaulatan Pangan Jokowi-Jusuf Kalla 2018 yang dilakukan oleh KRKP. Dua survei ini adalah gambaran utuh dari suara-suara petani yang telah lama tidak didengar oleh pemerintah. Harapannya, hasil survei ini menjadi masukan dan evaluasi bagi para pihak, khususnya pemerintah, agar dapat merumuskan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan petani Indonesia.

Perjuangan Petani Perempuan

Perwakilan petani perempuan, Etik dari Yogyakarta, menjelaskan bahwa petani perempuan ikut terkena dampak perubahan iklim di segala sektor kehidupan termasuk ekonomi. Kerapkali mereka harus harus mengubah jam kerja di lahan dan merelakan waktu istirahatnya. Petani kerap kali harus mengejar waktu bertani ke lahan sawah di pagi hari tanpa sarapan untuk menghindari sinar matahari yang sudah amat terik pukul 09:00 pagi.

Mereka juga turut menanggung beban finansial akibat gagal panen yang disebabkan oleh perubahan iklim. Hal ini menyebabkan kesehatan mereka secara fisik dan mental ikut terpengaruhi. Perubahan iklim juga mempengaruhi keharmonisan rumah tangga keluarga petani.

“Ketika tidak panen dan banyak hutang dan kesehatan menurun, ada sejenis pertikaian atau cekcok di dalam rumah tangga. Kalau sudah tukaran, hubungan rumah tangga hampir terjadi perceraian. Petani terancam tidak memiliki keluarga sakinah mawadah warohmah,” keluhnya.

Bu Puri Sarjono, petani perempuan dari Kebumen mengeluhkan peran penyuluh yang tidak seutuhnya hadir dan bekerja sungguh-sungguh untuk petani. Kerap kali, penyuluh hadir untuk mengambil dokumentasi atau selfie di saat petani sedang panen saja. Pada sisi lain, Bu Kholifah, petani perempuan dari Pasuruan juga mengeluhkan minimnya keberadaan penyuluh. Banyak didapati 1 penyuluh bekerja untuk 1 kecamatan, atau bahkan di daerah lain ditemukan 1 penyuluh bekerja untuk 6 kecamatan.

Survei Persepsi Petani Indonesia

Hana Syakira, relawan LaporIlim, menyampaikan hasil survei yang dilakukan terhadap 304 petani di seluruh Indonesia. Ada lima temuan utama yang disampaikan. Pertama, meskipun anggaran untuk subsidi pupuk terus meningkat selama satu dekade terakhir, hampir 48 persen petani merasa mereka belum mendapatkan akses yang memadai terhadap pupuk bersubsidi. Hal ini tentu berdampak langsung pada biaya produksi mereka.

Kedua, sebanyak 45,4 persen responden merasa tidak puas dengan harga pembelian gabah oleh pemerintah. Meskipun harga gabah di tingkat nasional mengalami peningkatan dalam sepuluh tahun terakhir, banyak petani merasa bahwa kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah masih belum memberikan keuntungan yang layak bagi mereka. Biaya produksi yang terus meningkat, terutama harga pupuk, membuat banyak petani merasa kebijakan harga pemerintah tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.

Ketiga, sejumlah 45,1 persen petani merasa tidak banyak mendapatkan penyuluhan dari pemerintah. Temuan survei ini terkonfirmasi dengan keluhan petani perempuan yang disampaikan dalam acara Diskusi Nasional ini. Selanjutnya, Hana menjelaskan “Berdasarkan survei kami, mayoritas petani masih menggunakan benih hasil tanaman mereka sendiri, dan 51,6 persen petani menyatakan bahwa pemerintah belum memberikan bantuan yang memadai dalam hal penyediaan pupuk organik dan benih unggul.”

Dari berbagai permasalahan petani yang dihadapi petani, saat ini mereka diperburuk oleh perubahan iklim. Hana Syakira menyebutkan bahwa survei menemukan 98,7 persen petani mengakui adanya perubahan iklim, dengan mayoritas mengalaminya dalam bentuk kekeringan (70,7 persen) dan musim yang tidak menentu (71,7 persen). Dampak perubahan iklim ini memperparah kondisi ekonomi petani, dengan banyak kejadian penurunan produksi, bahkan gagal panen. Sebanyak 77,6 persen petani mengaku hasil panennya turun karena perubahan iklim, sedangkan 46,7 persen menyatakan bahwa mereka mengalami gagal panen.

Ayip Said Abdullah, Koordinator Nasional KRKP, mengatakan bahwa kebijakan pemerintah selama ini tidak memberi dampak signifikan terhadap sektor pertanian di Indonesia. Survei tahun 2018 yang dilakukan oleh KRKP juga mengungkap ketidakpuasan petani terhadap kebijakan pemerintah. Ayip menegaskan bahwa dua survei yang telah dilakukan adalah bukti dari kemunduran sektor pertanian.

Survei tahun 2018 menyebutkan bahwa 21 persen petani mengeluhkan minimnya penyuluhan yang dilakukan ke mereka. Kondisi tersebut memburuk pada hasil survei tahun 2024, di mana 45 persen mengaku tidak mendapatkan penyuluhan secara lengkap. Akses pupuk juga mengalami kemunduran signifikan. Survei 2018 menyebutkan 37 persen petani sulit mengakses pupuk, kondisi tersebut memburuk 11 persen pada tahun 2024.

Pelibatan petani dalam perumusan kebijakan juga mengalami kemunduran cukup besar. Sebanyak 45,6 persen petani mengaku tidak pernah dilibatkan pada hasil survei 2018, sementara survei 2024 menyebutkan bahwa 58,1 persen petani tidak dilibatkan pemerintah dalam perumusan kebijakan.

Keberlanjutan Petani

Dekan Fakultas Pertanian IPB Prof. Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr, mengatakan bahwa implementasi teknologi atau konsep presisi dalam proses produksi pertanian sangat penting untuk meningkatkan produktivitas, sekaligus mengurangi kerugian. Pendekatan smart agriculture menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan petani di Indonesia.

Salah satu upaya konkret smart agriculture adalah penyesuaian manajemen lahan terhadap karateristik lahan. Kualitas tanah dan jenis benih perlu dipetakan sesuai dengan kesesuaian lahan. Suryo juga mengatakan, “Kemudian yang disebut dengan bioteknologi yang berurusan dengan proteksi molekuler, dan teknologi presisi untuk pertanian bisa kita kembangkan dengan peramalan cuaca, jika besok hujan maka pemupukan akan diadakan besok”.

Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Pengembangan Masyarakat Agromaritim Prof. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr., turut menambahkan bahwa saat ini inovasi pertanian yang ramah iklim telah banyak dihasilkan. Ernan juga menekankan pentingnya kolaborasi antara akademisi dan petani untuk mewujudkan pertanian regeneratif yang tidak hanya berfokus pada hasil, tetapi juga pada keberlanjutan ekosistem.

Prof. Damayanti Buchori menekankan perlunya berjuang, berjejaring, dan membangun kerja sama antara petani, akademisi, non-governmental organization (NGO) dan media. Damayanti melanjutkan, “Intinya kita harus siap di jalan yang sunyi, di dalam kesunyian kita bisa mendapatkan kebeningan melakukan perjuangan melawan ketidakadilan.” Acara ini menjadi refleksi penting bagi seluruh pihak terkait mengenai kondisi nyata yang dihadapi petani Indonesia, terutama perempuan petani yang memikul beban ganda dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan tantangan sosial-ekonomi. Harapannya, pemerintah, akademisi, media, organisasi masyarakat sipil (OMS) bersama dengan petani dapat terus berkolaborasi untuk menciptakan kebijakan dan inovasi yang lebih inklusif dan berpihak pada petani kecil serta perempuan tani.