Solo, 12 Juli 2024. Dampak Perubahan Iklim makin mengancam pangan dan kehidupan terutama masyarakat pedesaan secara nyata. Secara khusus petani dan perempuan tani menjadi kelompok yang paling rentan terkena dampaknya. Nasib petani berada di ujung tanduk, padahal mereka menjadi bagian penting sebagai aktor penting dalam mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Merespon hal tersebut, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) berkolaborasi dengan LPTP Surakarta, Jaker PO, STPN HPS Lestari, Lesman, dan Gita Pertiwi menyelenggarakan Festival Suara Petani pada tanggal 11-12 Juli 2024 di Lokananta, Surakarta.
Selama dua hari kegiatan Festival ini menghadirkan tiga rangkaian dialog antara petani, Pemerintah dan parapihak, pentas seni petani, pameran foto, gelar olahan pangan dan icip-icip berbagai varietas nasi nusantara.
Witoro, Ketua Badan pengurus KRKP, pada sambutannya mengutarakan festival ini diselenggarakan sebagai ruang temu dan dialog antara petani, publik, dan pemerintah di tingkat daerah maupun pusat. Dengan terjadinya dialog diharapkan terjadi penguatan kesadaran dan komitmen dukungan serta aksi memperkuat petani menghadapi perubahan iklim.
“Saat ini ada satu persoalan yang dipandang KRKP sebagai persoalan serius yang dihadapi oleh petani, yaitu perubahan iklim. Sehingga dalam beberapa tahun terakhir KRKP banyak menyoroti isu ini, khususnya pada sektor pertanian padi, karena tanpa upaya yang serius dalam pengurangan gas emisi dan adaptasi, maka akan mengancam kehidupan petani dan ketahanan pangan nasional. Komitmen dan dukungan kita diperlukan untuk memperkuat petani dan keluarganya” ungkap Witoro.
Besarnya dampak perubahan iklim ini dengan tegas dinyatakan oleh Ibu Ateng, petani di Karawang dan Ibu Marianti, petani dari Klaten. Keduanya mengaku bahwa dalam lima tahun terakhir musim makin tidak menentu. Akibatnya mereka mengalami kerugian karena sering gagal panen dan pendapatannya berkurang.
“Sekarang kerja di sawah makin panas. Tapi ya gimana lagi terus aja bekerja karena kebutuhan. Takut gak selesai. Kalau udah gak tahan yah paling berendam dulu di irigasi, nanti kerja lagi, gitu aja terus. Hasilnya sekarang lebih sedikit, jadi yah pinjam aja ke “bank emok”. Jadi banyak utang sih tapi ya gimana lagi” terang Ibu Ateng.
Beratnya jadi petani saat ini diutarakan Ibu Marianti secara langsung. “Jadi petani makin susah, cape. Kalo ke sawah pagi-pagi sudah berangkat. Sekarang jam 10 panasnya sudah pol. Badannya jadi tidak enak, pusing juga” ungkapnya.
Terkait hal ini Drs. Luthfy Latief, M.Si, Direktur pengembangan sosial budaya dan lingkungan desa dan pedesaan, Kemendesa mengungkapkan bahwa di pedesaan, masih ada beberapa permasalahan ketahanan pangan di desa kita, seperti akses pangan masyarakat yang rendah, penganekaragaman pangan minim, teknologi pertanian belum memadai, dampak perubahan iklim, regenerasi rendah, dan alih fungsi lahan yang tinggi. Untuk menghadapi itu kita bisa mendayagunakan alokasi dana desa 20% untuk ketahanan pangan pada tiap desa.
“Terkait perubahan iklim pada sisi pangan, kita perlu beras berkelanjutan untuk meningkatkan ketahanan pangan desa. Beras berkelanjutan ini menekankan pelestarian lingkungan dengan praktik pertanian rendah emisi, pelestarian tanah, dan lain sebagainya. Saat ini penggunaan dana desa untuk ketahanan pangan hampir 14 triliun rupiah. Kami berharap program yang menggunakan dana desa tidak hanya sesaat, tetapi bisa berkelanjutan” ujarnya.
Penguatan dukungan pada petani untuk beradaptasi menjadi mendesak dengan berbagai situasi yang muncul dan terungkap pada acara ini. Tanpa ada tindakan nyata maka ada ancaman nyata bagi ketersediaan pangan dan kehidupan petani dan itu semua menjadi masalah kita semua.
“Menjadi PR bagi kita semua bagaimana mengatasi kegagalan-kegagalan atau hambatan-hambatan terutama pada petani-petani padi kecil dalam menghadapi perubahan iklim untuk melakukan transisi ini menuju pertanian berkelanjutan” pungkas Witoro.