web analytics

Dampak Kurangnya Implementasi Kebijakan Kemitraan Sektor Padi dan Perberasan Terhadap Petani Serta Masyarakat Lokal

14
May

Menurut United States Department of Agriculture (2024), volume produksi beras nasional selama kurun waktu 2020 hingga 2023 tidak melebihi konsumsi masyarakat. Data menunjukkan, bahwa pada tahun 2023, Indonesia hanya memproduksi beras giling sebanyak 34 juta metrik ton, yang turun 1,2% dibandingkan dengan tahun 2022. Sementara itu, tingkat konsumsi beras mencapai 35,7 juta metrik ton atau naik sebesar 1,1% dari tahun sebelumya. Badan Pangan Nasional (2024) melaporkan, bahwa kebutuhan beras untuk konsumsi rumah tangga terus meningkat, dari sekitar 21 juta ton pada tahun 2019, menjadi 22,64 juta ton pada tahun 2023. Hal ini menandakan adanya permintaan yang terus meningkat setiap tahun dan menyebabkan kesenjangan antara produksi dan konsumsi semakin melebar.

Permintaan yang tinggi terhadap beras mendorong pemerintah Indonesia untuk mengambil kebijakan impor beras, meski menjadi alternatif yang tidak diinginkan. Pada tahun 2023, pemerintah Indonesia mencatat impor beras yag terbesar dalam lima tahun terakhir, yaitu sejumlah 3,06 juta ton dari negara-negara tetangga. Kondisi ini dipicu oleh perubahan iklim el nino yang berdampak pada penurunan produksi padi nasional. Meskipun impor beras dianggap sebagai jalan keluar, penerapan kebijakan ini dapat berdampak pada penurunan produksi, tenaga kerja, neraca perdagangan, dan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, menggantungkan pemenuhan beras domestik pada beras impor bukanlah sebuah keputusan yang ideal. Pemerintah Indonesia perlu merumuskan dan mendorong kebijakan efektif untuk sektor pertanian, khususnya sektor perberasan, agar kebutuhan beras domestik dapat terpenuhi secara mandiri.

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong peningkatan produksi beras domestik melalui kebijakan penyediaan input bersubsidi, penjaminan harga gabah, dan bantuan kredit pertanian. Meski begitu, upaya ini belum sepenuhnya berhasil dalam meningkatkan produksi padi dan beras. Untuk memperoleh input bersubsidi, petani harus bergabung dengan kelompok tani yang terdaftar sebagai penerima input bersubsidi. Sayangnya, hingga saat ini, kelompok tani seringkali hanya dijadikan sebagai wadah penyaluran, tanpa mengakui pentingnya pengorganisasian dan penguatan petani melalui kelompok tani itu sendiri. Penjaminan harga gabah telah membantu petani, namun dalam situasi tertentu, petani seringkali memiliki posisi tawar yang tidak menguntungkan. Meskipun harga yang diterima oleh petani di atas harga pembelian pemerintah (HPP), namun masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup petani secara keseluruhan. Begitu juga dalam mencari sumber pembiayaan kredit. Meskipun ada program pembiayaan usaha pertanian, petani masih kesulitan mendapatkan modal karena skala penguasaan dan pengusahaan lahan petani yang terbatas membuat petani kesulitan untuk menambah permodalan melalui investasi dan lembaga pembiayaan. Pemerintah telah memberkan berbagai fasilitas pembiayaan untuk memudahkan petani mengakses permodalan. Namun, dalam implementasinya, petani masih mengalami kesulitan dalam mendapatkan bantuan modal yang sesuai dengan yang diharapkan, karena sulitnya prosedur pengajuan kredit dan persyaratan agunan. Bahkan, masalah pembiayaan ini, tidak hanya dirasakan oleh masyarakat kalangan petani saja, tetapi juga wirausaha kecil pertanian yang berbasis di pedesaan. Oleh karena itu, untuk mengatasi kondisi ini, tantangan yang perlu dihadapi adalah bagaimana berkolaborasi dengan lembaga pembiayaan agar dapat mendukung sektor pertanian.

Kolaborasi multipihak atau kemitraan merupakan aspek yang sangat penting bagi pengembangan sektor perberasan. Kebijakan kemitraan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1997 tentang kemitraan yang menekankan pada prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan antara usaha kecil dan perusahaan besar. Dalam hal ini, kerjasama strategis antara petani atau usaha kecil yang memiliki lahan dan tenaga kerja dengan perusahaan besar yang memiliki modal dan tenaga ahli diperlukan. Kemitraan semacam ini harus diawasi oleh pemerintah dengan tujuan untuk menggali seluruh  potensi sumberdaya pertanian yang merupakan cerminan dari masyarakat agraris (Mawardi, 2016).

Dalam upaya membangun kemitraan yang seimbang dang saling menghormati, bentuk public private parnership (PPP) dikenalkan di Indonesia sebagai pola kerjasama antara publik dan swasta untuk menghasilkan dampak yang saling menguntungkan. Namun, dalam perkembangan kemitraan usahatani padi dari waktu ke waktu, terjadi kasus terkait kerjasama yang dibangun tidak selalu berakhir dengan hasil yang baik untuk semua pihak yang terlibat. Dalam kemitraan, seringkali ditemukan konflik atau pelanggaran yang berujung pada pemutusan kontrak, baik dari perusahaan maupun petani yang terkait dengan kurangnya kebijakan kemitraan khusus untuk sektor padi dan perberasan. Saat ini, hanya terdapat kebijakan kemitraan secara umum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 dan UU No. 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan kemitraan yang lebih terfokus untuk memperbaiki kemitraan sektor padi dan perberasan, sehingga dapat menjadi model kerjasama yang efektif untuk mendukung dalam membangun sektor pertanian.

Kemitraan sektor padi dan perberasan harus diperkuat oleh regulasi atau payung hukum kebijakan, serta pentingnya keterlibatan pemerintah daerah di dalam kemitraan yang berjalan di daerahnya masing-masing. Dalam sebagian kemitraan, pemerintah seringkali tidak dilibatkan secara efektif ketika sedang membangun kemitraan, melainkan hanya sekedar mengetahui bahwa terdapat jalinan kemitraan. Alhasil, ketika terjadi permasalahan atau koflik, pemerintah tidak dapat terlibat lebih jauh dalam menyelesaikannya. Saat ini kebijakan perlindungan dan pemberdayaan petani belum diterapkan sepenuhnya di semua daerah. Sebagai contoh, Kabupaten Klaten saat ini sedang mendorong rancangan peraturan bupatani (RAPERBUP) yang terkait dengan pemberdayaan pelaku utama (petani) dan pelaku usaha melalui kemitraan usahatani padi. Melalui raperbup ini, diharapkan dapat menjadi pedoman kemitraan usaha beras berkelanjutan di Kabupaten Klaten, dan bertujuan untuk menciptakan keberlanjutan pasokan gabah dan ketersediaan beras melalui kemitraan usaha berkelanjutan. Penting untuk membuat kemitraan sektor pertanian dan secara aktif melibatkan pemerintah dan pelaku usaha dalam pembangunan kemitraan yang berkelanjutan.

Sementara itu, kurangnya kebijakan kemitraan di sektor perberasan dapat berdampak negatif bagi petani dan masyarakat lokal. Dampak-dampak yang ditimbulkan, diantaranya, lemahnya posisi tawar petani, dukungan terhadap perempuan yang seringkali terabaikan, adanya potensi perselisihan antara petani mitra dan perusahaan, dan tidak adanya kebebasan bagi petani untuk memilih pelaku usaha atau perusahaan yang akan menjadi mitra.

Lemahnya posisi tawar petani. Kuat lemahnya posisi tawar petani didasarkan oleh hal-hal kompleks, yang menyangkut faktor kondisi alam, teknis, ekonomi, sosial budaya, dan politik. Kelima faktor tersebut, ada yang dibawah kendali petani maupun di luar kendali petani. Umumnya, faktor signifikan yang memperlemah posisi petani untuk menentukan harga tawar yang tinggi adalah adanya kebutuhan yang mendesak. Seringkali walau telah menghasilkan kualitas gabah yang baik, namun kondisi terdesak memaksa pentani untuk memperoleh keuntungan yang tidak wajar. Bahkan dalam jalinan kemitraan, masih terdapat petani mitra yang belum memiliki nilai tawar yang menguntungkannya. Hal ini disebabkan petani tidak memperhitungkan tanah sebagai bagian dari modal produksinya (Mawardi, 2016).

Dukungan terhadap kaum perempuan yang seringkali terabaikan. Dalam ranah pertanian, laki-laki cenderung ditugaskan ke bidang tanah yang lebih produktif dan menguntungkan dibandingkan dengan perempuan. Perempuan pedesaan juga cenderung memiliki aset yang lebih sedikit dan bernilai lebih rendah yang berarti perempuan kurang mampu menggunakannya sebagai jaminan untuk pembiayaan keuangan. Dalam hal pembiayaan keuangan, pemerintah telah membuat berbagai kebijakan dan aturan yang mempermudah sumber pendanaan, bagi usahatani maupun UMKM secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif. Namun, dalam implementasinya, guliran kebijakan belum mampu mengatasi hambatan kaum perempuan dan pemberian dukungan yang dipandang tidak sepenuhnya mendukung kaum perempun, khususnya dalam pelibatan di ranah publik.

Adanya potensi perselisihan antara pelaku utama (petani mitra) dan pelaku usaha. Ada kalanya hasil produksi petani, tidak berhasil memenuhi standar perusahaan, sehingga terjadi penolakan dari perusahaan. Hal ini dapat membuat petani mengalami kerugian dan dapat dipaksa untuk menjual hasil produksi dengan harga yang rendah. Pola kemitraan yang tidak tepat dapat menimbulkan konflik akibat adanya benturan antara dua sistem ekonomi yag berbeda (ekonomi skala kecil dan skala besar) yang terintegrasi dalam suatu sistem produksi (mawardi, 2016). Benturan yang membawa ketimpangan ini, kerap menyebabkan petani kehilangan kemandirian dan membawa petani pada kondisi yang tidak berdaya.

Tidak adanya kebebasan petani dalam menentukan mitra. Umumnya, petani terbatas dalam memilih pelaku usaha atau perusahaan yang akan menjadi mitranya. Kondisi ini menyebabkan petani seringkali terpaksa bermitra dengan pelaku usaha atau perusahaan tertentu tanpa mempertimbangkan kesesuaian dan kebutuhannya.

Demikianlah, dampak-dampak negatif yang telah diuraikan. Dampak tersebut masih merupakan sebagian kecil dari kasus yang terjadi pada petani. Oleh karenanya, penting sekali bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk menciptakan kemitraan yang tepat, guna menghindari dampak-dampak negatif tersebut. Di bawah naungan kebijakan kemitraan sektor padi dan perberasan, diharapkan tidak hanya membawa iklim lingkungan yang sehat, tetapi juga mampu meningkatkan produktivitas serta kesehajahteraan petani dan masyarakat lokal di Indonesia.

Ditulis oleh: Dara