Hari Pangan Sedunia tahun ini, yang diperingati tanggal 16 Oktober 2024 lalu, seharusnya menjadi titik balik untuk kembali mengevaluasi, apakah nelayan dan pelaku usaha kecil lainnya telah merasakan kesejahteraan yang tampaknya semakin mahal itu?
Nyatanya, kelompok produsen yang menjadi pelaku utama pemanfaatan sumber daya perairan ini sebagian besar masih termarginalisasi. Menurut data statistik KKP tahun 2023, 85% dari 2 jutaan nelayan di Indonesia termasuk ke dalam kategori nelayan kecil. Masyarakat nelayan, atau dikenal juga sebagai masyarakat pesisir, masih termasuk ke dalam kelompok masyarakat yang relatif tertinggal secara ekonomi dan sosial, dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Oleh karena itu, perhatian terhadap blue food sebagai bagian penting di dalam sistem pangan, khususnya di Indonesia, perlu digarisbawahi.
Blue food atau “pangan biru”, yang diartikan sebagai segala jenis pangan yang bersumber dari perairan, mulai menjadi objek yang hangat dibicarakan dalam berbagai forum pemerhati sistem pangan akhir-akhir ini. Potensi blue food di Indonesia yang merupakan negara kepulauan tentu sangatlah besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitasnya. Statistik KKP mencatat bahwa total volume produksi perikanan di Indonesia mencapai 23 juta ton pada tahun 2023, mencakup hasil perikanan tangkap dan budidaya, dan menyumbang PDB Nasional sebesar 2,73%. Tanggal 10 Oktober 2024 lalu, Bappenas mengadakan Blue Food Forum 2024 di Jakarta yang juga dihadiri oleh Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan National Food Agency (NFA). Rinna Syawal, direktur NFA, memberikan high level remark pada forum tersebut–menyatakan sangat pentingnya transformasi pangan akuatik agar segera diaktualisasikan di Indonesia. Transformasi pangan akuatik ini diharapkan dapat menjawab permasalahan pangan saat ini yang terjadi begitu kompleks, di antaranya perubahan iklim, ketergantungan impor pangan, fluktuasi harga, dan pemenuhan kebutuhan gizi di masyarakat.
Meski demikian, agaknya masyarakat Indonesia belum sepenuhnya menunjukkan minat terhadap blue food sebagai sumber pangan sehari-hari. Salah satu indikator yang dapat menjadi acuannya adalah angka konsumsi ikan (AKI). Berdasarkan data statistik KKP, tidak terjadi peningkatan yang signifikan terhadap AKI secara nasional dalam rentang tahun 2020-2023. AKI nasional mencapai angka 57,61 kg/kapita/tahun pada tahun 2023, peningkatan hanya terjadi sebesar 3,05 kg/kapita/tahun sejak tahun 2020 silam. Bahkan, beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, memiliki AKI yang lebih rendah dibandingkan AKI nasional. Salah satunya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta yang menempati posisi AKI terendah di Indonesia, yaitu 38,16 kg/kapita/tahun pada tahun 2023. Hal ini menjadi salah satu ironi di Indonesia yang dikenal sebagai negeri bahari dengan pasokan sumber daya akuatik yang besar. Aspek ini tentu tidak hanya dipandang dari segi sumber daya alam saja, melainkan juga sumber daya manusia yang turut melahirkan keberagaman budaya dan kebiasaan yang khas pada masing-masing daerah. Misalnya, di Pulau Jawa, sebuah penelitian menyebutkan bahwa rendahnya konsumsi ikan di wilayah ini salah satunya dipengaruhi kebiasaan masyarakat Jawa yang mengkonotasikan ikan atau iwak untuk segala jenis sumber protein, seperti iwak peyek, iwak tempe, dan iwak pitik (ayam). Hal ini menyebabkan makna ikan atau iwak yang sebenarnya menjadi tersamarkan dan perannya sebagai sesama sumber protein menjadi kurang diperhatikan meskipun jumlahnya melimpah. Selain itu, kurangnya informasi dalam memperbaiki persepsi masyarakat juga menjadi penyebabnya, yaitu terkait dengan nilai gizi yang lebih baik serta emisi karbon yang lebih rendah dalam produksi blue food jika dibandingkan dengan sumber protein hewani dari darat.
Lain halnya dengan daerah yang memiliki AKI melebihi angka nasional, misalnya di sebagian daerah Sumatera, Kalimantan, dan wilayah Indonesia bagian timur. AKI di daerah ini mencapai lebih dari 60 kg/kapita/tahun pada tahun 2023. Bahkan, di daerah Maluku dan sekitarnya, AKI dapat mencapai angka 79,76 kg/kapita/tahun. Itu artinya setiap orang di daerah tersebut dapat menghabiskan rerata 79 kg ikan dalam kurun waktu satu tahun. Ikan menempati sumber protein utama, bahkan menggeser pamor tempe dan tahu di tengah masyarakatnya. Kajian KRKP terkait situasi pangan di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, juga membuktikan bahwa kegemaran masyarakat dalam mengkonsumsi ikan tidak hanya terjadi di daerah pesisir, tetapi juga mereka yang tinggal di daerah dataran tinggi yang jauh dari pantai. Perbedaan preferensi masyarakat terhadap sumber protein ini dapat terjadi karena pola konsumsi masyarakat yang umumnya bersifat turun-temurun dan ditentukan juga oleh seberapa kuat intervensi pangan yang datang dari luar.
Pengoptimalan blue food sebagai bagian dari sistem pangan tentu tidak hanya ditinjau dari sisi konsumen, akan tetapi produsen sebagai penyedia dan pengelolanya juga harus mendapat perhatian yang serupa. Sama halnya dengan permasalahan yang dihadapi oleh petani gurem di Indonesia, nelayan juga masih belum memiliki kedaulatan penuh atas sumber daya yang dikelolanya. Faktor utamanya adalah mayoritas masyarakat nelayan di Indonesia berada pada lapisan terbawah dalam hierarki sosial di wilayah pesisir, sehingga segala bentuk keputusan masih ditentukan oleh dua lapisan lain yang berada di atasnya. Lapisan teratas adalah para pemilik perahu dan pedagang ikan, sedangkan lapisan kedua adalah juragan atau pemimpin awak perahu.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bapak Sumono, yang sepuluh tahun lebih menekuni profesi nelayan di Pantai Baron, Gunungkidul, Yogyakarta. Beliau mengungkapkan bahwa salah satu kesulitan yang dihadapinya adalah harga ikan hasil tangkapan yang tidak dapat ditentukan sendiri oleh nelayan. Harga tersebut dipatok langsung oleh tengkulak yang menghubungkan antara nelayan dengan tempat pelelangan ikan (TPI) atau pasar terdekat. Hal inilah yang menyebabkan panjangnya rantai pasok, sehingga menjadi tidak efektif dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Kerugian yang dialami nelayan kecil seperti dalam kasus ini nantinya dapat berpotensi menimbulkan dampak negatif juga ketika sampai di tangan konsumen, baik dari segi harga maupun kualitas produk yang diterima.
Dalam menyikapi hal ini, sebuah asosiasi peneliti dunia menyusun laporan Blue Food Assessment pada tahun 2021 dan merumuskan lima aksi yang dapat membantu terwujudnya transformasi pangan akuatik atau blue food. Pertama, mengelola blue food sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pangan. Kedua, mereformasi kebijakan praktik yang menghalangi transformasi, misalnya dengan mereformasi kebijakan yang mendukung praktik tidak berkelanjutan. Ketiga, melindungi dan memanfaatkan keberagaman untuk keberlanjutan nutrisi, aksesibilitas, dan lingkungan, misalnya dengan mendorong pengembangan spesies dan sistem yang bergizi, terjangkau, berkelanjutan, tahan iklim, dan mampu memenuhi permintaan lokal. Keempat, mengenali dan mendukung peran utama pelaku skala kecil, misalnya dengan membangun sarana investasi untuk mendukung inovasi, kewirausahaan, atau pasar lokal. Kelima atau yang terakhir, berkomitmen pada hak asasi manusia dalam kebijakan dan praktik, misalnya dengan memberdayakan setiap elemen rantai nilai pangan yang terdiri dari perempuan, penduduk lokal, masyarakat marginal, dan pemuda.
Dalam implementasinya, perwujudan lima aksi tersebut dapat dimulai dengan gerakan dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat nelayan kecil perlu untuk memperkuat dan mengoptimalisasi komunitas atau kelembagaan lokal di wilayah pesisir, misalnya dengan menerapkan strategi co-management. Secara umum, co-management merupakan suatu pendekatan pengelolaan perikanan berbasis kemitraan, yang dilakukan untuk menghilangkan dominansi salah satu pihak antara masyarakat, pemerintah, dan stakeholder lainnya, sehingga diharapkan muncul suatu konsensus, program, atau kebijakan yang sifatnya disepakati atas dasar kepentingan bersama.
Strategi ini turut mendukung penyesuaian istilah dari yang semula blue economy yang berfokus pada pertumbuhan industri dan ekonomi secara nasional yang kurang melibatkan masyarakat pesisir dalam penentuan kebijakan, menjadi blue communities yang mengedepankan kesejahteraan masyarakat pesisir sebagai capaian utamanya dan melibatkan mereka dalam penentuan kebijakan. Adanya blue communities juga mendorong produksi yang lebih berkelanjutan karena proses penangkapan ikan yang lebih terukur dan tidak dipenuhi oleh ambisi untuk mengeksploitasi sumber daya akuatik secara berlebihan dengan dalih memenuhi permintaan pasar.
Dengan upaya menyelesaikan masalah di tingkat produsen, derajat blue food dalam sebuah sistem pangan dapat lebih meningkat. Hal ini tentu berdampak baik pada semakin efektifnya proses distribusi dan meningkatnya kepercayaan konsumen terhadap hasil dari sumber daya akuatik yang lebih berkualitas.
Ditulis Oleh: ‘Athif Yumna Hanifah